Media Indoensia
Kamis, 21 April 2005


Dilarang Menikahi Kartini
Irwan Abdullah; Direktur Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta


KETIKA seorang anak perempuan bertanya, ''Mengapa Ibu menikah dengan laki-laki 
yang menjadi ayahku, Bu?'' sebuah gugatan terhadap laki-laki sedang terjadi. 
Sang anak merupakan saksi dari serangkaian kekerasan yang dialami oleh ibunya. 
Mungkin si anak pun tidak habis mengerti, mengapa ibunya begitu tegar 
mempertahankan perkawinan itu. ''Demi anak-anak,'' kata sang ibu setiap ia 
mendapat pertanyaan yang sama. Laki-laki yang menjadi suami dan ayah dari 
anak-anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan telah menjadi awal dari jalan 
panjang kehidupan seorang perempuan. Dalam perkawinan itu perempuan, selain 
kebaikan, juga mengalami kemalangan. Perkosaan hak reproduksi, penindasan, 
trafficking, bahkan pembunuhan karakter dan cita-cita terjadi secara kasatmata 
dan terselubung.


Anak yang bertanya dan menggugat keabsahan institusi itu pun menjadi korban 
berikutnya, karena nilai-nilai dan norma yang dibangun di dalamnya 
mengondisikan suatu kepasrahan dan kepantasan seorang perempuan. Sebagai 
perempuan seseorang disadarkan dan, bahkan, dipaksakan tentang betapa bedanya 
ia dibandingkan lelaki, baik dalam hak maupun kewajiban. Peningkatan status 
seorang perempuan, seperti status keluarga, tidak berarti inisiasi atas 
martabat perempuan terjadi dengan sendirinya. Kartini pun memulai hidup baru 
yang tidak pernah diidealkannya setelah ia menikah dengan sang bupati, yang 
menyebabkannya melupakan impian-impian sebagai seorang idealis. Sangkar emas 
rumah tangga ini kemudian menempatkan kartini kembali menjadi perempuan 
kebanyakan, tidak seperti yang ia tulis dalam surat-suratnya.


Kalau perkawinan kemudian menjadi suatu akhir dari seluruh mimpi dan awal dari 
malapetaka, mengapa seorang perempuan harus kawin? Bukankah ia perlu juga 
diberi hak untuk hidup membujang dan memilih mewujudkan cita-citanya sekaligus 
membantu mewujudkan cita-cita kaumnya? Perempuan sebaiknya dilarang kawin dan 
itu bukan tanpa alasan. Paling tidak, ada tiga alasan yang dapat disebutkan.


Pertama, perkawinan dapat menjadi penjara bagi kaum perempuan yang 
menjauhkannya dari dunia publik. Perkawinan itu menjadi suatu lembaga yang 
mengesahkan penindasan kecerdasan dan pembunuhan kreativitas perempuan. 
Rutinitas dalam keluarga telah mendikte dan membatasi bukan hanya partisipasi 
perempuan dalam kegiatan publik, tetapi juga ide-ide kreatifnya. Dari perempuan 
lebih sering kita mendengar alasan anak sakit, menemani anak ujian, atau 
pembantu pulang, ketimbang laki-laki. Laki-laki tidak merasa harus bertanggung 
jawab untuk kegiatan yang bersifat domestik. Kecenderungan ini meninggalkan 
ruang yang begitu sempit untuk perempuan berkiprah dalam matra kegiatan yang 
lebih produktif dan yang mensyaratkan konsentrasi dalam olah pikir. Ruang 
artikulasi dan aktualisasi diri perempuan atas kapasitas yang dimilikinya 
sangat terbatas.

Kalaulah perkawinan itu menjadi penjara yang mematikan kreativitas dan proses 
berpikir yang sangat potensial yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan, 
mengapa ia harus mengorbankan dirinya untuk masuk ke dalam penjara itu. Rumah 
tangga harusnya menjadi tempat perempuan menemukan identitasnya dan suami tidak 
dapat menjadi mitra yang memfasilitasi rencana-rencana yang dimiliki perempuan.


Kedua, rumah tangga sebagai ranah domestik yang menjauhkan kaum perempuan dari 
hak-hak yang secara hukum berlaku dalam dunia publik. Perkawinan telah 
menyebabkan proses domestikasi perempuan yang mengembalikan perempuan ke ruang 
domestik. Banyak sekali perempuan yang telah menjalani hidupnya di ruang publik 
yang bekerja secara profesional, kemudian memutuskan meninggalkan pekerjaan 
mereka, 34ikut suami34, atau berhenti bekerja setelah memiliki anak pertama. 
Adanya mas kawin dalam perkawinan menjadi satu persoalan karena dalam wilayah 
kebudayaan tertentu mas kawin memiliki nilai tukar atau pengganti yang 
disampaikan keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Pertukaran semacam 
ini berimplikasi pada perpindahan hak atas perempuan ke keluarga suami di mana 
perempuan tersebut secara kultural tunduk kepada laki-laki atau bahkan pada 
keluarga laki-laki.


Proses dometikasi ini mendapatkan pengesahan secara sosial dan legal. Payung 
hukum tidak efektif dalam dunia domestik sehingga kaum perempuan atas nama 
istri atau ibu rumah tangga tidak mendapatkan proteksi yang cukup dalam 
lingkungan domestik ini. Berbeda dengan ruang publik di mana hukum berlaku 
secara lebih efektif. Kekerasan yang dialami perempuan dalam rumah tangga, 
misalnya, diperlakukan sebagai persoalan internal, kurang relevan secara sosial 
sehingga praktik dan kepatuhan hukum tidak masuk sampai ke ruang domestik 
tersebut.


Ketiga, perkawinan menjadi tempat yang melucuti seluruh kedirian perempuan. 
Perkawinan menyebabkan perempuan kehilangan dirinya karena ia harus menjadi 
bagian dari entitas yang lebih luas. Dalam proses ini potensi perempuan selain 
tersembunyi, juga kediriannya dikorbankan sebagai harga menjadi bagian dari 
suatu tatanan yang tidak ikut dia bangun. Pengorbanan semacam ini sering kali 
membuat kaum perempuan kesepian, kehilangan kawan dan dunia perempuan, karena 
ia harus hidup dalam dunia yang dikonstruksikan oleh para lelaki atau 
institusi-institusi yang berpihak pada lelaki.


Institusi perkawinan tidak semestinya menjadikan perempuan terkungkung dan 
kehilangan jati diri sebagai individu, institusi itu dapat saja menjadi 
dukungan bagi pengembangan minat dan bakat yang memungkinkan aktualisasi diri 
dalam dunia publik. Banyak sekali perempuan yang beruntung dengan 
perkawinannya, namun lebih banyak lagi yang tidak mendapatkan dukungan dan 
justru setelah perkawinan terjadi diri perempuan tenggelam dalam rutinitas dan 
kebosanan yang tiada ujung. Kaum perempuan tidak terlibat dalam perencanaan dan 
pengambilan keputusan, ia adalah penerima perintah dan yang menerima akibat 
dari setiap kebijakan yang tidak dibuatnya.


Ketiga alasan di atas agaknya menegaskan perlunya pertimbangan seksama tentang 
persyaratan yang harus dipenuhi oleh perempuan, laki-laki dan lembaga-lembaga 
terkait, sebelum sebuah perkawinan dapat dilangsungkan. Apa cukup perkawinan 
itu atas kesepakatan dua orang (laki-laki dan perempuan)? Apakah pasal-pasal 
dalam buku nikah cukup menjadi pegangan hukum bagi jaminan hak-hak perempuan? 
Bagaimana kita dapat melindungi perempuan dari kemungkinan perkosaan dalam 
rumah tangga atau pengingkaran terhadap kebutuhan strategisnya? Jika 
kemaslahatan tidak dapat dicapai dan dijamin dengan adanya perkawinan, mengapa 
peristiwa itu disahkan. Dan jika perkawinan itu menghilangkan identitas diri 
kaum perempuan, sebaiknya suatu perkawinan perlu digagalkan. Sayangnya, dulu 
kita tidak sempat melarang sang bupati menikahi Kartini. Kalaulah Kartini tidak 
menikah, mungkin anak-anak tidak perlu lagi bertanya pada ibunya, ''Mengapa Ibu 
menikah dengan laki-laki yang menjadi ayahku, Bu

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give the gift of life to a sick child. 
Support St. Jude Children's Research Hospital's 'Thanks & Giving.'
http://us.click.yahoo.com/lGEjbB/6WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke