Terlampir bacaan (edisi lama) yang sangat dan akan terus relevan 
dalam hidup dan kehidupan kita sebagai manusia, anggota masyarakat 
dan warga dunia.

Salam,
Halim


Gus Jakfar  
Post:  09/11/2002 Disimak: 277 kali 
Cerpen: A Mustofa Bisri  
Sumber: Kompas,  Edisi 06/23/2002  
________________________________________

Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri," cerita Kang 
Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan 
putera bungsu Kiai Saleh itu, "Saya sendiri tidak paham apa 
maksudnya." "Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa," kata Mas Bambang, 
pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian Subuh Kiai 
Saleh, "Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, 
kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, 
Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan 
tua itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu 
itu Gus Jakfar bilang, 'Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada 
yang ngelamar ya?!'. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang 
melamarnya." "Kang Kandar kan juga begitu," timpal Mas Guru 
Slamet, "kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada 
tukang kebun SD IV itu, 'Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah 
bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?!' Lho, ternyata besoknya 
Kang Kandar meninggal." "Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya 
berkelakar," sahut Ustadz Kamil, "nggak tahunya beliau sedang membaca 
tanda pada diri Kang Kandar." "Saya malah mengalami sendiri," kata 
Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut 
bicara, "waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang 
kepada saya, 'Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar 
ya?!' Padahal saat itu saku saya justru sedang kempes. Dan percaya 
atau tidak, esok harinya, saya memenangkan tender yang 
diselenggarakan pemda tingkat propinsi." "Apa yang begitu itu yang 
disebut ilmu kasyaf?" tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik 
mendengarkan. "Mungkin saja," jawab Ustadz Kamil, "makanya saya 
justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, 
lalu pikiran saya terganggu." ***
MAKA ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; 
terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji 
tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin, yang selama ini 
merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-
minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi 
manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca 
tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau 
ramalan. Ringkas kata dia benar-benar kehilangan 
keistimewaannya. "Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau 
menghilang itu," komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan, "wah, 
sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?" "Kemana beliau 
pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu," kata Lik Salamun, "kalau 
saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang 
terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah." "Tapi 
bagaimana pun, ini ada hikmahnya," ujar Ustadz Kamil, "paling tidak 
kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan 
dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari 
ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus 
kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita 
langsung saja menemui beliau." Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, 
pada malam Jumat sehabis wiridan salat Isya, dimana Gus Jakfar prei, 
tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. 
Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus 
Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada 
lagi sekat berupa keseganan, was-was, dan rasa takut. Setelah ngobrol 
kesana-kemari akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan 
maksud utama kedatangan rombongan, "Gus, di samping silaturahmi 
seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan 
khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar 
belakang perubahan sikap sampeyan." "Perubahan apa?" tanya Gus Jakfar 
sambil tersenyum penuh arti, "Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada 
saja. Saya kok merasa tidak berubah." "Dulu sampeyan kan biasa dan 
suka membaca tanda-tanda orang," tukas Mas Guru Slamet, "kok sekarang 
tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta pun 
tak mau." "O, itu," kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. 
Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru 
setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan: "Ceritanya 
panjang." Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam 
saja. "Kalian ingat, ketika saya lama menghilang?" akhirnya Gus 
Jakfar bertanya, membuat kami yakin dia benar-benar siap untuk 
bercerita, maka serempak kami mengangguk. "Suatu malam saya bermimpi 
ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal 
di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 
200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi 
itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya 
sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau 
pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing." "Terus 
terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya 
untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkal itu. 
Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke 
tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan 
menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana, hampir semua 
orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. 
Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang 
memberi petunjuk. 'Cobalah nakmas ikuti jalan setapak disana itu,' 
katanya, 'Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil, 
terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan 
melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan besar orang 
yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak 
di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas 
gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang 
nakmas sebut Kiai siapa tadi?' 'Kiai Tawakkal.' 'Ya, kiai Tawakal. 
Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.' Saya pun mengikuti petunjuk 
orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah 
gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-
tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang 
dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima 
dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari 
mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama 
sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan 
wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. 
Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari 
mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah." Tiba-tiba Gus Jakfar 
berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, "Hanya 
ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat 
di kening beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-
olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar 
berbunyi 'Ahli neraka'. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya 
melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa 
yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, 
berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai 
ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya 
bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di 
kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas 
ketika beliau habis berwudhu. Gila." "Akhirnya niat saya untuk 
menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya 
sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk 
menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. 
Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat 
sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari 
tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami 
salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, 
witir, dan sebagainya, mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab 
besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semisalnya. Kalau 
pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan 
ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya 
beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri 
yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai 
Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata kata mereka." "Baru setelah 
beberapa minggu tinggal di 'pesantren bambu', saya mendapat 
kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal 
keluar. Saya pikir inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas 
tanda tanya yang selama ini mengganggu saya." "Begitulah, pada suatu 
malam purnama, saya melihat kiai keluar dengan berpakaian rapi. 
Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk 
mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati, saya pun 
membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak 
terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, kiai terus 
berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan kemana beliau 
gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin 
sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba 
kiai menoleh ke belakang." "Setelah melewati kuburan dan kebun 
sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, 
ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah 
warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. 
Dengan bengong, saya mendekati warung terpencil dengan penerangn 
petromak itu. Dua orang wanita-yang satu masih muda dan yang satunya 
lagi agak lebih tua-dengan dandanan yang menor, sibuk melayani 
pelanggan sambil menebar tawa genit kesana-kemari. Tidak mungkin kiai 
mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas, 
apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. 'Mas 
Jakfar!' tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di 
telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir-
hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang 
betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam 
warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa 
masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung 
penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan 
senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk 
bergeser, 'Kasi kawan saya ini tempat sedikit!'. Lalu, kepada orang-
orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: 'Ini 
kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari 
pengalaman katanya.' Mereka yang duduknya dekat, serta merta 
mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang 
jauh, melambaikan tangan." "Saya masih belum sepenuhnya menguasai 
diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kiai 
menawari, 'Minum kopi ya?' Saya mengangguk asal mengangguk. 'Kopi 
satu lagi, yu!' kata kiai kemudian kepada wanita warung sambil 
mendorong piring jajan ke dekat saya. 'Silakan! Ini namanya rondo 
royal, tape goreng kebanggaan warung ini!' Lagi-lagi saya hanya 
menganggukkan kepala asal mengangguk." "Kiai Tawakkal kemudian asyik 
kembali dengan 'kawan-kawan'nya dan membiarkan saya bengong sendiri. 
Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang 
terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain, bisa berada di 
sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita 
warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan 
dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba 
saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini 
mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam 
ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap 
pandangan saya terhadap beliau berubah. 'Mas, sudah larut malam," 
tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya, 'kita pulang, 
yuk!' Dan tanpa menunggu jawaban saya, kiai membayari minuman dan 
makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. 
Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata 
setelah melewati kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-
jalan yang tadi kami lalui, 'Biar cepat, kita mengambil jalan pintas 
saja!' katanya." "Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan 
akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan 
kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas 
permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di 
seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. 
Beliau melambai, 'Ayo!' teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya 
pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. 
Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah 
pohon randu alas, menunggu. 'Kita istirahat sebentar,' katanya tanpa 
menengok saya yang sibuk berpakaian, 'kita masih punya waktu, insya 
Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.' Setelah saya ikut 
duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkata 
mengejutkan, 'Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? 
Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di 
kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang 
mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap kemahiranmu 
sendiri?' Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar 
rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya 
tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus 
berbicara. 'Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena 
kau melihat tanda 'Ahli neraka' di kening saya. Kau pun tidak perlu 
bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas 
masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu 
merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan 
tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka 
terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau 
ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka, 
sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau 
berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau 
berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang 
sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita 
ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, 
tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? 
Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?' Aku 
hanya bisa menunduk. 
Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung 
saya, 'Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa 
anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding 
cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, 
kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan 
bersikap takabbur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung 
membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai 
kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu 
datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui 
oleh banyak pihak.' Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan 
pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya 
ketahui. 'Ayo, kita pulang!' tiba-tiba kiai bangkit, 'Sebentar lagi 
subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.' Saya tidak 
merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai 
luar biasa ini." "Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai 
Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. 
Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau 
bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan 
bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, 
jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak 
seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. 
Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, 'Apakah sampeyan 
Jakfar?' tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan 
sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya 
sendiri. 'Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.' 'Beliau 
dimana?' tanya saya buru-buru. 'Mana saya tahu?' jawabnya, 'Mbah Jogo 
datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana 
beliau datang dan kemana beliau pergi.' Begitulah ceritanya. Dan Kiai 
Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil merubah sikap saya itu 
tetap merupakan misteri." Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi 
kami yang dari tadi mendengarkan, masih diam tercenung, sampai Gus 
Jakfar kembali menawarkan suguhannya. ***Rembang, Mei 2002 







------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Give at-risk students the materials they need to succeed at DonorsChoose.org!
http://us.click.yahoo.com/Ryu7JD/LpQLAA/E2hLAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://www.ppi-india.org
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke