MENDIA INDONESIA Senin, 13 Juni 2005
Reorganisasi Lembaga Intelijen Aris Santoso, Pengamat TNI, Jakarta PEMERINTAHAN SBY berencana mendirikan lembaga intelijen 'baru' dengan nama Bakorinda (Badan Koordinasi Intelijen Daerah). Masih terjadi silang pendapat mengenai Bakorinda ini, termasuk di kalangan elite politik sendiri. Hal ini merupakan pertanda bahwa pemerintah sendiri sebenarnya belum menemukan rumusan final tentang fungsi dan wewenang mengenai institusi intelijen tersebut. Pertanyaannya kini, masih perlukah dibentuk lembaga intelijen baru? Dan apa relevansinya? Pertanyaan ini wajar, mengingat pemerintah kita termasuk yang sering mengadakan bongkar pasang lembaga intelijen. Tidak kunjung mapannya struktur lembaga intelijen merupakan cerminan bahwa selalu ada yang tidak beres dalam politik (baca: kekuasaan) negeri kita. Di masa Orde Baru, selain Bakin (kini BIN) dan Bais, kita mengenal Kopkamtib, yang memiliki jaringan intelijen sendiri. Ada juga lembaga intelijen 'semiresmi' Opsus (Operasi Khusus) di bawah Ali Murtopo, yang memiliki akses langsung pada Presiden Soeharto. Di penghujung kekuasaannya, Soeharto masih sempat mendirikan lagi lembaga ekstrajudisial, yang juga tidak jelas fungsinya, yaitu Posko Kewaspadaan Nasional. Model DPKN Ketimbang membentuk lembaga baru semacam Bakorinda yang belum jelas prospeknya, bukankah lebih baik mengoptimalkan saja instrumen yang sudah ada, baik dari unsur kepolisian maupun Koter (Kodam, Korem, dan Kodim). Pembentukan lembaga baru justru akan merepotkan aparat di lapangan karena akan terjadi tumpang-tindih wewenang antarlembaga intelijen. Sementara kalau ada peristiwa yang berakibat fatal, tentu aparat di lapangan (umumnya berpangkat rendah) pula, yang pertama-tama terkena tindakan atasan. Masalahnya memang soal koordinasi. Cukup sering kita dengar adanya 'tabrakan' antar-aparat intelijen, baik saat rapat koordinasi maupun sewaktu tugas di lapangan, dengan saling menyalahkan melalui alat komunikasi handy-talky. Kacaunya koordinasi makin bertambah parah ketika Polri dilepaskan dari TNI, yang oleh Panglima TNI Jenderal E Sutarto disebut sebagai arogansi sektoral. Kalau seorang Panglima TNI saja berkata seperti itu, berarti realita di lapangan, yaitu konflik antara anggota intelijen TNI dan Polri, bisa jadi lebih keras lagi. Di masa lalu Polri pernah memiliki dinas intelijen sendiri, yang disebut DPKN (Dinas Pengawas Keamanan Negara). Ketika DPKN dibubarkan, fungsi DPKN diambil alih Bais, yang lebih berjiwa militer ketimbang polisi. Sejak DPKN dilikuidasi, praktis kemampuan institusi intelijen Polri menjadi lumpuh. Untuk pengamanan (dalam negeri) guna menghadapi berbagai bentuk ancaman dan teror, tentu yang perlu diperkuat adalah lembaga intelijen Polri. Ada baiknya lembaga semacam DPKN bisa diaktifkan kembali. Memang ada lembaga semacam Intelpampol atau Baintelkam Polri, namun performa dan citranya tidak sekuat DPKN. Tidak ada salahnya mengambil teladan dari masa lalu kalau itu memang bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai perbandingan, DPKN itu kira-kira seperti FBI di Negeri Paman Sam. Sedikit ilustrasi tentang DPKN. Anggota DPKN berbeda dengan anggota polisi pada umumnya. Selain memiliki kemampuan khusus, mereka saat bertugas umumnya tidak berseragam. Dengan kemampuan khususnya, anggota DPKN disebar di berbagai lapisan masyarakat, seperti buruh, politisi, ormas, sekte agama tertentu, birokrat, hingga kalangan pengusaha. Asumsinya, DPKN bisa mendeteksi segala potensi gejolak masyarakat, kemudian diambil langkah untuk mengantisipasinya. Saya kira DPKN masih relevan untuk diberlakukan kembali. Paradigma lama Perluasan lembaga intelijen dengan alasan apa pun harus kita tolak karena bertentangan dengan aspirasi demokrasi yang kini sedang berkembang. Kalau tetap 'dipaksakan' dibentuk, berarti pemerintah sekarang kurang peka atas apa yang dirasakan rakyat, yang masih trauma dengan lembaga intelijen, bahkan hingga sekarang. Dari perjalanan waktu kita mengetahui, penguasa lebih suka menjadikan lembaga intelijen sebagai pelayan kekuasaan, bukan pelayan negara dan rakyatnya. Paradigma seperti inilah yang menjadi dasar, lembaga intelijen terlibat dalam berbagai rekayasa, yang bertujuan agar rakyat semakin tunduk pada penguasa. Berkenaan dengan peristiwa hasil rekayasa ini, kita menemukan keganjilan, ketika aparat intelijen justru menjadi bagian dari terciptanya ancaman. Kira-kira bagaimana pandangan SBY sendiri terhadap fenomena intelijen? Kebetulan selama kariernya di militer, SBY tidak pernah secara khusus berdinas di bidang intelijen, namun ia memiliki pandangan yang menarik tentang intelijen. Saat menjabat Pangdam II/Sriwijaya (1997), SBY pernah berkata ''how to win the heart and the mind of the people''. Artinya, SBY setuju dengan cara-cara persuasif dalam operasi intelijen. Kalimat SBY tersebut, kini menjadi semacam doktrin Opster (Operasi Teritorial) TNI-AD. Bila pandangan SBY pribadi terhadap lembaga intelijen bisa moderat seperti itu, bagaimana bisa terjadi perkembangan yang tidak match dengan pandangan pribadinya? Kemungkinan ini adalah pengaruh lingkungan. Sebagaimana kita tahu, dalam perkara intelijen, yang dominan adalah alumni Akmil angkatan 1965, seperti Mayjen TNI Purn Syamsir Siregar (Kepala BIN), Letjen TNI Purn Moch Maruf (Mendagri), dan Mayjen TNI Purn Achdari (sempat dicalonkan sebagai Kepala BIN). Akmil 1965 menempati posisi yang khas di antara alumni Akmil yang lain. Mereka menjadi perwira muda di saat awal Orde Baru. Kemudian berkembang, membina karier, dan mencapai puncaknya juga masih di masa Orba (1995-1996). Jadi, bisa dibayangkan bagaimana think thank intelijen pemerintahan SBY-Kalla ini, sebenarnya masih terbelenggu dengan pola lama (maksudnya Orba). Dan tampaknya mereka masih sulit melepaskan dari pola lama tersebut. Padahal apa relevansi sebenarnya dari perluasan lembaga intelijen? Kalau rakyat masih juga dibebani dengan isu bom, berarti rakyat kita sudah masuk tahap menderita lahir batin. Karena selain kurang makan dan mahalnya BBM (penderitaan lahir), masih juga dibebani sesuatu yang di luar kemampuan mereka (penderitaan batin). Kalau perluasan lembaga intelijen dimaksudkan untuk menangkal kemungkinan gerakan insubordinasi, argumentasi ini juga lemah. Kelompok mana yang dimaksud? Pemerintahan SBY-Kalla ini benar-benar solid karena didukung oleh TNI dan Golkar. Dua entitas politik terbesar saat ini. Kalau yang dimaksudkan sebagai kelompok oposisi adalah PDIP, hingga PDIP atau kekuatan politik lain perlu diwaspadai, publik juga akan heran. Adakah yang tersisa dari PDIP, selain kenangan bahwa partai ini pernah berkuasa selama hampir 4 tahun. Sementara di sisi lain, kekuatan civil society praktis lumpuh dan tercerai berai. Sebagian di antaranya, yakni para 'kesatria' gerakan reformasi justru sedang berlomba-lomba mencari jalan untuk merapat ke Istana.*** [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/