http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/6/28/b1.htm
Dari Warung Global Interaktif Bali Post Putusan PK MA atas Tommy Soeharto-- Kita Perlu Turunkan Bendera Setengah Tiang Putusan peninjauan kembali (PK) yang ditetapkan Mahkamah Agung (MA) dengan mengurangi hukuman Tommy Soeharto, tak bisa diterima begitu saja. MA menjadi sorotan publik dan ini bisa menjadi bukti bahwa masyarakat memang tidak bisa berharap banyak terhadap lembaga hukum ini sebagai benteng terakhir peradilan. Keputusan ini juga membuat Direktur Monitoring Court (IMC) Denny Indrayana curiga terhadap lembaga MA yang selama ini kurang transparan. Masyarakat pun bertanya, apakah masih ada keadilan itu. Sekarang ini hukum masih bisa dibeli dengan uang. Kalau ini dikatakan cerita bohong tetapi sering permainan ini dipertontonkan. Kita harus ''menurunkan bendera'' menjadi setengah tiang atas peristiwa itu dan situasi hukum di Indonesia. Tetapi tak perlu meratapi hukum di Indonesia karena sebenarnya hukum di Indonesia itu sudah baik dan sempurna. Yang jadi masalah adalah insan-insan penegak hukumnya harus diratapi. Demikian antara lain pernyataan yang muncul dalam acara Warung Global yang disiarkan Radio Global Kinijani FM 96,5 dan direlai oleh radio Singaraja FM dan Radio Genta Swara Sakti Bali. Victor Yved Neno, seorang pengacara di Denpasar yang sekaligus narasumber acara ini, mengatakan kalau melihat dari proses hukum yang ada, maka upaya hukum yang ditempuh oleh Tommy Soeharto itu sudah sesuai dengan hukum dan sah secara hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu sebagai upaya hukum yang terakhir. Semua pihak harus tunduk terhadap keputusan hukum ini. Menurut Victor, ini adalah bagian dari upaya penegakan hukum yang menurutnya ada tiga aspek: aspek keadilan, aspek kebenaran, dan aspek kepastian hukum. Yang menjadi persoalan adalah aspek keadilan yang filosofis sekali. Tentu dengan keputusan yang ada akan mengundang protes masyarakat yang merasa keputusan ini tidak adil sehingga banyak komentar dari masyarakat. Keadilan yang dirasakan antara orang yang satu berbeda dengan rasa keadilan orang lain. Namun, kalau ditinjau dari aspek kebenaran dan kepastian hukum sudah benar sekali. Kalau dikatakan bahwa keputusan itu dianggap tidak transparan, Victor mengatakan dirinya pun tidak melihat ketidaktransparanannya di mana. Ia menambahkan, keputusan hukum tidak harus dipublikasikan media massa. Transparansi di sini hanya sebatas memberikan salinan keputusan kepada pihak yang terkait. Kasus Tommy Soeharto adalah kasus kriminal biasa yang tidak perlu dibesar-besarkan dan bukan sesuatu yang istimewa. Menjadi istimewa karena pelaku adalah anak seorang mantan presiden. Analisis inilah yang dipakai Victor kenapa MA tidak memberikan transparansinya. Apakah kecurigaan masyarakat dewasa ini, bahwa di peradilan hukum Indonesia ada mafia? Ia mengatakan sangat sulit untuk membuktikan adanya mafia peradilan dan juga saksi-saksi. Kecuali jika tertangkap tangan seperti kasus pengacara Abdullah Puteh, baru kita katakan memang ada mafia. Ini adalah tantangan bagi republik ini bagi pemerintah dan masyarakat untuk berupaya menangkap secara langsung karena tidak ada maling yang mengaku maling. Sementara itu, Armayani di Denpasar bertanya, apakah masih ada keadilan itu. Sekarang ini hukum masih bisa dibeli dengan uang. Kalau ini dikatakan cerita bohong tetapi sering permainan ini dipertontonkan. Selama ini mekanisme hukum selalu saja harus ada bukti. Bagaimana mungkin bisa membuktikan, orang-orang di badan peradilan adalah orang-orang yang pintar. Kenapa kebanyakan kasus menjadi tanggal karena tidak ada bukti, itu disebabkan kita tidak masuk ke dalamnya. Jelas selalu lepas karena tidak ada bukti karena tidak mungkin ada pemberian kuitansi atas pemberian uang itu. Kadek Mako di Kedewatan Ubud mengatakan bahwa kita harus menurunkan bendera menjadi setengah tiang atas peristiwa itu dan situasi hukum di Indonesia. Kalau sudah hukum itu kena pada orang yang berada hukum bisa dipermainkan, kalau orang biasa maka tidak bisa berbuat apa. Ini memang tantangan buat pemerintah walaupun memang pemerintah tidak boleh ikut campur dalam masalah ini, tetapi kalau masalahnya sudah pelecehan harus bertindak. Orang yang kaya akan dengan seenaknya mendapat jaminan untuk penangguhan penahanan, sedangkan orang biasa akan bonyok mukanya. Dalam kasus Tommy Soeharto, ia malah bertanya, apakah memang Tommy itu ada di penjara. Selama hukum warisan kolonial ini masih ada maka pelecehan hukum itu masih tetap ada. Natri Udiani di Denpasar lebih condong bertanya tentang keberadaan Tommy Soeharto, apakah benar di Nusakambangan. Pasalnya, banyak pejabat di Indonesia yang merasa ayahnya Tommy itu berjasa pada dirinya. Awe di Legian mengatakan, kalau cinta dibuang jangan harap keadilan akan datang. Semasih hukum kolonial ada di Indonesia maka yang terjadi adalah ''KUHP'' -- kasih uang habis perkara. Contohnya saja ketika seseorang minta penangguhan, kalau tidak ada penjaminan berupa duit dia tidak bisa keluar. Maju tidaknya seseorang ke pengadilan tergantung penyidik. Di tingkat penyidik juga hukum bisa dipermainkan, maka kalau sudah ada uang tidak sampai satu malam ditahan bisa keluar. Sugata di Bangli menambahkan, selama hukum itu masih berprinsip ''KUHP'' -- kasih uang habis perkara -- maka tidak akan ada keadilan di Indonesia. Kenapa Tommy tidak sekalian dibebaskan, daripada dikurangi terus hukumannya. Menurut Prianus di Denpasar, karena ada bukti baru atau novum maka ini bisa meringankan. MA harus mengumumkan bukti baru itu seperti apa. Memang Tommy luar biasa, anak mantan presiden, tetapi dari segi hukum dia orang biasa saja. Remisi itu adalah haknya narapidana. Antonius di Tabanan mengajak, jangan meratapi hukum di Indonesia karena sebenarnya hukum di Indonesia itu sudah baik dan sempurna. Yang jadi masalah adalah insan-insan penegak hukumnya harus diratapi, karena mereka hanya bermain untuk kepentingan dirinya sendiri tanpa mau memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Ini yang konyol. Kalau mereka masih bermain, ia pesimis peraturan hukum yang sudah baik akan dapat ditegakkan. Apalah arti revisi hukum kalau mental-mental orang hukum itu bobrok. Dalam kasus Tommy, sah-sah saja jika Tommy mendapat perlakuan hukum itu. Tetapi, Antonius yang juga seorang praktisi hukum ini tetap mewakili perasaan publik bahwa masalah Tommy adalah masalah yang besar. Karena dia melakukan pembunuhan terhadap seorang pejabat negara yaitu seorang hakim agung. Tetapi, akan menjadi biasa kalau yang dibunuh adalah orang biasa. Sekalipun wacana mengatakan Tommy tidak ada di tempat sebagai alibi, tetapi pembunuhan itu bisa dilakuan dengan perantaraan orang sebagai suruhan. Antonius secara pasti mengatakan logika yang dirasakan masyarakat adalah, banyak hakim yang bermain dengan duit. Suastika di Denpasar menilai, semestinya Tommy itu tidak usah mengajukan PK karena waktu divonis di Pengadilan Negeri mereka sudah menerima vonis itu sehingga tidak mengajukan upaya lainnya seperti banding dan kasasi. Yang layak Tommy lakukan adalah memohon grasi presiden. Suastika heran kenapa malah sekarang mengajukan PK. Kalau MA mengabulkan PK Tommy maka MA harus membebaskan. Tetapi kalau MA membebaskan, itu tidak mungkin karena di tingkat Pengadilan Negeri Tommy sudah menerima vonis itu. MA harus menjelaskan kepada masyarakat. Sementara itu, Dewa Kakiang Manik mengatakan, inilah sebuah kepintaran dari pengacara Tommy yang selalu berusaha dan berupaya untuk mencari celah-celah hukum. Hukuman yang dijalani Tommy itu sudah baik prosedurnya. Sesuai pasal 354 hukuman maksimal Tommy adalah 10 tahun. Dulu pernah ada kasus Karta dan Sengkon yang akhirnya menjebloskan Karta dan Sengkon ke penjara dan sudah menjalani puluhan tahun akhirnya dia dibesaskan karena tidak terbukti. Tetapi, Sengkon dan Karta tidak mendapatkan ganti rugi. Inilah ketidakadilan hukum di Indonesia. Siapa pun orangnya kalau pintar menggunakan haknya dan celah-celah hukum bisa medapatkan apa yang diinginkan. Ngurah Indrajaya di Denpasar menyarankan, hukum dan hakim diganti saja dengan program komputer. Semua hal yang masuk di-input datanya oleh komputer dan juga keputusan penjara sudah ditentukan oleh komputer yang tentu saja tidak bisa ditombok. Kadek Kariana di Singaraja mengatakan keputusan PK MA ini luar biasa karena korbannya itu adalah rekan sejawat mereka sendiri yaitu hakim agung. Kekerabatan insan-insan MA dengan sesama rekannya tidak ada sama sekali dan tidak punya perasaan. Adi di Bajera mengingatkan bahwa Bagir Manan pernah mengatakan kalau masalah hukum sudah sampai ke MA maka PK tidak perlu. Antara omongan dan tindakan berbeda. Hakim sekarang banyak yang bertitel ''SH'' atau susah hidup maka dari itu mereka mencari uang. * bram [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. www.ppi-india.org *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Lihat arsip sebelumnya, www.ppi-india.da.ru; 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/