Bisa anda berikan datanya kepada saya...?:)
Sebab saya yakin banyak anggota milis ini yang belum
mengetahuinya.

Tetapi seharusnya dgn anggaran pendidikan sebesar Rp
39 trilyun, itu seharusnya cukup untuk memberi
(minimal) pendidikan negeri yang murah bagi rakyat.
Bahkan gratis untuk rakyat yang miskin. 

Coba baca di Kompas. Gaji guru bantu Rp 460.000 per
bulan. Kemudian di berita bawah, gaji guru honorer
bahkan hanya Rp 75.000 per bulan.

Taruhlah jumlah siswa 24 juta. Dari jumlah tsb, 18
juta diberi beasiswa full Rp 1 juta per anak. Maka
cukup Rp 18 trilyun saja bukan? Masih ada sisa Rp 21
trilyun.

beasiswa anak =
24,000,000x1,000,000=24,000,000,000,000 

jumlah kelas= 600,000x6,000,000=3,600,000,000,000 
gaji guru=1,200,000*12,000,000=14,400,000,000,000 
peralatan sekolah=600,000x1,000,000=600,000,000,000 
Training guru=1,200,000x200,000= 240,000,000,000 
Buku-buku = 24,000,000x100,000=2,400,000,000,000 

Total cost=21,240,000,000,000 

Masih siswa Rp 2 trilyun lebih untuk biaya lain2..:)
Ini asumsinya:
- 1 kelas 40 murid
- 1 guru untuk 20 murid
- gaji guru Rp 1 juta/bulan
- renovasi kelas dalam 10/tahun senilai Rp 60 juta per
kelas.

Nah, jiga gaji guru bantu hanya Rp 460 ribu/bulan,
atau bahkan gaji honorer hanya Rp 75 ribu per bulan
seperti berita Kompas di bawah, total cost-nya bisa
lebih kecil lagi...:)

Jadi masih sisa Rp 15 trilyun kan?

Untuk PTN, seandainya ada 33 propinsi, tiap propinsi
punya 2 kampus negeri dan masing2 kampus punya 5000
mahasiswa, serta tiap mahasiswa beasiswanya Rp 10 juta
per tahun (harusnya bisa membeayai seluruh operasional
kampus kan?) maka hitungannnya sbb:

 Jumlah mahasiswa=165,000 x10,000,000
=1,650,000,000,000 

Cuma Rp 1,65 trilyun.

Dana operasional makin bertambah, jika uang pangkal
dan iuran siswa yang murah bagi kelompok menengah ke
atas dimasukkan. Misalkan uang pangkal SD Rp 200.000
dan spp Rp 15.000 per bulan.

Jadi memang harus diselidiki angka2nya dan divalidasi
apakah memang sampai ke siswa apa tidak.

Ayo kalau ibu Fauziah punya detail angkanya, silahkan
share ke kita.


Bayar SPP Rp 3.800 Pun Tak Mampu... 


KEINGINAN Hariyanto (9), siswa Kelas 3 SD Negeri 2
Purwosari, Desa Purwosari, Kecamatan Natar, Kabupaten
Lampung Selatan, sederhana saja. Sadar bahwa kedua
orangtuanya, yang penggarap ladang tidak mampu, dia
tidak punya impian yang tinggi-tinggi. Belajar di
sekolah, bagi Hariyanto, hanyalah agar dirinya mampu
membaca dan menulis.

"Inginnya sih sekolah terus, tetapi biayanya mahal,"
kata Hariyanto, yang tidak terlalu lancar berbahasa
Indonesia.

Hariyanto tinggal di seberang Kali Rompok, berjarak
sekitar dua kilometer dari sekolahnya. Untuk menuju
sekolah dia harus menyeberangi sungai itu sambil
menenteng sepatu. Jika hujan deras Hariyanto terpaksa
bolos sekolah karena air sungai meluap dan tidak
mungkin diseberangi.

Akan tetapi, Selasa (3/5) kemarin berbeda. Meskipun
hujan turun dengan deras Hariyanto tetap masuk sekolah
karena bulan depan ujian semester. Baju sekolahnya
yang putih tampak kehitaman dan celana pendek merah
yang dikenakannya robek di beberapa tempat. Untuk
menutupi rasa malu, bocah itu berulang kali menutupi
wajahnya dengan buku tulis.

Hariyanto sudah empat bulan menunggak pembayaran uang
sekolah, yang per bulan besarnya Rp 3.800. Kedua
orangtuanya belum memiliki uang untuk membayar biaya
sekolahnya.

Seperti Hariyanto, Wartono-- teman sekelas
Hariyanto--juga menunggak pembayaran uang sekolah
sejak bulan Januari. Pada kartu kuning catatan
pembayaran sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP)
dan uang pramuka tercatat, Wartono terakhir membayar
pada pertengahan Desember 2004. Saat itu pun Wartono
telah menunggak empat bulan.

"Bapak belum punya uang untuk bayar uang sekolah.
Nanti saja katanya," tutur Wartono polos.

Hampir semua teman sekelas Wartono dan Hariyanto
mengaku menunggak uang sekolah. Serentak mereka
mengacungkan tangan saat ditanya siapa yang belum
membayar SPP. Bagi anak-anak itu, menunggak pembayaran
SPP dan uang pramuka tampaknya merupakan hal yang
biasa.

KEPALA SD Negeri 2 Purwosari Marzuki Abdullah
menyebutkan, sebanyak 90 persen dari 190 siswa yang
bersekolah di SD yang dipimpinnya tergolong miskin.
Orangtua mereka sebagian besar bekerja sebagai petani
penggarap yang hanya mengandalkan kehidupan mereka
dari hasil sawah garapan. Umumnya mereka membayar uang
sekolah anaknya saat panen, entah itu dua atau tiga
kali setahun.

"Kalau panennya gagal, ya mereka enggak membayar.
Nanti ditunggu sampai panennya berhasil dan ada uang
untuk membayar uang sekolah," kata Marzuki.

Karena miskin, lebih dari 50 persen siswa di sekolah
itu terancam putus sekolah. Empat siswa kelas enam
bahkan terpaksa tidak melanjutkan (pendidkan--Red)
lagi karena tidak ada biaya.

"Saya sudah membujuk orangtuanya tetapi mereka tidak
sanggup lagi menyekolahkan anaknya," ujarnya.

Berkat usaha Marzuki, 55 siswa di sekolah itu mendapat
bantuan khusus murid (BKM) dari Pemerintah Kabupaten
(Pemkab) Lampung Selatan sebesar Rp 60.000 per
semester. Namun, karena jumlah siswa miskin lebih
banyak lagi, Marzuki membagikan uang itu untuk 65
anak. Masing-masing siswa mendapat Rp 50.000 selama
enam bulan.

KETIDAKMAMPUAN siswa membayar uang sekolah menyebabkan
gaji guru honorer tidak rutin terbayar. Menurut
Marzuki, uang SPP sebenarnya dibutuhkan untuk membayar
honor tiga guru honorer, masing-masing sebesar Rp
75.000 per bulan. Dana dari uang SPP siswa juga
digunakan untuk membayar seorang pengasuh pramuka.

Dengan tersendatnya dana dari siswa, pembayaran gaji
guru honorer dan pengasuh pramuka juga tersendat.

"Kalau kebetulan ada uang, ya kami bayar. Tapi, kalau
tidak ada uang kami tunda dulu pembayarannya.
Sebenarnya tidak tega karena gaji sebesar itu pun
tidak layak. Tetapi, mau bagaimana lagi?" kata
Marzuki.

Kemiskinan yang melilit sebagian besar siswa di
sekolah itu juga membuat mereka tidak mampu membeli
buku pegangan. Anehnya, tidak ada bantuan buku
pelajaran, selain mata pelajaran matematika dan bahasa
Lampung dari pemerintah. Bahkan para guru pun terpaksa
membeli buku pegangan sendiri dan menyalinnya di papan
tulis agar dapat dipelajari siswa.

Minimnya fasilitas juga membuat para siswa tidak mampu
berprestasi maksimal dalam bidang pelajaran. Jangankan
komputer ataupun bahasa Inggris, untuk belajar
pelajaran umum seperti matematika, ilmu pengetahuan
alam, atau ilmu pengetahuan sosial pun mereka
kekurangan bahan bacaan. Sekolah itu tidak memiliki
perpustakaan.

"Prestasi sekolah kami baru di bidang olahraga. Belum
lama ini kami berhasil menjuarai lompat jauh," ujar
Budiman, guru olahraga di sekolah itu.

Jangankan perpustakaan, SD Negeri 2 Purwosari, yang
terletak sekitar 40 kilometer dari Bandar Lampung,
tidak memiliki ruangan yang representatif. Sejak
dibangun pada tahun 1979 sebagai sekolah bantuan bagi
transmigrasi sosial, sekolah ini belum pernah
direhabilitasi. Dari enam ruang kelas yang tersedia,
seluruhnya rusak parah.

Pengamatan Kompas kemarin menunjukkan, langit-langit
ruang kelas I, II, dan III sudah lama roboh. Atap seng
yang menutupi tiga lokal bangunan itu sudah
bolong-bolong. Demikian juga lantai yang terbuat dari
semen. Jika hujan turun ruangan kelas kebanjiran.

Tiga ruang kelas lainnya juga berada dalam kondisi
mengenaskan. Ruang kelas IV misalnya, langit-langitnya
melengkung. Apabila tidak segera diperbaiki,
dikhawatirkan atap kelas itu roboh dan menimpa siswa
yang tengah belajar di dalam kelas.

"Untuk memperbaiki sendiri jelas tidak mampu. Lha wong
bayar SPP saja orangtua sulit kok," kata Marzuki.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung
menunjukkan, persentase penduduk miskin di Lampung
sebanyak 1.568.000 orang atau 22,22 persen dari total
penduduk. Jumlah anak putus sekolah tingkat SD
mencapai 6.347 siswa.

Kepala Dinas Pendidikan Lampung Amansyah Singagerda
mengatakan, pihaknya menyediakan dana Rp 20 miliar
untuk biaya pendidikan anak-anak putus sekolah. Akan
tetapi, dana itu hingga kini belum turun. (Khairina
Nasution)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0505/04/utama/1726865.htm
--- fauziah swasono <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Ringkasnya saya katakan sekali lagi: pernahkah anda
> melihat posting
> anggaran pendidikan dari Depdiknas, Dikti,
> Dikdasmen, dan Pemda? Coba
> sekali2 dicari tahu, tidak sesederhana yang anda
> kalkulasi. Pos
> anggaran pendidikan sangat luas: untuk PTN, sekolah
> kejuruan,
> pendidikan non-dinas, beasiswa, riset, dll.
> Yang saya sayangkan memang jumlah ini masih kecil
> dibandingkan
> kebutuhan keseluruhan, tambahan lagi
> ketidakefisienan.
> 
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "irwank2k2"
> <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > Menurut salah seorang dosen Man. Keuangan
> Pemerintahan yang
> > pernah saya dengar, salah satu celah/pintu utama
> dari 
> > kebocoran anggaran setiap departemen di negara
> kita adalah 
> > karena pertanggung-jawabannya masih model
> 'Traditional Budgeting' 
> > dan bukan ' Performance Budgeting(?)'.. 
> > 
> > Maksudnya, selama ada kuitansinya maka dianggap
> ok-ok aje..
> > Atau belum melihat unsur efisiensi.. atau bahkan
> yang paling bagus 
> > tuh (lupa namanya) melihat ada/tidaknya
> perencanaan jangka panjang
> > dan dampak negatif suatu aktifitas pembangunan
> terhadap sistem 
> > di luarnya (mis: lingkungan hidup, departemen
> lain, dsb)..
> 
> Ini kejadian yang lebih mungkin. Kita juga menganut
> sistem
> "incremental school" budget dimana budget tahun ini
> diitung nambah
> sekian persen dari budget th lalu. Bukan berdasarkan
> real kebutuhan.
> Akibatnya uang yang sudah kurang tidak efisien pula
> alokasinya.
> 
> Saya pernah nulis ttg anggaran dg running panel data
> seluruh kab/kot
> sebelum dan sesudah desentralisasi (1999-2001), dan
> hasilnya memang
> cukup memprihatinkan. Saya copy-paste kan sebagian
> kecil hasil
> ekonometrik untuk education expenditure saja:
> 
> None of demographics characteristics is significant,
> not even does a
> ratio of primary education age (4-14 years old)
> matter. Our suspicion
> is either local government decided the education
> expenditure based on
> nothing but "incremental rule" or on existing
> physical data, such as
> the number of school building, the number of pupil
> enrolled, or a unit
> cost of education. The latter may be true since the
> rule of thumb of
> public goods provision determined by the Ministry of
> Housing and
> Spatial is the number of schools needed for every
> certain number of
> populations. If this is the case, then a subset of
> demographic
> characteristic is not taken into account. 
> 
> Previous year budget, not surprisingly, shows
> significant estimates
> for all models. Therefore, it is possible to say
> that the decision of
> education expenditure is made by following
> incremental rule or
> combining it with other explanatory variables, for
> example budget
> constraint, or probably infrastructure data.
> 
> dan perhatikan yang saya anggap sangat
> memprihatinkan:
> 
> If one measures inequality as the distance between
> the median and the
> mean income, then for a given mean income, a higher
> median income is a
> sign of a lesser inequality (Alesina and Rodrick
> method, 1994). It
> leads to the indication that growth in income
> redistribution has
> negative effect on the growth of education spending,
> or in other
> words, as the education development expenditure
> increases, it tends to
> be distributed in a "pro-rich" manner. This may be
> contributed by the
> fact that non-government agents largely support
> education in
> Indonesia, including at the primary level, so that
> the government does
> not bear the whole burden.
> 
> Sesuai dg hasil ekonometrik, distribusi pengeluaran
> pemda untuk
> pendidikan dasmen tidak pro-poor. :(
> Saya akan coba dg mengekstensi data sampe th
> terakhir, kalau sudah
> lengkap terkumpul. Moga2 kecenderungan ini
> berubah...
> wallahu a'lam.
> 
> salam,
> fau
> 
> 
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "A Nizami"
> <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> > Dengan beasiswa Rp 1 juta per anak per tahun,
> berarti kalau 1 kelas 
> > ada 40 anak ada beasiswa Rp 40 juta per kelas per
> tahun.
> > 
> > Andaikan 1 kelas diajar 2 guru, dan 1 guru gajinya
> Rp 1 juta/bulan, 
> > maka ada Rp 24 juta per bulan untuk gaji guru
> (padahal guru bantu 
> > hanya rp 460 ribu per bulan). Jadi masih ada sisa
> Rp 16 juta dalam 
> > setahun untuk 1 kelas. Kalau 10 tahun ruang kelas
> direnovasi, akan 
> > terkumpul Rp 160 juta buat renovasi.
> > 
> 
> 
> 
> 
> 


Bacalah artikel tentang Islam di:
http://www.nizami.org

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give underprivileged students the materials they need to learn. 
Bring education to life by funding a specific classroom project.
http://us.click.yahoo.com/4F6XtA/_WnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke