http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=175642

Senin, 13 Juni 2005,


Demonstrasi Alam
Oleh M. Fathoni Mahsun *


Mungkin Indonesia memang belum benar-benar siap sebagai negara yang terbebas 
atau minimal meninggalkan kemiskinan. Tidak usah repot-repot memburu data yang 
valid untuk membuktikan hal itu.

Misalnya, data Bank Dunia menunjukkan bahwa di Indonesia terdapat 110 juta 
lebih penduduk miskin. Busung lapar yang terjadi di depan mata kita saat ini 
ditengarai sebagai penyakit khas negara miskin yang ada sejak zaman Belanda. 
Jumlah penduduk miskin di negara ini tidak tanggung-tanggung, menyamai jumlah 
penduduk Malaysia, Vietnam, dan Kamboja.

Terlepas dari itu, sebagai sesama warga negara Indonesia, kita harus turut 
prihatin. Sebab, ternyata di tengah-tengah keglamoran sebagian masyarakat, yang 
ramai-ramai mulai bisa mencicipi berbagai macam subsisdi kompensasi BBM, masih 
ada saja yang terkena busung lapar atau maramus kwasiorkor karena gizi buruk. 

Yakni, penyakit yang tidak lagi menjadi problem satu provinsi saja -karena 
sebagian masyarakat yang kebetulan berada di provinsi lain mungkin merasa 
terbebas dan tidak perlu terbebani memikirkan hal tersebut- tetapi sudah 
menjadi penyakit nasional, yang penyebarannya merangsek ke seluruh provinsi di 
Indonesia. Bahkan, mungkin terjadi di sekitar kita. Jadi, tak ada alasan untuk 
tidak peduli.

Penyakit itu seakan-akan berteriak dengan lantang setelah teriakan 
penyakit-penyakit lain, seperti polio dan kusta, kurang diperhatikan publik 
Indonesia. Teriakan tersebut seakan berbunyi bahwa banyak hal mendasar di 
Indonesia yang kurang teperhatikan. 

Banyak kebutuhan primer masyarakat yang semestinya didahulukan pemerintah, 
tetapi ternyata pemerintah lebih memprioritaskan hal-hal lain yang notabene 
dapat mengangkat citra Indonesia di mata internasional serta hal-hal lain yang 
hanya bersifat atributif, seperti peremajaan mobil pejabat, pembiayaan pemilu, 
dan pilkada. Pemerintah berani membayar mahal untuk itu.

Masyarakat miskin memang berkali-kali menjadi tumbal di negeri ini. Mereka 
sering menjadi korban karena dipandang tidak mempunyai bargaining position. 
Nasibnya baru diperhatikan ketika ada kejadian fenomenal. Ironisnya, kalaupun 
ada musibah, uluran tangan dari pemerintah hanya bersifat belas kasihan, 
temporer, dan tidak permanen.

Nasib mereka belum dipandang sebagai hak yang harus diperjuangkan. Bayangkan 
saja, pemerintah hanya mengalokasikan dana Rp 150 miliar untuk menanggulangi 
gizi buruk di seluruh tanah air. Coba bandingkan dengan subisidi bank-bank 
rekap yang mencapai Rp 70 triliun. Mana cerminan bahwa pemerintah akan 
memperjuangkan nasib wong cilik sebagaimana digembor-gemborkan pada waktu 
kampanye?

Lebih terperanjat lagi ketika ternyata musibah busung lapar terjadi di NTB, 
yang notabene daerah penghasil padi. Memang dari kacamata medis, busung lapar 
bukan karena kekurangan pangan. Bisa saja orang makan tiga kali sehari, tapi 
terserang busung lapar. Penyakit tersebut bisa disebabkan rendahnya gizi yang 
dikonsumsi. 

Logika sederhananya, masyarakat NTB, yang daerahnya menjadi salah satu sentra 
penghasil beras di Indonesia, ternyata tidak mampu menukar hasil sawah dengan 
susu, ikan, bubur bayi, atau makan-makanan lain yang mengandung muatan makanan 
standar. 

Salah satu kecurigaan mengarah pada pertanyaan-pertanyaan, ke manakah hasil 
panen mereka, apakah hanya cukup menutupi ongkos produksi saja? Lalu, bagaimana 
kebijakan pemerintah tentang harga pupuk, harga jual hasil panen?

Sudahkah pemerintah memihak kepada rakyat? Kalau sudah, mengapa harus terjadi 
busung lapar? Jika daerah yang menjadi lumbung padi saja bisa terserang busung 
lapar, bagaimana daerah yang bukan lumbung padi?

Busung lapar bukan lagi hanya masalah kesehatan secara ansich, tetapi merupakan 
penyakit politik, penyakit yang timbul karena kesalahan pemerintah mengambil 
kebijakan. 

Penyakit itu tidak akan timbul kembali -karena sudah pernah terjadi sebelumnya- 
jika pemerintah serius melakukan langkah-langkah antisipasi dengan melakukan 
kontrol kontinu dan konsisten agar tidak terjadi penyakit-penyakit serupa. 

Namun sekali lagi, itu penyakit orang-orang miskin, orang-orang yang distigma 
kurang memberikan konstribusi berarti bagi pembangunan. Untuk membuktikan hal 
itu, kita bisa menengok pernyataan Menko Kesra Alwi Shihab yang mengatakan, 
busung lapar pada sebagian anak-anak Indonesia adalah kecelakaan.

Tragis memang. Sebab, hal itu cenderung dianggap sebagai kejadian kebetulan, 
spontan, dan numpang lewat saja serta terkesan sebagai kejadian yang tidak 
melibatkan kekeliruan kebijakan pemerintah. Benar-benar tragis.
" M. Fathoni Mahsun, presiden BEM STKIP PGRI Jombang
" 


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke