http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/01/daerah/1789160.htm

 
Kaki di Indonesia, Perut di Filipina 


PULAU Miangas di Kabupaten Talaud, Sulawesi Utara, adalah teritorial Indonesia. 
Akan tetapi, jangan tanya soal kewarganegaraan. Mereka pasti bimbang. Tak heran 
ketika pulau itu dihebohkan dengan kematian Sekretaris Desa Johny Awala, yang 
diduga dianiaya Kepala Kepolisian Sektor Border Crossing Area Brigadir Polisi 
Satu Darida, pekan lalu, sejumlah warga mengerek bendera Filipina.

Memang tindakan itu sangat emosional. Tetapi tentunya tidak bisa dianggap 
remeh. Dalam banyak hal, pola hidup warga Pulau Miangas yang hanya berpenduduk 
sekitar 750 jiwa itu mirip dengan masyarakat di gugusan pulau-pulau Talaud, 
yakni menjadi nelayan dan petani. Namun, orientasi ekonomi yang lebih banyak ke 
Filipina menjadikan warga Pulau Miangas enggan mengaku dirinya orang Indonesia.

Sebaliknya, di Filipina mereka dianggap kaum migran. Kedatangan mereka harus 
dengan menunjukkan surat perjalanan yang dikeluarkan aparat Kecamatan BCA 
Miangas. "Kaki kami di Indonesia, tetapi perut di Filipina," kata Julius, warga 
Miangas.

Di Filipina, rakyat Miangas sebagian besar tinggal di Pulau Saranggani, General 
Santos, ataupun Davao di Filipina Selatan. Mereka dikenal sebagai pekerja kasar 
yang ulet. Terjadinya interaksi ekonomi di kedua wilayah itu membuat rakyat 
Miangas jarang menyimpan uang rupiah. Sebagian besar malah mengaku memiliki 
peso, mata uang Filipina.

Peso diperoleh dari hasil perdagangan ikan dan kelapa yang dijual ke wilayah 
terdekat Filipina, yakni Santa Agustien. Uang peso lalu dibelanjakan warga 
Miangas untuk membeli kebutuhan sehari-hari di daerah General Santos.

Untuk ke Santa Agustien, warga Miangas hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga 
jam perjalanan dengan pamboat. Begitu juga jika hendak ke General Santos. Jarak 
Miangas ke Santa Agustien atau General Santos sekitar 60 mil laut. Bandingkan 
dengan jarak Miangas ke Melonguane, ibu kota Kabupaten Talaud, sekitar 90 mil. 
Untuk ke Manado warga Miangas akan menempuh waktu sampai dua hari karena 
jaraknya mencapai 274 mil.

Setali tiga uang juga dilakukan masyarakat Pulau Marore, tetangga Pulau 
Miangas. Pulau berpenduduk 900 jiwa itu, meskipun masuk wilayah Indonesia, 
namun interaksi ekonomi masyarakatnya lebih dekat ke daerah Balut, Pulau 
Saranggani di Filipina. Jarak Marore dan Balut malah lebih dekat, hanya sekitar 
40 mil. Kondisi geografis itu memaksa masyarakat Miangas dan Marore 
berinteraksi (outward looking) ekonomi secara alamiah ke Filipina.

Julius mengatakan, harga beras dan gula pasir relatif lebih murah dibeli di 
Filipina ketimbang membeli di Melonguane atau Manado karena mereka juga 
mempertimbangkan risiko dan biaya perjalanan. Harga beras di Filipina sekitar 
20 peso (satu peso sekitar Rp 300).

Jalur niaga yang terbuka di antara pulau-pulau di perbatasan tersebut justru 
memberi peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat setempat meski dalam skala 
kecil. Awalnya perdagangan di sana dilakukan secara barter, tukar-menukar 
barang. Akan tetapi, barter hasil bumi masyarakat Miangas sangat tergantung 
dengan harga komoditas perkebunan pasar internasional. "Pernah harga satu 
kilogram kopra hanya lima peso, tak cukup untuk membeli satu kilo beras," 
tambah Abraham, warga di sana.

Penjabat Gubernur Sulawesi Utara Lucky Harry Korah mengakui keraguan warga 
perbatasan atas kewarganegaraan Indonesia lebih banyak diukur dari aspek 
ekonomi. Ia mengatakan, terbitnya Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2004 tentang 
pemberdayaan ekonomi perbatasan bertujuan menjadikan wilayah perbatasan sebagai 
beranda depan Indonesia dapat mengatasi problem kesejahteraan. Namun, aplikasi 
peraturan itu masih dipertanyakan warga setelah ekonomi mereka terpuruk.

Alex Ulaen, dosen Universitas Sam Ratulangi, Manado, yang concern 
masalah-masalah perbatasan, mengatakan, perdagangan barter kerap timpang dan 
merugikan warga Miangas. Ketika kopra melimpah, harganya justru turun saat 
dijual ke Filipina. Menurut Ulaen, warga sangat kesulitan manakala hasil bumi 
tidak bisa dijual karena kondisi laut mengganas.

GAMBARAN buruk ekonomi rakyat perbatasan dapat diukur dengan kehidupan normal 
warga setempat. Dalam setahun masyarakat Miangas hanya bisa makan beras selama 
delapan bulan. Sisa waktu empat bulan, mereka mengonsumsi galuga, yaitu umbian 
keras dicampur daging kelapa. Untuk air minum, mereka memanfaatkan air kelapa.

Kehidupan warga Miangas yang terisolasi akibat ganasnya gelombang laut pada 
musim tertentu, biasanya Desember-Maret, cukup memprihatinkan. "Setiap tahun 
kami hidup seperti ini," kata Abraham.

Ketika Kompas berada di sana beberapa waktu lalu, masyarakat memang masih 
memiliki cadangan beras di rumahnya yang berasal dari bantuan Pemerintah 
Kabupaten Talaud. Tetapi menurut Abraham, meski laut tenang, kehidupan mereka 
juga sangat tergantung dari kedatangan kapal perintis yang membawa logistik. 
"Hampir dua bulan kapal perintis Daraki Nusa tidak menyinggahi Miangas. Kapal 
perintis yang mendapat subsidi dari pemerintah itu dikabarkan rusak," katanya.

Hidup dalam kondisi kekurangan juga dirasakan murid-murid SD dan SMP di 
Miangas. Sejumlah bangunan SD di Miangas rusak berat. Apabila hujan turun 
mereka pun tidak bisa belajar. Demikian juga ruangan Balai Pertemuan Umum (BPU) 
yang dibangun pemerintah rusak parah.

Bangunan yang sekilas tampak kokoh meski telah kusam, hanya monumen perbatasan 
yang dibangun pada era pemerintahan Gubernur Sulut CJ Rantung, dan diresmikan 
Panglima ABRI (saat itu) Jenderal Try Sutrisno. Monumen setinggi dua meter dan 
lebar enam meter, yang bagian tengahnya terdapat gambar burung Garuda, itu 
masih berdiri tegak dan menjadi tanda Miangas adalah wilayah Indonesia.

Akan tetapi, nasionalisme warga Miangas terusik manakala mereka terus didera 
kemiskinan dan kelaparan. Bupati Kabupaten Talaud Elly Lasut mengidentifikasi 
persoalan Miangas dan pulau-pulau perbatasan lainnya pada aspek kemiskinan.

Menurut Lasut, pembangunan infrastruktur di pulau perbatasan itu sangat minim, 
sebab terhambat tidak adanya dana pembangunan. Bahkan, untuk membangun gudang 
penyimpanan beras saja sangat sulit. "Untuk sementara kami hanya bisa menyuplai 
beras sebanyak 25 ton yang terpaksa disimpan di rumah-rumah penduduk," katanya.

Lasut menyebutkan juga bahwa prasarana kesehatan di wilayahnya cukup terpuruk 
karena minimnya tenaga medis dan kondisi puskesmas di pulau-pulau yang sudah 
rusak. Ia menyebutkan, untuk menjangkau wilayah Talaud yang terdiri atas 
puluhan pulau, pihaknya hanya mengandalkan delapan dokter, termasuk dirinya.

Untuk berobat warga disarankan datang ke Melonguane karena di ibu kota 
kecamatan itu telah dibangun sebuah rumah sakit yang memadai. Tetapi warga 
Miangas mengalami trauma gara-gara peristiwa kecelakaan laut pada tahun 1999. 
Saat itu sebanyak 22 warga Miangas tenggelam ketika perahu mereka diterjang 
ombak ganas.

"Dengan kondisi ekonomi buruk, miskin, fasilitas kesehatan kurang menunjang, 
dan sarana pendidikan serba pas-pasan, mana mungkin warga Talaud dapat menjadi 
penjaga perbatasan andal dan gagah berani. Demi keamanan perbatasan kita, 
sebetulnya tidak serta-merta menempatkan tentara dalam jumlah besar. Sebab di 
samping mahal, juga tidak cukup memecahkan persoalan. Alternatif terbaik adalah 
memberdayakan masyarakat dari sisi ekonomi dan sosial budaya," tutur Lasut.

ELLY Lasut mengungkapkan, pihaknya telah menawarkan sebuah program BTA (Border 
Trade Area) kepada pemerintah pusat, yang nantinya bisa mendongkrak ekonomi 
masyarakat perbatasan secara keseluruhan. Dalam BTA tergambar pembangunan 
infrastruktur ekonomi, jalan, kesehatan, ataupun pendidikan.

Max Ulaen menambahkan, hal prinsip bagi Miangas dan pulau-pulau perbatasan 
adalah pembangunan ekonomi rakyat. "Monumen perbatasan akan hambar jika 
ekonominya tidak dibangun," katanya. (Jean Rizal Layuck)


[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Dying to be thin?
Anorexia. Narrated by Julianne Moore .
http://us.click.yahoo.com/FLQ_sC/gsnJAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke