http://www.kompas.com/kompas-cetak/0506/15/opini/1817829.htm
Audit Biaya pada Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin Hasbullah Thabrany KOMPAS 25 Mei 2005, halaman 10 dan 17 memuat dua berita kecil tentang Kuota Askes yang membebani rumah sakit dan tentang Pemda DKI yang berutang Rp 32 miliar ke rumah sakit. PADA minggu-minggu yang sama, DPR Komisi IX juga melakukan rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan berbagai pihak terkait membahas masalah jaminan kesehatan keluarga miskin, baik langsung seperti yang dikerjakan oleh Askes maupun yang tidak langsung seperti yang diberikan oleh rumah sakit publik (RSP). Mengikuti dan mencermati berbagai berita dan argumen tentang pelayanan masyarakat miskin ini, tampak jelas bahwa para pelaku tidak memiliki suatu dasar (platform) berpikir dan bekerja yang sama. Sesungguhnya para pelaku adalah aparat pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang seharusnya sama-sama berpikir dan menjalankan fungsi memberikan pelayanan kepada rakyat. Akan tetapi, tampaknya para pelaku melihat dirinya sebagai pemilik suatu institusi dan karenanya merasa dirugikan secara ekonomis oleh pelaku yang lain. Askes mengeluh bahwa dana yang dimiliki, dari iuran pegawai negeri yang terlalu kecil untuk menjamin pelayanan yang komprehensif dan dari iuran pemerintah untuk masyarakat miskin yang hanya Rp 5.000 per jiwa per bulan. Padahal, sejak dimulainya jaminan kesehatan masyarakat miskin, sudah banyak sekali kasus kanker, bedah jantung, hemodialisa (cuci darah), dan lain-lain yang menghabiskan biaya besar sekali untuk tiap orang. Sebagai contoh, di Jawa Tengah selama Januari-Maret 2005 sudah ada 140 orang miskin yang dibiayai untuk hemodialisa. Dengan dua kali hemodialisa saja per minggu dengan biaya Rp 400.000 per kali, maka untuk Jawa Tengah saja dibutuhkan dana Rp 448 juta sebulan. Padahal jumlah masyarakat miskin yang terdata belum semua. Kasus kekurangan dana yang sama juga dikeluhkan untuk program asuransi kesehatan pegawai negeri yang harus membayar operasi jantung yang di Jakarta bisa menghabiskan Rp 150 juta per pasien. Rumah sakit pusat maupun daerah mengeluh bahwa pembayaran oleh Askes, berdasarkan tarif yang ditetapkan bersama oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri, terlalu kecil. Besarnya tarif ini memang bukan usulan rumah sakit dan karenanya pihak rumah sakit menyatakan bahwa mereka harus menerima tarif yang ditetapkan Askes. Akibatnya, rumah sakit pemerintah (pusat maupun daerah) mengeluh merugi atau harus mensubsidi Askes miliaran rupiah. Berita Kompas tanggal 25 Mei halaman 17, misalnya, menyatakan bahwa Pemda DKI berutang Rp 32 miliar ke rumah sakit di Jakarta. Jika diusut lagi, akhirnya para pelaku melemparkan lagi kesalahan kepada pihak pemerintah yang tidak mengalokasikan dana yang cukup. Pihak departemen atau dinas kesehatan akan melemparkan lagi masalah ini kepada pihak rumah sakit yang tidak transparan, yang boros, yang moral hazard, dan sebagainya. Lucunya, semua pelaku yang saling mengeluhkan satu dengan yang lainnya adalah aparat pemerintah atau kuasi pemerintah, baik sebagai pegawai dinas kesehatan, rumah sakit, Departemen Kesehatan, atau Askes. Tidak jelas apakah negara ini memang sudah dikotak-kotakan seperti itu dengan masing-masing mempunyai hak dan tanggung-jawab sendiri-sendiri yang lepas dari tanggung jawab bersama untuk melayani rakyat. Bagi masyarakat, sikap saling menyalahkan atau melempar tanggung-jawab tersebut sungguh membingungkan. Masyarakat mengetahui bahwa semua pelaku adalah pihak pemerintah dan rumah sakit sama-sama sudah mendapat gaji pegawai, dana alat, dan bahan medis, serta keperluan administrasi lainnya dari APBN/APBD. Kalau RS merugi dan harus mensubsidi jumlah dana sebanyak itu, dari mana RS pemerintah tersebut mendapatkan dana untuk subsidi (istilah yang sesungguhnya tidak tepat)? Logikanya, kalau rumah sakit bisa memiliki piutang Rp 32 miliar ke pemda, atau mensubsidi selisih dana yang katanya seharusnya Rp 20.000 per orang miskin per bulan, berarti RS pemerintah itu punya dana untuk menutupi kerugian atau subsidi tersebut. Dari mana? Pernyataan merugi dan mensubsidi bisa jadi dinilai oleh masyarakat atau pemeriksa bahwa rumah sakit tersebut kini memang punya dana besar tetapi tidak tercatat. Masalahnya sering kali apa yang diungkap sebagai rugi dan subsidi sesungguhnya hanyalah hitungan di atas kertas dengan berbagai asumsi. Sering kali argumennya adalah kalau dihitung atas dasar biaya satuan, tarif yang berlaku, dan berbagai "kalau" lainya. Biaya satuan suatu pelayanan sangat tergantung dari berapa besar biaya input yang dimasukan untuk menghitung biaya satuan tersebut. Bukankah gaji dokter, gaji pegawai, pembelian alat, dan bahkan sebagian biaya operasional sudah dibayar pemerintah! Sebagian obat sering kali diresepkan dan ditebus oleh pasien atau dijamin terpisah di apotek! Lalu, di mana ruginya? Biaya operasional termasuk jasa medis dan jasa paramedis, karena gaji pegawai negeri yang relatif kecil, merupakan komponen yang diperhitungkan sebagai beban rumah sakit selain biaya operasional lain untuk menutupi kekurangan anggaran pemerintah. Rumah sakit adalah satu dari sedikit lembaga yang dibolehkan membayar jasa medis atau jasa paramedis dari pendapatan operasionalnya. Di lembaga atau aparat pemerintah lain, pemberian jasa atau uang insentif tersebut digolongkan dalam kategori korupsi. Yang menjadi masalah adalah tidak adanya standar tentang besaran jasa medis atau jasa-jasa lain yang wajar yang dapat diterima karyawan dan manajemen rumah sakit. Demikian juga dengan biaya operasional, yang tidak ada standarnya. Apakah dokter spesialis di rumah sakit pemerintah yang menerima jasa medis lebih dari Rp 50 juta sebulan, di luar gaji pegawai negerinya wajar? Hanya rumah sakit dan dokter yang bersangkutan yang menilainya. Besaran jasa dan biaya operasional yang ditetapkan sendiri oleh pihak rumah sakit inilah yang menimbulkan perhitungan Askes atau pemda berhutang atau menerima subsidi rumah sakit pemerintah. Besaran biaya operasional seperti listrik, bahan habis pakai yang dibeli di pasar, dan bahan-bahan lain yang besarannya bisa dibandingkan di pasaran dapat dengan lebih mudah ditetapkan standarnya atau dinilai kewajarannya. Perbedaan asumsi biaya-biaya inilah, selain tingkat kelengkapan alat serta jenis pelayanan, yang membedakan perbedaan persepsi antara rumah sakit, Askes, dan pihak dinas kesehatan di berbagai daerah. Sudah dapat ditebak bahwa di rumah sakit yang berada di kota besar, di mana tuntutan besaran jasa medis dan jasa pegawai lainnya tinggi, rumah sakit mengklaim biaya satuan yang besar dan merugi. Rumah sakit di kota kecil, yang jauh dari kota besar, biasanya bisa menerima dan bahkan senang sekali dengan besaran penggantian biaya Askes atau program pemerintah lain karena standar biaya satuan mereka jauh lebih kecil. Kondisi ini menyebabkan banyak dokter tidak tertarik bekerja di kota kecil. Oleh karena itu, harus ada standar yang adil atas besaran jasa pegawai dan biaya operasional lain. Sesungguhnya, di mata rakyat, semua pelaku adalah pemerintah. Askes, dinas kesehatan, Departemen Kesehatan, rumah sakit vertikal, maupun rumah sakit daerah adalah aparatur pemerintah dalam melayani rakyat sesuai dengan amanat konstitusi. Jika semua pelaku tersebut mempunyai visi yang sama dan secara konsisten menjalankan misi yang sama untuk menyehatkan rakyat, maka saling mengeluhkan dan saling lempar tanggung-jawab tidak perlu terjadi. Jika saja semua bisa duduk bersama dan menetapkan besaran jumlah komponen input dan besaran biaya input yang diperlukan untuk menghasilkan satu unit pelayanan atau paket pelayanan, saling melemparkan keluhan tidak perlu terjadi. Otonomi daerah dan otonomi rumah sakit yang dijalankan tanpa adanya standar nasional, yang disesuaikan dengan tingkat kemahalan atau indeks harga konsumen di berbagai daerah, akan terus menimbulkan persepsi perbedaan biaya. Tidak pelak lagi, yang jadi korban adalah pasien, baik yang dibiayai oleh pemerintah, Askes, perusahaan, apalagi yang harus membayar sendiri. Para pengambil keputusan hendaknya menyadari benar bahwa ada kegagalan pasar dalam pelayanan kesehatan. Penerapan mekanisme pasar dalam pelayanan rumah sakit dan pelayanan kesehatan lain tidak akan dan tidak akan pernah menguntungkan konsumen (baca pasien). Argumen ilmiah dan bukti-bukti tentang hal ini dapat dibaca di hampir semua buku teks ekonomi kesehatan atau kebijakan kesehatan. Oleh karena itu, jangan berharap bahwa otonomi daerah dan otonomi rumah sakit akan memperbaiki mutu dan efisiensi pelayanan kesehatan kepada rakyat. Standar nasional perlu ada dan tidak penetapan sendiri tarif oleh rumah sakit sesuai mekanisme pasar tidak boleh ada. Di Malaysia dan Singapura, misalnya, jasa medis dan besaran biaya pelayanan di rumah sakit swasta sekalipun ditetapkan oleh pemerintah bersama ikatan dokter setempat. Di negara lain, standar besaran jasa dan tarif pelayanan kesehatan juga ditetapkan, baik langsung oleh pemerintah atau melalui tarif asuransi kesehatan nasional. Dengan standar tersebut, pasien-yang berada pada posisi amat lemah, dapat terlindungi. Barulah kemudian semua penduduk akan merasa tenteram dan dapat berkonsentrasi meningkatkan produktivitasnya. Tanpa hal ini, negara yang adil dan makmur akan hanya menjadi isapan jempol. Langkah awal dapat dimulai dengan melakukan audit tentang komponen pelayanan dan biaya yang diperlukan untuk memproduksi suatu unit atau paket pelayanan. Dari sini, kebijakan tarif atau indeks tarif yang disesuaikan dengan indeks harga konsumen dapat ditetapkan. Tentu saja, tarif atau indeks tarif tersebut harus dibedakan untuk rumah sakit pemerintah, yang segala investasi dan sebagian belanja pegawainya sudah dibayar rakyat, dan untuk rumah sakit swasta. Berangkat dari standar tarif atau indeks tarif ini, besaran iuran pemerintah untuk program kesehatan masyarakat miskin dapat dihitung secara adil (fair). Kelak, istilah miskin harus dihapuskan dalam setiap program kesehatan karena bersifat diskriminatif dan tidak sesuai dengan karakter alamiah pelayanan kesehatan yang tidak mengenal kelas ekonomi. Hasbullah Thabrany Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/