http://www.indomedia.com/bpost/072005/16/opini/opini1.htm


Orang Miskin 'Dilarang' Sakit
Oleh:
dr H Milhan MM


Judul di atas terlalu menghina dan cenderung provokatif. Tapi setidaknya itulah 
gambaran kondisi masyarakat kita yang kebetulan belum beruntung. Sejak April 
2005, biaya kesehatan masyarakat miskin ditangani oleh PT Askes melalui program 
Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Mayarakat Miskin (JPKMM).

Walaupun dana Kompensasi BBM sudah cair (BPost, 20 Juni 2005), tetapi jatah 
(kuota) masyarakat miskin yang mendapat pelayanan kesehatan gratis, jumlahnya 
sangat sedikit, tidak sesuai kondisi sebenarnya di lapangan. Dalam sosialisasi 
kepada kepala desa di sebuah kecamatan, ada seorang kepala desa yang menggebrak 
meja karena merasa jatah (kuota) keluarga miskin yang bisa dilayani berkurang. 
Untung ada yang menenangkannya. Sementara kepala desa lainnya manggarunum 
terhadap jatah yang mengecil itu. Terlepas dari salah sasaran dalam pemberian 
Kartu Sehat bagi keluarga miskin, program JPKMM memberi rasa khawatir dan 
pesimis, mampukah masyarakat miskin terlayani dengan baik?

Program bagi masyarakat miskin

Sejak 1999, program pelayanan kesehatan untuk masyarakat miskin diadakan. Waktu 
itu, program tersebut bernama Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK). 
Sumber dana berasal dari pinjaman luar negeri. Kemudian pada 2002, program 
tersebut berganti nama menjadi Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan 
Bakar Minyak (PKPS BBM). Sumber dana dari dalam negeri yang berasal dari 
pengurangan subsidi BBM. Pada April 2005 ini, program tersebut berubah lagi 
menjadi Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Miskin (JPKMM). Sumber dana 
juga dari kompensasi subsidi BBM. Audit dana oleh BPKP dan Bawasda.

Kalau sebelumnya antara 1999 - 2004, pengelolaan kesehatan masyarakat miskin 
dananya langsung didrop ke penyedia pelayanan kesehatan (PPK) dalam hal ini 
rumah sakit, puskesmas dan bidan desa. Maka, sejak awal 2005 dikelola langsung 
oleh PT Asuransi Kesehatan (Askes) seperti halnya pegawai negeri. Sebelum 2005, 
pendataan masyarakat miskin dilakukan oleh bidan desa bersama lurah/kepala desa 
setempat tiap tahun. Kriteria keluarga miskin waktu itu adalah: hanya mampu 
makan dua kali sehari; tidak mampu menyekolahkan anak karena tidak ada dana; 
rumah yang tidak layak huni. Sedangkan saat ini pendataan -menurut informasi 
yang saya dapat-- dilakukan oleh PT Askes dan BPS dengan kriteria keluarga 
miskin adalah yang berpenghasilan di bawah Rp500 ribu per bulan.

Kuota Yang Sedikit

Ada satu ketergesa-gesaan yang dilakukan PT Askes. PT Askes sudah memasang 
kuota penduduk miskin seluruh Indonesia sampai per desa/kelurahan. Idealnya 
didata dulu baru diberi kuota per daerah, sebab akan sesuai dengan realitas 
jumlah masyarakat miskin yang sebenarnya. PT Askes barangkali berkelit itu 
memang sudah kuota yang ditetapkan pemerintah (presiden dan DPR), tetapi yang 
disayangkan adalah penetapan tersebut tidak berdasarkan data dari bawah (bottom 
up).

Masalahnya sekarang adalah kuota tersebut jauh di bawah jumlah penduduk miskin 
yang didata tahun-tahun sebelumnya. Contohnya, di Kalsel kehilangan kuota 
penduduk miskin sekitar 400.000 jiwa. Di Kabupaten Tapin, data penduduk miskin 
sebelumnya sekitar 44.000 jiwa, sedangkan kuota yang akan dilayani PT Askes 
pada 2005 ini hanya 11.000 jiwa. Di Kecamatan Tapin Utara, data sebelumnya 
terdapat sekitar 3.500 jiwa, kuota yang ada hanya 567 jiwa. Secara nasional, 
kuota penduduk miskin yang tidak terlayani lagi sekitar 36 juta jiwa. Suatu 
jumlah yang tidak sedikit. Masyarakat miskin yang terdata PT Askes itu akan 
diberi Kartu Askes seperti pegawai negeri.

Logikanya, dengan pengurangan subsidi BBM akan lebih banyak lagi masyarakat 
miskin yang terlayani. Tapi realitanya dengan kuota yang sudah dijatah, jumlah 
penduduk miskin yang dilayani justru berkurang. Kemana masyarakat miskin yang 
tidak mendapat jatah/kuota Kartu Askes akan mendapatkan pelayanan kesehatan 
gratis, padahal mereka sudah optimis dengan mendengar setiap hari iklan di TV 
-walaupun cuma TV tetangga-- bahwa masyarakat akan mendapat pelayanan kesehatan 
di puskesmas dan rumah sakit.

Jika nanti mereka ditolak gratis --dalam arti disuruh bayar retribusi sesuai 
perda-- apakah mereka tidak protes. Padahal jumlah mereka banyak. Kalau mereka 
protes dengan baik-baik dan mau mendengarkan penjelasan tidak apa-apa, yang 
kita khawatirkan adalah mereka demo dan berbuat anarkis. Tentu yang menjadi 
korban pertama adalah PPK (puskesmas dan rumah sakit).

Diakui, sebelum 2005 pemegang Kartu Sehat (kartu berobat sebagai tanda keluarga 
miskin) banyak yang salah sasaran. Artinya, banyak yang seharusnya tidak berhak 
memiliki kartu tersebut, entah darimana dia dapat, mungkin karena dekat dengan 
oknum bidan, pegawai puskesmas/rumah sakit maupun oknum kepala desa. Tapi hal 
itu bisa diminimalisasi, jika sebuah tim yang terlibat dalam pendataan 
diperbanyak. Misalnya melibatkan kecamatan, bidan desa, kepala desa dan dinas 
sosial, sehingga tidak ada lagi pertimbangan keluarga, kawan dekat, dsb dan 
yang didata benar-benar masyarakat miskin.

Dengan sistem yang dulu saja --yang notabenenya lebih banyak masyarakat miskin 
terlayani-- ditemukan banyak masalah, apalagi yang lebih sedikit tercover 
seperti saat ini. Tapi mudah-mudahan hal itu tidak terjadi. Masalah sebelum 
2005 itu antara lain, di samping salah sasaran, masyarakat yang sebelumnya 
tidak termasuk masyarakat miskin tiba-tiba jadi miskin. Misalnya, karena 
bencana/musibah.

Sedangkan saat ini yang berpotensi jadi masalah dan harus diantisipasi adalah 
kuota masyarakat miskin yang lebih sedikit dibanding sebelumnya. Ada item 
pelayanan kesehatan yang tidak bisa dilayani PT Askes, padahal sebelumnya bisa 
dilayani. Misalnya pemakaian oksigen di rumah sakit, kegiatan puskesmas berupa 
posyandu ke desa dan biaya rujukan/ambulans.

Untuk kegiatan posyandu pada 1999 - 2004, dari JPS-BK atau PKPS BBM disediakan 
dana untuk transpor kader posyandu (warga desa yang membantu petugas puskesmas 
di posyandu). Sedangkan pada 2005 ini, menurut PT Askes, item itu tidak ada. 
Padahal kader posyandu termasuk orang yang paling berperan dalam kesuksesan 
posyandu yang otomatis meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, khususnya ibu 
dan anak. Berbagai kejadian luar biasa (KLB) seperti kasus polio dan busung 
lapar, adalah akibat kurang aktifnya posyandu sebagai ujung tombak pelayanan 
kesehatan di desa. Kalau dana untuk posyandu tidak bisa diklaim di PT Askes 
sebagai pelayanan bagi keluarga miskin, dikhawatirkan kondisi kesehatan 
masyarakat miskin semakin terpuruk.

Begitu juga dengan biaya rujukan/ambulan, sebelumnya ada, sekarang tidak ada. 
Bayangkan, seorang bidan yang mencoba menolong persalinan ibu miskin dan harus 
menunggu berjam-jam di tengah malam, tiba-tiba ibu miskin itu atas suatu hal 
harus dirujuk ke rumah sakit, bidan tersebut tidak dapat apa-apa, hanya ucapan 
terima kasih. Masya Allah. Sementara sang sopir ambulan yang mengantar ke rumah 
sakit hanya gigit jari. Akankah pertolongan mereka dibalas hanya dengan 
terimakasih.

Memang orang di luar kesehatan bersandar pada alasan tugas kemanusiaan, tapi 
mereka juga punya keluarga yang harus dibiayai, walaupun jasa medis bagi 
masyarakat miskin harus di bawah masyarakat kaya. Jadi, dengan adanya 
pengurangan subsidi BBM akan semakin baikkah pelayanan kesehatan bagi 
masyarakat miskin? PT Askes berdalih, mereka hanya pelaksana yang ditunjuk 
pemerintah dengan jatah dana yang sudah dipatok (dianggarkan). Menurut saya, 
memang tidak salah mereka. Pemainnya adalah pemerintah (dalam hal ini presiden) 
dan DPR.

Saya rasa, saat ini kita belum siap dengan sistem pelayanan kesehatan bagi 
masyarakat miskin seperti yang (akan) dilaksanakan PT Askes ini. Data penduduk 
miskin yang akan dilayani belum sesuai realitas sebenarnya, yang ada hanya 
kuotanya, tentu perlu waktu untuk pendataan turun ke desa. Belum lagi kartu 
Askesnya harus pakai foto. Sosialisasi dari PT Askes belum sampai ke seluruh 
masyarakat desa.

Saran saya, sebaiknya ditunda dulu pelaksanaan oleh PT Askes. Atau kalau memang 
dilaksanakan, juga bisa memakai data penduduk miskin tahun sebelumnya, toh yang 
sakit tidak semuanya. Item yang bisa diklaim juga seperti tahun-tahun 
sebelumnya, sehingga tidak menimbulkan ekses di masyarakat. Masyarakat miskin 
sudah kasihan dibebani dengan naiknya harga, jangan sampai ditambah dengan 
terbatasnya akses pelayanan kesehatan mereka. Kalau tidak, akan ada sindiran 
yang menyakitkan perasaan agar masyarakat miskin 'dilarang' sakit.

Pengalaman saya, yang jadi sasaran tanya mereka adalah pimpinan puskesmas dan 
kepala desa/lurah. Padahal seolah-olah sudah terbentuk opini dengan gencarnya 
iklan di TV dan koran, bahwa pelayanan kesehatan akan digratiskan bagi 
masyarakat miskin. Karena itu, pemerintah dan PT Askes harus giat melaksanakan 
sosialisasi program JPKMM.
Kepala Puskesmas Tapin Utara, tinggal di Rantau
e-mail: [EMAIL PROTECTED]
 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke