ASAL USUL 

Porno



Ariel Heryanto

Remaja Asia, termasuk Indonesia, telah menemukan seksualitas lebih santai dan 
pada usia lebih muda dibandingkan orangtuanya. Ini bukan perbedaan tingkat 
susila antargenerasi, tetapi perubahan sejarah teknologi.

Ketika pornografi dicetak di atas kertas, ruang gerak pembuat dan pengecernya 
serba terbatas. Juga konsumennya, apalagi yang di bawah umur. Kalaupun berhasil 
mendapatkan, mereka harus mencuri-curi tempat dan waktu untuk membaca dan 
menyimpannya. Begitu rumitnya pornografi di atas kertas. Apalagi film biru yang 
butuh proyektor dan kamar gelap.

Berkat internet dan DVD, pornografi beredar gencar dan murah. Sesudah 
dinikmati, bisa disimpan dalam disket tanpa kelihatan jorok, diedarkan, 
diperbanyak, atau dihapus tanpa bekas. Rekaman VCD dan DVD seharga karcis 
bioskop.

Bisa dimaklumi bila ada yang panik. Sambil menjerit ”itu porno!”, mereka 
bertekad memeranginya. Tetapi, industri hiburan telah menghancurkan batasan 
porno dan bukan porno. Teknologi SMS tidak membedakan apakah pesan dari SBY 
cocok untuk dewasa atau anak. Di layar komputer dan televisi bercampur-aduk 
berita tentang indeks saham, bom, film kartun Jepang, dan gosip hamilnya 
Angelina Jolie bagi penonton semua umur.

Generasi terdahulu jelas bersalah karena gagal menyediakan pendidikan seksual 
yang sehat, terbuka, dan beretika pada generasi mudanya. Lowongan itu digarap 
para pedagang industri informasi hiburan tanpa menghiraukan etika. Kegagalan 
kaum tua ini melahirkan reaksi defensif yang tidak selalu memperbaiki situasi.

Ada yang bangkit menjadi kelompok militan anti-pornografi. Ada yang berjuang 
lewat undang-undang. Reaksi represif itu bukan hanya mubazir, tetapi bisa 
berbahaya dalam masyarakat yang lembaga peradilannya sedang amburadul. 
Merumuskan ”pornografi” saja orang sudah kelabakan. Karena akar masalahnya 
tidak dipahami di luar soal moralitas baik lawan buruk.

Terlebih konyol ketika ada yang berdalih seksualitas terbuka tidak sesuai 
kebudayaan asli bangsa Timur. Gambar relief di sejumlah candi kita merayakan 
kelamin dan seks. Di sejumlah masyarakat kita, pria mandi bersama di satu 
bagian sungai; perempuannya di bagian lain. Di sebagian wilayah, perempuan 
bertelanjang dada sehari-hari. Di pusat kota para pria bekerja bertelanjang 
dada, dan buang air-kecil di bawah pohon. Goyang Inul pada awalnya populer di 
kalangan yang asing pada gagasan liberalisme.

Porno tidak dikenal dalam bahasa adat kita. Kita harus pinjam bahasa Inggris 
untuk menajiskan orang lain.

Sejak awal ”adat” kita yang beraneka menyerap ”adat” berbagai bangsa lain. 
Perdebatan RUU KUHP kesusilaan didorong meningkatnya bentrok nilai budaya yang 
sama-sama datang dari ”luar” Nusantara. Tidak ada yang berhak mengklaim lebih 
”asli”.

Apakah ”pornografi” ditentukan ada atau tidaknya unsur ”erotik” pada gambar 
atau tindakan? Bagaimana jika gambar atau tindakan itu tidak mengandung unsur 
erotik, tetapi yang melihatnya terangsang? Gambarnya harus dipidana, atau yang 
”tidak tahan” melihat perlu dibawa ke klinik ilmu jiwa?

Seorang pria Indonesia pernah menceritakan pengalamannya cuci mata di pantai 
Kuta. Banyak turis asing, perempuan berkulit putih, berjemur diri sambil 
melepas kutang. ”Aneh,” katanya, ”saya sama sekali tidak terangsang. Tetapi, 
yang lebih aneh,” tambahnya, ”setengah jam kemudian ada perempuan berkulit 
coklat yang lewat dengan pakaian minim. Tubuh saya bergetar.”

Sebagian besar kasus pornografi merendahkan perempuan, tetapi meresahkan pria. 
Perempuan diperalat sebagai objek untuk merangsang fantasi dan isi kantong 
pria, subjek yang rentan secara erotik, tetapi berjaya secara politik, ekonomi, 
hukum, dan moralitas.

Pornografi mirip terorisme. Negara berusaha menaklukkan keduanya lewat berbagai 
cara, termasuk hukum. Tetapi, keduanya susah didefinisikan. Dalam sebagian 
besar kasus, pornografi atau teroris hanya ada di benak yang merumuskan, bukan 
sesuatu yang hadir objektif di dunia. Bagi Presiden Bush, orang seperti Abu 
Bakar Ba’asyir itu teroris. Tetapi, bagi kelompok Ba’asyir, yang teroris adalah 
Bush.

Seperti terorisme, sebagian besar pornografi dikuasai, dinikmati, dan sekaligus 
dikutuk sesama pria. Kaum perempuan diperalat atau dikorbankan.

Berciuman di muka umum atau di layar televisi merupakan tindak kejahatan? 
Tetapi, adegan baku-hantam dalam film cerita atau ruang parlemen sah-sah saja? 
Apa kita dididik lebih menghargai kekerasan dan kebencian, sambil menindas 
kasih sayang? Dalam seluruh sejarah, pria lahir dan dibesarkan untuk berperang 
dan membunuh. Perempuan melahirkan kehidupan, menyusui, dan merawatnya.

http://www.kompas.com/kompas-cetak/0507/17/persona/1899020.htm

                
---------------------------------
 Start your day with Yahoo! - make it your home page 

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Lihat arsip sebelumnya, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Reply via email to