Supaya tidak heran, jangan dibolak-balik ...:-))

Saya mencoba membantu supaya sampean gak heran dan ini juga 
merupakan ideku saja. Bahwasanya kita harus memfokuskan pikiran kita 
kpd kehidupan bernegara. Jadi, seyogyanya negara tsb merumuskan 
sendiri apa definisi agama menurut negara ini. Baru memberikan 
batasan hukumnya.

Mengenai capil, saya pikir sih memang sebaiknya pemerintah/negara 
Indonesia menyediakan juga fasilitas capil untuk yang non-agama. 

wassalam,

--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Rama B. Swandana" <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
> 
> Bolak-balik saya itu heran. Kok bisa Kong Hu chu kok jadi agama? 
Orang> China sendiri saya tanya ngga ada agama Kong Hu Chu. Yg 
mereka itu itu> ada ajaran filsafat. Lha kok tiba di Indonesia jadi 
agama, itu gimana> ceritanya?
> 
> RAMA
> 
> 
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "Ambon" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> >
> http://www.harianbatampos.com/mod.php?
mod=publisher&op=viewarticle&artid=13864
> > 
> > 
> >       Quo Vadis Pengakuan Lima Agama 
> >       Oleh redaksi 
> >             Senin, 05-September-2005, 09:22:56    
> >      
> >      
> >             Oleh: Anly Cenggana SH 
> >      
> >      
> >       Amanat reformasi bertekad memperbaiki segala sendi 
kehidupan
> bangsa, salah satu diantaranya pencatatan sipil (capil) yang 
dikelola
> lembaga bernama GANDI Jalan Kosambi 16 Jatipulo, Tomang Jakarta
> bernama konsorsium catatan sipil, bertujuan untuk melahirkan
> Undang-Undang Catatan Sipil yang bebas dari unsur-unsur 
diskriminasi
> yang berlaku dewasa ini, merupakan warisan kolonial. Dalam usia ke 
60
> tahun kita merdeka masih belum berhasil memperbaikinya, sehingga 
peran
> serta segala elemen masyarakat sangat diperlukan. 
> > 
> >       Tulisan ini berdasar dari hasil roundtable discussion "Akta
> Catatan Sipil dan Perlindungan HAM" yang diselenggarakan Komnas 
HAM di
> Novotel Batam 8 Agustus 2005 lalu. Sebagai nara sumber, Salim, 
Kabid
> Capil Kota Batam dan Lies Soegondo SH, Ketua Sub Komisi Sipil 
Politik
> Komnas HAM juga sebagai Ketua Konsorsium Capil yang sudah bekerja
> selama empat tahun, hingga belum jelas kapan akan terwujud UU 
Catatan
> Sipil yang univikasi dan bebas dari diskriminasi. 
> > 
> >       Dalam acara diskusi berlangsung sangat seruh, terungkap
> sejumlah persoalan antara lain: penolakan pencatatan perkawinan 
karena
> agamanya tidak diakui pemerintah, status anak dari perkawinan
> tersebut, perkawinan WNI dengan WNA, perkawinan beda agama, SBKRI,
> perdagangan perempuan dan anak, kekerasan dalam rumah tangga,
> penyelundupan hukum dsb. 
> > 
> >       Kabid Capil Kota Batam antara lain menyampaikan, terdapat
> sejumlah pencatatan perkawinan yang tidak bisa dicatatkan di Batam
> karena agamanya (Kong Hu Chu) tidak diakui negara. Statemen ini 
dalam
> diskusi dikejar oleh peserta yang kebetulan sebentar lagi akan 
kawin,
> menghendaiki agar menjelaskan peraturan secara jelas mana yang
> menghalangi. Namun, sayang sekali hal ini tidak diperoleh yang ada
> hanya menjelaskan secara diplomasi seputar Tap MPR, Intruksi 
Menteri
> Agama, Mendagri dll. Intinya, capil melaksanakan tugas berlasarkan
> peraturan yang berlaku. Lantas ditanyai lagi peraturan yang mana?
> Jawaban tetap mutar tanpa ketegasan. 
> > 
> >       Salah Tafsir 
> >       Senjata pamungkas yang dipakai pemerintah dalam menerapkan
> pencatatan perkawinan di luar lima agama yang konon dikatakan agama
> yang diakui pemerintah hanya lima berdasarkan surat Mendagri No
> 477/74054 (18-11-1978), sedangkan surat Mendagri tersebut 
berdasarkan
> Instruksi Menteri No :4/1978 yang intinya bahwa menurut Tap MPR No
> IV/1978 tentang GBHN menyatakan, kepercayaan terhadap Tuhan Yang 
Maha
> Esa tidak merupakan agama (acuan utama adalah Tap MPR tersebut). 
> > 
> >       Padahal, makna dari GBHN cukup jelas bahwa kepercayaan
> terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidak merupakan agama, dilakukan
> pembinaan agar tidak mengarah pada pembentukan agama baru. Namun,
> sangat sayang sekali telah ditafsirkan yang salah bahwa seolah-olah
> Kong Hu Chu adalah aliran kepercayaan bukan agama. Malahan, 
sejumlah
> pejabat secara tegas menyatakan, menurut GBHN hanya mengakui lima 
agama. 
> > 
> >       Kontek ini menarik untuk dikaji, karena NKRI merupakan 
negara
> hukum. Sehingga, segala peraturan perundangan seyogyanya dalam 
kolidor
> hukum dalam UU yang mendasarinya, bila tidak ada maka sebagai hukum
> semu dan adanya arogansi kekuasaan yang bukan eranya lagi. 
Peraturan
> perundangan seyogyanya terbuka untuk umum, bahkan setiap kebijakan
> harus melalui sosialisasi secara menyeluruh bukan disimpan dalam 
laci
> meja dan patut dicari tahu sesungguhnya, ada apa? 
> > 
> >       Maksud dari pengkajian ini tidak lain hanya untuk 
meluruskan
> pernyataan yang "salah" tentang pengakuan negara terhadap lima 
agama
> selama ini, sehingga diharapkan pemahaman yang benar di kemudian 
hari
> dan bagi pemimpin negara masa depan adanya, menuju era-baru 
realistis
> bukan slogan kiasan belaka. 
> > 
> >       Angin Reformasi 
> >       Bahwa angin segar dibaratkan embun menghembus Indonesia
> era-baru pemerintahan 'reformasi' diawali adanya Kepres No 6 tahun
> 2000 yang mencabut Inpres No 14 tahun 1967, mengenai pembatasan
> perayaan kegiatan agama dan adat istiadat China di depan umum,
> melainkan di dalam lingkungan keluarga. Kebijakan ini telah 
memasung
> aktivitas masyarakat Tionghoa secara umum, hambatan kegiatan 
keagamaan
> Kong Hu Chu secara khususnya telah dijegal rezim orde baru. 
> > 
> >       Wujud nyata kelanjutan reformasi ini, dikabulkannya 
pencatatan
> perkawinan secara agama Kong Hu Chu oleh Mahkamah Agung RI melalui
> putusan No 178/K/TUN/1997 (30 Maret 2000), kemudian disusul surat
> Mendagri No 477/005/sj (31 Maret 2000) yang mencabut Surat Edaran
> Mendagri No 477/74054 yang 'inkonstitusional' karena mengandung
> kebijakan salah atas pengakuan lima agama, dus mulai saat ini tidak
> ada diskriminasi agama tertentu secara birokrasi. Apalagi, sudah
> diundangkan Undang-Undang Hak Asasi Manusia UU No 39 tahun 1999. 
> > 
> >       Kasus Hukum 
> >       Persoalan hukum ini tidak semuda membalikkan telapak 
tangan,
> karena kenyataannya di Batam banyak pasangan pengantin beragama 
Kong
> Hu Chu masih dijegal Kantor Capil dengan alasan klasik (tidak 
diakui),
> kelihatannya kasus hukum ini akan mendapat perhatian kalangan luas
> karena obyek sengketa yuridisnya. Padahal, kasus serupa sudah ada
> yurisprudensi dalam putusan Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung,
> merupakan penetapan tertulis bersifat mengikat terhadap 
penyelenggara
> negara, karena mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi
> dan berdasarkan asas 'elgaomnes' bahwa putusan TUN berlaku untuk 
umum,
> karena obyek sengketa adalah peraturan perundangan yang dialami 
oleh
> masyarakat umum, sehingga menjadi "norma hukum" yang harus ditaati
> pemerintah dan dipatuhi masyarakat. Apalagi, dalam amandemen kedua
> UUD'45 pasal 28 E, secara jelas menyatakan bahwa setiap orang bebas
> memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. 
> > 
> >       Sepertinya kebuntuhan proses hukum ini, besar kaitannya 
dengan
> pengakuan lima agama (seakan-akan sudah menjadi doktrin) selama 
tiga
> dekade masih dibayangi aparatur negara, sehingga sulit untuk
> melupakannya seperti penyebutan air mineral dari rakyat jelata 
hingga
> pejabat tinggi negara, dari yang tidak terpelajar hingga profesor
> masih selalu menyebutnya air mineral dengan "aqua", padahal belum
> tentu. Doktrin adalah ajaran terutama yang diajarkan sebagai
> kepercayaan atau asas dalam keagamaan, ketatanegaraan atau beberapa
> ilmu pengetahuan. Doktrin yang baik seyogyanya ditumbuh-kembangkan,
> namun sebaliknya doktrin yang menyesatkan seharusnya dikikis 
hingga ke
> akar-akarnya, sehingga melahirkan wacana baru menuju era-baru 
Indonesia. 
> >       Suatu realita bahwa pengaturan sesuatu hal kalau hanya
> pokoknya saja, maka ngambang akan lebih mudah untuk menyimpanginya.
> Tetapi, dampaknya jauh lebih besar terhadap institusi dengan 
berbagai
> macam selentingan hingga demonstrasi. Apakah kita punya niat untuk
> memperbaiki dari langkah ke langkah? 
> > 
> >       Akibat Hukum 
> >       Akibat hukum dari penolakan pencatatan suatu perkawinan 
sangat
> besar dampak sosialnya, selain sisi sosial dikucilkan masyarakat,
> karena hidup berdampingan tanpa didasari ikatan perkawinan yang sah
> dan anak-anak yang dilahirkan kelak kemudian hari, akan mengalami
> fisikis mendalam dengan segala cemooh anak luar nikah, anak haram 
dan
> sejenisnya. Yang menjadi korban si wanita dan anak-anak tidak 
mendapat
> perlindungan hukum termasuk tidak mendapatkan wajib nafkaH dari si
> ayah. Demikian juga tidak diperolehnya hak-hak keperdataan terhadap
> suami atau orang tua dari si anak tersebut. 
> > 
> >       Untuk pembahasan ini, merupakan tinjauan yuridis
> konstitusional atas pengakuan lima agama oleh negara yang selama 
ini
> didengung-dengungkan orde baru, hingga kini (era reformasi) bahwa
> berawal dari Surat Edaran Mendagri No 477/74054 (18-11-1978) bahwa
> tentang petunjuk pengisian kolom agama pada KTP, antara lain bahwa
> agama yang diakui pemerintah ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu 
dan
> Budha. 
> > 
> >       Sebenarnya, Surat Edaran Mendagri seharusnya hanya berisi
> petunjuk tehnis meliputi cara pengisian, bentuk penulisan huruf, 
kode
> blangko, penjelasan kolom-kolom, jumlah rangkapan dan petunjuk
> tindasan untuk instansi tertentu, maka tidak boleh mengandung
> kebijakan baru yang bukan wewenang Mendagri melainkan soal agama
> urusan Departemen Agama. Apalagi, kebijakan Mendagri bertentangan
> dengan peraturan yang mendasarinya pasal 29 ayat 2 UUD'45. 
> > 
> >       Satu-satunya perundangan yang menyangkut agama sejak 
Indonesia
> merdeka hingga detik ini, hanya ada satu ketentuan yaitu UU No
> 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama.
> Undang-undang inilah jawaban untuk menegakkan supremasi hukum, 
karena
> asas hukum NKRI ialah negara berdasarkan atas hukum, maksudnya 
segala
> bentuk penyelenggaraan negara harus berdasarkan hukum. 
Konsekuensinya,
> apabila ada kebijakan yang bertentangan dengan asas hukum tersebut
> batal demi hukum tanpa harus ada pernyataan dari lembaga yudisial. 
> > 
> >       Sehingga, aparat penegak hukum dalam menghadapi hal semacam
> ini secara ex oficio (karena jabatan) "harus" dianggap tidak pernah
> ada dan mengabaikannya. Namun, kenyataannya pemerintah Orba malahan
> menerapkan bertolak belakang, bahwa yang legal diabaikan dan yang
> inkonstitusional menjadi dasar pembenarannya. Bukti konkret
> penyelewengan sistem hukum masa kejayaan orba salah satunya Surat
> Edaran Mendagri tersebut. 
> > 
> >       Timbul pertanyaan, apa bukti Surat Edaran Mendagri tersebut
> cacat hukum seolah-olah dijadikan doktrin pengakuan lima agama
> dinyatakan tanpa dasar legalitas, sehingga bertentangan? 
> > 
> >       Pertama, melanggar asas hukum bangsa Indonesia bahwa negara
> menjamin kepastian hukum, namun kenyataannya menciptakan ketidak
> pastian hukum. Kedua, melanggar UUD 1945 pasal 29 ayat 2 jo. 
Amandemen
> kedua UUD'45 pasal 28E tentang kebebasan beragama, kenyataan ada 
yang
> tidak bebas beragama (Kong Hu Chu). 
> > 
> >       Ketiga, melanggar UU No 1/PNPS/1965 sebagai Undang-undang
> organik pelaksanaan pasal 29 (2) UUD 1945 ,bahwa secara
> konstiitusional negara tidak pernah mengakui agama tertentu, namun
> prakteknya ada lima agama yang konon katanya diakui pemerintah. 
Bahwa
> dari segi sejarah perundang-undangan, dalam penjelasan pasal 1
> Undang-undang ini, disebutkan bahwa Kong Hu Chu merupakan salah 
satu
> agama yang dipeluk penduduk di Indonesia, di samping kelima agama
> lainnya. 
> > 
> >       Keempat, Tap MPR/II/1978 tentang P4 dalam penjelasan atas 
Bab
> II antara lain, kebebasan beragama merupakan salah satu hak paling
> asasi di antara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama 
itu
> langsung bersumber kepada martabat manusia, sebagai makhluk ciptaan
> Tuhan bukan pemberian negara atau golongan. 
> >       Kelima, Tap MPRS XX/MPRS/1966 jo TAP MPR No III/MPR/2000
> tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan, yang
> intinya bahwa peraturan yang tingkatannya lebih rendah bertentangan
> dengan peraturan diatasnya batal demi hukum. Keenam, sifat muatasn
> Surat Edaran Mendagri seharusnya menjabarkan peraturan induk dan 
tidak
> boleh memboncengi kebijakan baru, apalagi bertentangan dengannya
> secara yuridis batal demi hukum. 
> > 
> >       Ketujuh, melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik 
yaitu
> asas kepastian hukum dan asas larangan bertindak diskriminatif.
> Kedelapan, sebagai suatu kebijakan di mana pemerintah mendidik dan
> mendorong orang untuk menjadi munafik, sebab bagi orang yang 
beragama
> lain dari lima agama yang diakui dan dibina pemerintah, akan
> melangsungkan pernikahannya menurut salah satu dari lima agama
> tersebut, meskipun mereka bukan pemeluk dan tidak ada niat menjadi
> pemeluk agama yang diakui (inkonstitusional) dan dibina pemerintah
> tersebut, semata-mata agar pernikahannya bisa dicatat dicatatan 
sipil. 
> > 
> >       Kesembilan, melanggar pasal 27 (1) UUD '45 jaminan 
persamaan
> kedudukan semua warga negara dalam hukum, karena kenyataannya 
bertolak
> belakang ada orang yang status hukum diakui dan ada yang tidak 
diakui. 
> > 
> >       Kesepuluh, melanggar Hak Asasi Manusia (Tap MPR No 
II/MPR/1978
> jo UU No 39 tentang Hak Asasi Manusia. Dari fakta yuridis di atas,
> karena politisi berhak atas kekuasaan yang melampaui batas 
kewenangan
> hingga menimbulkan kerancuan. Kerancuan di atas telah berakhir 
dengan
> diterbitkannya surat Mendagri No 477/805/sj tanggal 31 Maret 2000 
yang
> mencabut SE Mendagri No 477/74054 tanggal 18 November 1978, maka
> berakhirnya kerancuan pengakuan lima agama di Tanah Air, dan yang 
ada
> kebebasan beragama sesuai dengan alam demokrasi Indonesia dan 
amanat
> konstitusi. 
> > 
> >       Ironisnya, sampai saat ini urusan pencatatan perkawinan
> kelihatannya masih harus melalui proses verbal melalui meja hijau,
> untuk pengujian aspek yuridis di pengadilan untuk kejelasan hak-hak
> sipilnya. Kegelapan hukum saat ini masih menunggu juklak Mendagri,
> yang kesemuanya itu hanyalah komuplase semata-mata untuk mengudur-
udur
> waktu belaka dan tidak konsekuen dan tidak konsisten atas putusan
> peradilan, meskipun Mahkamah Agung dalam putusan perkawinan secara
> agama Kong Hu Chu dalam pertimbangan hukum Budi Wijaya dan Lanny 
Guito
> No 178/K/TUN/1997 dengan jelas dan tegas menyatakan, apabila 
Mahkamah
> Agung menolak kasasi maka akan berdampak: 
> >       (1) Lenyapnya jaminan kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
> memeluk agamanya masing-masing. (2) Diciptakannya secara sadar dan
> dengan sengaja suatu kebijakan yang diskriminatif, yaitu
> membeda-bedakan perlakuaan antara orang-orang yang memeluk agama 
yang
> diakui dan dibina pemerintah di satu pihak, dengan orang-orang yang
> memeluk agama yang tidak diakui dan bina pemerintah di lain pihak. 
> > 
> >       (3 Pemerintah mendidik dan mendorong orang untuk menjadi
> munafik, sebab bagi orang yang beragama di luar lima agama akan
> melangsungkan perkawinan menurut salah satunya, meskipun mereka 
bukan
> pemeluk dan tidak ada niat menjadi pemeluk agama tersebut. (4) 
Warga
> negara Indonesia kedudukan hukumnya berbeda-beda derajatnya, karena
> tidak ada jaminan persamaan sebagaimana yang dijaminkan UUD '45 
pasal
> 27 ayat (1), jaminan persamaan kedudukan semua warga negara dalam
> hukum sederajat. 
> > 
> >       Dari fakta yuridis jelas bahwa secara konstitusional tidak 
ada
> agama apapun yang diakui negara, melainkan semua agama mendapat
> pengayoman dan sederajat di mata hukum. Namun, tidak dipungkiri 
bahwa
> dalam praktek kenegaraan soal agama ada model di mana ada agama 
negara
> atau agama yang diakui negara diberi legitimitasi, sementara itu 
tetap
> mengakui pluralitas agama. Tegasnya, ada agama negara dan ada agama
> yang tidak diakui negara atau tidak diberi legimitasi oleh negara 
(ini
> juga terjadi di Malaysia, di mana agama negara adalah agama Islam,
> seperti orang Tamil agamanya Hindu, atau orang-orang China agamanya
> Buddha atau Kong Hu Chu). 
> > 
> >       Menurut Abdurrahman Wahid, pola inilah sebetulnya yang
> historis. Maka kalau pemerintah kita saat ini tidak mengakui Kong 
Hu
> Chu sebagai agama, itu jelas anti historis. Kita melihat apa adanya
> dari perkembangan sejarah selama ini, yaitu bahwa agama-agama yang
> tidak memperoleh santunan dari pemerintah (agama yang tidak secara
> formal diakui), hak hidupnya tetap dihargai dan tidak dilarang. Ini
> berlangsung terus tidak hanya pada agama, tetapi juga pada 
keyakinan
> non agama. 
> > 
> >       Landasan Hukum Keagamaan 
> >       Obyek persoalan dalam kasus ini pada agama, sehingga kita
> perlu tahu landasan filosofi kehidupan keagamaan secara yuridis
> konstitusional di negara kita. Diawali dengan (1) pembukaan UUD'45
> ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, sehingga rakyat (2) Bebas menganut 
agama
> dan keyakinannya masing-masing (ps 29 UUD'45), (3) Dilarangnya
> penodaan penyalahgunaan dan atau penodaan agama dalam UU No
> 1/PNPS/1965 menegaskan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk 
di
> Indonesia Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu, 
(4)
> Peningkatan status PNPS No 1/1965 menjadi Undang-undang yang
> pelaksanaannya dalam PP No 28/1969 (5) Tap MPR II/1978 menegaskanm,
> negara tidak memaksa agama atau suatu kepercayaan terhadap Tuhan 
Yang
> Maha Esa (TYME), sebab agama dan kepercayaan terhadap TYME itu
> berdasarkan keyakinan, hingga tidak dapat dipaksanakan dan memang
> agama dan kepercayaan terhadap TYME itu sendiri tidak memaksa 
setiap
> orang untuk memeluk dan menganutnya. 
> > 
> >       Solusi 
> >       Sudah waktunya pemerintah sambil menyusun Undang-Undang 
Capil
> bebas dari unsur-unsur diskriminasi yang dikomandoi Konsosrsium 
Capil
> tersebut, segera mengeluarkan kebijakan mengatasi keadaan keresahan
> masyarakat dengan menitik-beratkan pada hak-hak sipil keperdataan
> untuk menunjang administrasi kependudukan. Kebijakan yang dimaksud
> baik dalam bentuk peraturan pemerintah, Keputusan Presiden maupun
> Instruksi Presiden sejenisnya, dengan tujuan tunggal untuk mengisi
> kekosongan hukum sesaat sambil lahir kebijakan permanen, selama 
segala
> bentuk kebijakan tidak bertentangan dengan konstitusi. 
> > 
> >       Dengan mengedepankan pencatatan sipil, memberikan 
kesetaraan
> dalam pelayanan publik tanpa membedakan satu sama lain sebagaimana
> amanat dari Inpres No 26 tahun 1998, yang memberi kesetaraan sesama
> masyarakat terutama dalam pelayanan publik dan perujudan nyata 
pegawai
> negeri abdi nusa dan bangsa. Merdeka! Merdeka! Merdeka! Dirgahayu
> Tanah Air-ku 60 tahun.*** 
> > 
> >       *) Anly Cenggana SH. Profesional di Kota Batam. 
> >         
> > 
> > 
> > [Non-text portions of this message have been removed]




------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
1.2 million kids a year are victims of human trafficking. Stop slavery.
http://us.click.yahoo.com/X3SVTD/izNLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke