http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/6/1/o2.htm
Rabu Wage, 1 Juni 2005 
 Artikel


Bangsa Indonesia hingga saat ini masih berpandangan konservatif soal 
nasionalismenya dengan selalu membesar-besarkan masa lalu, sementara mewaspadai 
globalisasi sebagai suatu hal yang merongrong. Ambil contoh kita sangat 
terbiasa menyebut agenda demokrasi, HAM, perdagangan bebas, good governance 
sebagai upaya pihak-pihak asing guna mendiskreditkan bangsa Indonesia yang 
berkebudayaan luhur dan berkepribadian mulia. Padahal, sungguh ironis, 
agenda-agenda global itu tidaklah masuk dengan todongan senjata ataupun ancaman 
fisik, namun hadirnya inheren dalam perkembangan nilai, gaya, dan cara hidup 
kita yang terus berinteraksi secara intensif dengan dunia luar.


Neonasionalisme di Era Globalisasi
Oleh I Gede Wahyu Wicaksana

NASIONALISME atau semangat kebangsaan adalah perekat yang menjamin keutuhan 
teritori serta kesatuan bangsa Indonesia. Ilmuwan politik sekaligus antropolog 
Benedict Anderson dari Cornell University Amerika Serikat pernah mengungkapkan 
bahwa hingga sekarang ini persoalan nasionalisme Indonesia belumlah tuntas. 
Mengapa demikian? Pernyataan Anderson memiliki signifikansi (arti penting) 
untuk dikaji lebih seksama. Anderson berpendapat, masih terdapat ketidakjelasan 
soal landasan subjektif yang mendasari semangat kebangsaan (nasionalisme) 
Indonesia: Apakah didasarkan pada wangsa ataukan bangsa/nasion. Konsep wangsa 
merujuk pada sebuah bangunan primordial yakni ikatan menurut keturunan atau 
ikatan darah yang sama. 



Bila fondasinya wangsa, berarti semangat kebangsaan Indonesia berasal dari 
kesamaan keturunan, dikuatkan berkat ikatan darah suatu suku bangsa tertentu di 
Tanah Air. Tidak jarang muncul klaim bangsa ini semata perpanjangan tangan dari 
sebuah etnik mayoritas yang dominan. Yang muncul kemudian ialah nasionalisme 
etnosentris yaitu simbol-simbol kebudayaan etnik dominan. Eksistensi 
nasionalisme etnosentris ini dilestarikan melalui jargon-jargon herois masa 
lalu, misalnya senasib sepenanggungan ditindas penjajah yang sebetulnya semu 
maupun irasional. Pengertian wangsa lebih bersifat askriptif, tidak solusif 
ataupun preskriptif sama sekali.

Tawaran yang kedua memandang nasionalisme semestinya berfundamen konsep bangsa 
dalam pengertian nasion. Secara etimologi nasion bermakna kolektivitas individu 
yang mengikatkan diri menjadi satu dalam identitas bersama yang dikontruksi 
lewat konsensus. Dibandingkan wangsa, keberadaan nasion cenderung lebih 
demokratis. Individu-individu yang secara sadar menciptakan sebuah nasion 
melewati proses diskusi yang pada akhirnya melahirkan identitas bersama yang 
disepakati. Tidak tersurat muatan primordial yang meniscayakan nasionalisme 
turun-temurun. Proses kreasi identitas juga tidak didominasi etnik tertentu 
karena dijalankan secara dialogis membahas wacana-wacana aspirasi semua 
komunitas. Pendefinisian ala nasion dimaksud terkesan lebih dinamis, rasional, 
juga visioner.

Yang menarik untuk diperbincangkan terkait nasionalisme Indonesia kita terutama 
di era globalisasi yaitu apakah globalisasi membawa manfaat bagi kian kokohnya 
nasionalisme kita? Untuk lebih jernih, ada baiknya bila menyimak karya 
monumental sosiolog terkemuka Francis Fukuyama yang berjudul ''The End of 
History and The Last Man''. Fukuyama memprediksikan dunia ke depan di abad 
ke-21 merupakan dunia yang hanya diwarnai oleh neoliberalisme sebagai pandangan 
hidup, gaya, dan agenda terpenting umat manusia setelah runtuhnya komunisme Uni 
Soviet dan Eropa Timur, sejarah sudah berhenti berputar karena telah mencapai 
terminasi (tempat tujuan terakhirnya) dunia yang neoliberal dan global. 
Pertarungan melelahkan antara ideologi sosialisme-komunisme melawan 
neoliberalisme akhirnya dimenangkan oleh neoliberalisme. Dunia neoliberalisme 
menurut imajinasi Fukuyama ialah kehidupan masyarakat dunia yang mengedepankan 
kebebasan individu, perdagangan bebas (free trade), budaya kosmopolitan, 
demokrasi, HAM, dan good governance.

Observasi tentang kemajuan dunia dari perspektif yang sedikit berbeda dari 
Fukuyama, misalnya disampaikan oleh Frederic Jameson dalam tulisannya 
''Postmodernism or The Logic of Capitalism''. Jameson tidak menggunakan istilah 
dunia neoliberal, namun era postmodern dengan dua karakteristik dominan. 
Pertama, globalitas. Saat ini sulit membedakan antara yang global ataupun yang 
nasional, sebab kemajuan teknologi informasi, komunikasi, transportasi, serta 
finansial membuat seluruh pelosok dunia tersambung satu jejaring 
interdependensi yang melintasi batas negara.

Kedua, lokalitas. Untuk memahami perubahan yang sedang trend di tingkat global, 
tidak perlu turun tangan langsung mengamati perkembangan di pusat-pusat trend 
dunia, melainkan cukup dari dekat melalui apa yang terjadi di tingkat lokal. 
Hal ini mungkin sekali karena globalisasi yang dahsyat telah menyeragamkan 
kehidupan umat manusia di segenap penjuru dunia.


Masih Konservatif


Dari paparan dua pemikir tersebut, bisa ditarik suatu benang merah terkait 
perkembangan nasionalisme Indonesia sekarang ini. Bangsa Indonesia hingga saat 
ini masih berpandangan konservatif soal nasionalismenya dengan selalu 
membesar-besarkan masa lalu, sementara mewaspadai globalisasi sebagai suatu hal 
yang merongrong. Ambil contoh kita sangat terbiasa menyebut agenda demokrasi, 
HAM, perdagangan bebas, good governance sebagai upaya pihak-pihak asing guna 
mendiskreditkan bangsa Indonesia yang berkebudayaan luhur dan berkepribadian 
mulia. Padahal sungguh ironis, agenda-agenda global itu tidaklah masuk dengan 
todongan senjata ataupun ancaman fisik, namun hadirnya inheren dalam 
perkembangan nilai, gaya, dan cara hidup kita yang terus berinteraksi secara 
intensif dengan dunia luar.

Sejarah revolusi kemerdekaan Indonesia yang berdarah-darah membentuk semacam 
kepekaan yang terkadang berlebihan, senantiasa memandang kekuatan asing dalam 
wujud apa pun berpotensi mencederai kemerdekaan Indonesia. Akibatnya, seperti 
kata pepatah, ''Gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan 
terlihat jelas''. Bangsa Indonesia lebih sensitif bila melihat kasus Ambalat, 
Perang Irak, terorisme global, yang mana isu-isu sebenarnya hanya agenda 
sekunder apabila dibandingkan dengan agenda nasional seperti korupsi 
merajalela, pengangguran, kualitas pendidikan yang rendah, serta ketidakadilan 
sosial.

Jika kenyataan ironis ini tetap dibiarkan, Indonesia akan tercerai-berai, 
tinggal menunggu waktu. Jargon nasionalisme seperti selama ini tidak akan mampu 
lagi mempertahankan loyalitas masyarakat terhadap pemerintah negaranya. Bila 
negara tidak efektif menjalankan fungsinya sebagai penjamin kesejahteraan, 
keamanan, dan keadilan sebagai kebutuhan pokok yang sangat rasional sifatnya, 
tidak ayal lagi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah negara segera 
luntur, dan mereka ini tidak cukup dininabobokan dengan romantisme masa lalu. 
Sudah saatnya membangun nasionalisme baru (neonasionalisme) kita yang menatap 
jauh ke depan bersendikan tujuan nasional yang realistis dan progresif. 
Memberantas korupsi, menegakkan hak-hak dasar setiap warga negara, meningkatkan 
kualitas keimanan dan intelektualitas anak bangsa ini merupakan sebagian kecil 
dari seabrek tujuan nasional perekat neonasionalisme kita. 

Penulis, dosen Ilmu Hubungan Internasional, FISIP Unair Surabaya, peneliti pada 
Center For Strategic and Global Studies, CSGS
 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Dying to be thin?
Anorexia. Narrated by Julianne Moore .
http://us.click.yahoo.com/FLQ_sC/gsnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke