saya ambil insight dari tulisan bung Ambon yaitu :

"Sedangkan pertentangan yang disertai dengan kekerasan sejatinya 
adalah dosa"

hal ini yg perlu selalu diangkat
saling mengingatkan, agar tidak berlarut-larut:
berbuat dosa jangan ngajak yg lain atau malah meresahkan yg lain
ini pesan buat yg hobi berdosa.
time will tell us yg tidak baik akan terbalas ..........


cheers,

[EMAIL PROTECTED]
toyota, isuzu, honda, suzuki, daihatsu
buy new cars with discount





--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> MEDIA INDONESIA
> Jum'at, 12 Agustus 2005
> 
> 
> 
> Membiarkan Berbeda
> Mahmudi, peneliti Himpunan untuk Penelitian dan Pengembangan 
Masyarakat (HP2M) Jakarta
> 
> 
> POLEMIK fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) kini telah menjadi 
kontroversi berkepanjangan yang menyita ruas-ruas halaman media 
massa, baik media cetak maupun elektronik di Tanah Air. Persoalannya, 
kelompok atau komunitas keberagamaan seperti MUI di satu sisi, Jemaah 
Ahmadiyah pada sisi yang lain dan Jaringan Islam Liberal (JIL) maupun 
komunitas-komunitas keberagamaan lainnya, baik yang menentang maupun 
mendukung fatwa MUI, tetap bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. 
Ini terasa menyulitkan bagi kelompok moderat lainnya untuk mencari 
dan mempertemukan polemik pemikiran yang kini kontroversial itu.
> 
> Lebih dari itu, setiap komunitas yang berseteru kini terlihat 
merasa memiliki otoritas lebih untuk menentukan apakah sebuah 
komunitas keberagamaan lain benar atau salah, sesat atau tidak sesat, 
dan seterusnya. Dalam konteks inilah, komunitas keberagamaan yang ada 
telah terjebak dalam 'arogansi teologis' sehingga selalu merasa benar 
dan paling benar daripada komunitas lainnya. Klaim kebenaran (claim 
of truth) seperti ini, tidak sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan 
ketuhanan itu sendiri. Seperti ungkapan bijak yang pernah ditegaskan 
filosof Muslim Ibnu Arabi, siapa yang mengetahui Tuhan dan tidak 
berpaling dari pengakuan itu, maka sesungguhnya ia tidak mengetahui 
apa-apa karena yang mengetahui Tuhan hanyalah Tuhan itu sendiri.
> 
> Oleh karena itu, dalam pandangan saya, tidak ada satu komunitas 
keberagamaan pun di dunia ini yang lebih berhak melakukan klaim 
kebenaran (claim of truth). Kebenaran sejati hanyalah Tuhan itu 
sendiri, sedangkan manusia hanya mencari titik simpul kebenaran. Oleh 
karena itu, yang ditemukan manusia belum tentu sebuah kebenaran 
absolut. Dalam perspektif pemikiran ini, menyikapi perbedaan 
pandangan mengenai polemik dan kontroversial fatwa MUI, baik oleh MUI 
sendiri maupun Jemaah Ahmadiyah atau Komunitas JIL, sebaiknya kita 
membiarkan semua itu berbeda. Membiarkan berbeda adalah sikap 
kesatria umat beragama dan itulah pluralisme sejati.
> 
> Perbedaan sebagai rahmat
> Bukankah perbedaan pemahaman, penafsiran, atau interpretasi tentang 
substansi pemikiran agama dan keagamaan adalah rahmat Tuhan yang 
mesti dinilai sebagai sesuatu yang wajar dan alami (natural). Dalam 
arti kata, dengan adanya perbedaan cara pandang itu, bisa tercipta 
suatu dinamika pemikiran sehingga merangsang untuk mengkaji substansi 
doktrin teologis agama secara lebih mendalam.
> 
> Dengan demikian, agama dengan berbagai instrumen ajarannya diyakini 
mampu memberi ketenteraman bagi setiap manusia yang meyakini dan 
mengamalkan, sehingga bisa menghadirkan manusia sebagai makhluk Tuhan 
yang penuh damai dan kasih sayang di muka bumi. Sedangkan 
pertentangan yang disertai dengan kekerasan sejatinya adalah dosa.
> 
> Namun demikian, pemahaman seperti ini tampak kian suram di negeri 
ini seiring dengan lahirnya komunitas keberagamaan yang acap kali 
mengklaim dirinya paling benar, sedangkan komunitas lainnya salah, 
harus dihukum dan diadili. Dalam hemat saya, perilaku sosial umat 
beragama seperti ini disebabkan sempitnya pemahaman, bahkan 
ketidakmampuan seseorang dalam menerjemahkan doktrin teologis 
agamanya secara fundamental, substantif, dan komprehensif. 
Implikasinya, seseorang bisa terjebak dalam kesalehan simbolik, 
egois, dan individualistis. Padahal Islam sangat menuntut terciptanya 
kesalehan sosial, paling tidak keduanya bisa berjalan seimbang. 
Artinya, internalisasi doktrin teologis bisa seirama dengan perilaku 
sosialnya, Islam menuntut terciptanya kehidupan damai dan harmonis.
> 
> Ada contoh baik dari kampus IAIN yang kini menjadi Universitas 
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di Ciputat. Dahulu, 
komunitas keberagamaan antara pengikut Nahdhatul Ulama (NU) dan 
Muhammadiyah mempersoalkan menyimpang (bid'ah) tidaknya salat tarawih 
11 atau 23 rakaat. Menurut informasi yang berkembang dalam diskursus 
pemikiran Islam di Ciputat, konon yang mendamaikan adalah Abdurrahman 
Wahid (Gus Dur). Menurut Gus Dur, bertengkar dalam Islam hukumnya 
haram sedangkan salat tarawih adalah sunah. Gus Dur berpendapat, 
daripada bertengkar, sebaiknya tidak usah salat tarawih. Pemikiran 
inilah kemudian melahirkan toleransi antara kedua komunitas 
keberagamaan ini. Uniknya, kedua komunitas (NU dan Muhammadiyah) ini 
tetap menjalankan ibadah salat tarawih dalam satu masjid. Sebelas 
rakaat pertama dilakukan dengan imam paham Muhammadiyah baru 
diteruskan hingga dua puluh tiga rakaat dengan imam NU. Membiarkan 
berbeda seperti di kampus UIN ini masih terus berjalan hingga saat 
ini.
> 
> Pemahaman seperti ini mengisyaratkan, realitas kehidupan di dunia 
ini tidak ada yang benar-benar satu (unity), tetapi selalu terdapat 
dimensi perbedaan (diferent). Oleh karena itu, agar misi agama untuk 
menciptakan perdamaian tercapai, para pemeluk agama-agama, termasuk 
sekte atau aliran kepercayaan harus bersedia hidup berdampingan dalam 
komunitas yang memiliki paradigma pemikiran berbeda sebagai 
konsekuensi logis realitas sosial kehidupan yang berbeda 
(multiculturalism), manusia harus bersedia hidup bersama dalam 
keberbedaan (unity in diversity).
> 
> Memang, problem besar dunia kontemporer adalah hilangnya ruh 
semangat rekonsiliasi, membangun kebersamaan hidup dalam strata 
sosial yang multikultural dengan meminimalisasi perbedaan-perbedaan 
kultur, etnisitas, dan lain sebagainya, sehingga tercipta kesetaraan 
(equality) yang kondusif bagi berkembangnya masyarakat yang 
berperadaban (civil society). Seperti penjelasan J.P.S. Uberoi dalam 
Religion, Civil Society and The State (1999:104) The problem for the 
world to day is perhaps the reconciliation of difference with 
equality in civil society .
> 
> Sementara itu, menurut Hans Kung (1990:115), ...Whithout peace 
between religions there will be no peace between nations . Tanpa ada 
perdamaian, dan juga toleransi di antara para pemeluk agama-agama di 
dunia, maka tidaklah mungkin tercipta sebuah perdamaian di antara 
bangsa-bangsa, termasuk dalam konteks lokal di negeri ini. Penegasan 
Hans Kung ini mengandung makna bijak dan filosofis yang teramat dalam 
korelasinya dengan upaya untuk membangun peradaban masa depan bangsa 
yang lebih mengedepankan kedamaian demi tercapainya kesejahteraan 
hidup umat manusia. Dalam konteks inilah, segala bentuk kekerasan 
tidak lagi memiliki ruang dan waktu.
> 
> 'Cooperation among religions'
> 
> Penegasan Soedjatmoko, dalam sebuah seminar internasional bertajuk 
Future of Mankind and Cooperation among Religions pada era tahun 80-
an, tepatnya, 13 April 1987 di Tokyo, Jepang, sangat menarik untuk 
diapresiasi. Menurut Soedjatmoko, selama berabad-abad agama-agama 
besar telah mengajarkan pentingnya persatuan umat manusia. Akan 
tetapi dalam dunia modern kini, persepsi transendental dari 
kemanusiaan itu kian memudar. Namun demikian, melalui kerja sama 
antar-agama atau juga antar-pemeluk suatu agama, cendekiawan 
terkemuka ini yakin bahwa nilai transendental kemanusiaan itu akan 
kembali dapat dibangkitkan.
> 
> Meminjam penjelasan M. Syafi'i Anwar (UQ, 1993: 3), penegasan 
Soedjatmoko ini mengingatkan kita bahwa eksistensi agama-agama di 
dunia sesungguhnya memiliki makna yang sangat penting dalam 
menyongsong masa depan peradaban umat manusia yang penuh makna dan 
artikulatif di sepanjang sejarah kemanusiaan. Akan tetapi dapat pula 
bermakna sebuah kekhawatiran kemungkinan datangnya abad baru perilaku 
sosial umat manusia yang penuh dendam dan kebencian, perseteruan yang 
disertai kekerasan, tanpa adanya kesaksian agama-agama dengan nilai 
transendentalnya yang sangat humanis.
> 
> Sekali lagi, gagasan Soedjatmoko ini sangat menarik, bukan semata 
dalam tataran ideal-konseptual, tetapi sangat visioner seiring dengan 
realita struktur sosial masyarakat modern, dunia yang sangat plural-
sekularistik. Seperti halnya dalam bidang ekonomi yang sangat 
kapitalistik, cenderung mengabaikan sisi kemanusiaan sebagai entitas 
sosial yang amat merindukan kesejahteraan dan kedamaian. Di sinilah 
makna penting artikulasi atas pemikiran itu, yakni, bagaimana 
menghadirkan kembali nilai-nilai moral kemanusiaan universal yang 
lebih humanis-religius yang memungkinkan tercapainya kehidupan damai 
tanpa kekerasan di antara umat beragama.
> 
> Dalam perspektif inilah, mesti ada pemahaman bahwa sesungguhnya 
agama hanyalah merupakan jalan atau instrumen untuk mendekatkan diri 
kepada Tuhan melalui amal kebajikan, baik dalam dimensi vertikal 
maupun horizontal, bukan menjadi terminal akhir dari proses 
perjalanan kehidupan ini.
> 
> Perlu penulis tegaskan bahwa semakin kaku pemahaman dan penafsiran 
kita terhadap doktrin teologis agama, maka ritme peradaban manusia 
akan menjadi sangat kaku dan statis pula. Bahkan, bisa terjadi 
stagnasi peradaban apabila doktrin teologis menjadi sangat taken for 
granted, padahal Islam menuntut sebuah sikap keberagamaan yang 
demokratis. Dakwah atau jihad harus senantiasa dilakukan dengan cara 
damai, penuh hikmah dan kebijakan.
> 
> Setiap manusia mempunyai hak privacy, termasuk dalam beragama dan 
berkeyakinan. Seseorang tidak boleh mengganggu manusia lainnya (QS. 
al-Fathir:35-18). Untuk itu, perbedaan cara pandang atau interpretasi 
terhadap suatu doktrin teologis menuntut adanya dialog dalam 
menyelesaikan, bukan dengan cara anarkistis atau kekerasan dan 
intimidasi.
> 
> Ironis memang, dahulu yang acap kali mengobarkan permusuhan sengit 
dan tragis melebihi konflik dunia Barat dan Islam adalah keluarga 
agama-agama Ibrahim, yaitu antara Yahudi, Kristen dan Islam, tetapi 
mengapa kini justru terjadi di antara umat Islam itu sendiri, 
terutama menyangkut perbedaan cara pandang, tafsir atau interpretasi. 
Tampaknya memang kita harus belajar hidup bersama dalam keberbedaan 
sehingga mampu bersikap toleran dan membiarkan semua itu berbeda. 
Wallahu a'lam!
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
<font face=arial size=-1><a 
href="http://us.ard.yahoo.com/SIG=12hfdakjs/M=362343.6886681.7839642.3022212/D=groups/S=1705329729:TM/Y=YAHOO/EXP=1123847956/A=2894352/R=0/SIG=11fdoufgv/*http://www.globalgiving.com/cb/cidi/tsun.html";>Help
 tsunami villages rebuild at GlobalGiving. The real work starts now</a>.</font>
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to