Artikel dibawah ini sangat luas konteksnya. Jadi, buat mbah apa
permasalahannya?. Supaya gak ngalur ngidul. Supaya persepsinya sama.
Saya belum menangkap apa pertanyaannya? Apa sebatas yang terkandung
di judulnya?
wassalam,
--- In ppiindia@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO"
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
>
> Gimana nihhh? mBak Aris dan mBak Lina?
>
>
>
> --- In ppiindia@yahoogroups.com, "RM Danardono HADINOTO"
> <rm_danardono@> wrote:
> >
> > Edisi VII / GATRA-edisi 24/XII 29 April 2006
> >
> > "Ada Unsur Melecehkan Al- Quran dan Hadits"
> >
> > Denny Indrayana, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fak. Hukum
> > Universitas Gadjah Mada
> >
> > Fenomena maraknya perda bernuansa Syariat Islam (SI) berkaitan
> > dengan:
> > pertama, terbukanya peluang lewat otonomi daerah
(desentralisasi).
> > Kedua, aspirasi permanen 'sebagian' kelompok Islam untuk
memasukkan
> > hukum Islam ke dalam hukum nasional. Karena upaya memasukkan
tujuh
> > kata Piagam Jakarta dalam amandemen UUD tidak kunjung berhasil,
> > sekarang kecenderungan itu bergeser ke tingkat daerah melalui
> > Peraturan Daerah (Perda).
> >
> > Dalam istilah Mao Tse-tung, strategi ini disebut 'desa mengepung
> > kota'. Jadi kalau perda-perda sudah ada di berbagai daerah, pada
> > akhirnya SI menjadi bagian yang tidak bisa dihilangkan lagi dari
> > tengah-tengah masyarakat.
> >
> > Demikian Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum
Universitas
> > Gadjah Mada, Yogyakarta Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D kepada
> > Subhi Azhari dan Widhi Cahya dari the WAHID Institute.
> >
> > Siapa 'sebagian' umat Islam Indonesia yang setuju penerapan SI?
> >
> > Pastinya, agak sulit. Tapi dari proses amandemen UUD 45,
jumlahnya
> > lebih kecil dari 50%. Indikatornya, pertama, dua ormas Islam
> > terbesar NU dan Muhammadiyah tidak lagi getol mendorong, bahkan
> > menolak Piagam Jakarta masuk dalam UUD. Representasi pendukung
> SI,
> > biasanya kelompok-kelompok yang relatif bersemangat -untuk tidak
> > mengatakan radikal, seperti FPI atau DDII.
> >
> > Kedua, partai yang mendukung adalah PPP, PBB dan PDU. Tiga
partai
> > itu kalau dijumlahkan, itu minoritas. Sudah minoritas dari
konteks
> > keormasan, dari organisasi politik lebih minoritas lagi. Apalagi
> > tiga partai itu 'elitis' aspirasinya. Saya tidak yakin tiga
partai
> > ini dipilih semata-mata karena SI. Karena kalau ditawarkan SI
yang
> > mana, saya yakin tiga partai ini akan berdebat.
> >
> > Saya melihat ada manipulasi-manipulasi untuk kepentingan
politik.
> > Pada 2004, PBB melontarkan gagasan SI, tapi tidak ada konsistensi
> > memperjuangkannya. Ada dua indikator. Pertama, karena disertasi
> saya
> > tentang perubahan UUD, jadi saya baca risalah rapat PBB dalam
> sidang
> > DPR antara 1999-2002. Ada kata-kata, "Sudahlah, kita sama-sama
tahu
> > kalau ini tidak akan kita teruskan perdebatan itu". Yang lain
> > mengatakan, "Tapi jangan sekarang, malu di depan konstituen.
Nanti
> > saja di detik-detik terakhir". Ini tanda mereka tidak serius,
hanya
> > sandiwara saja di depan konstituen.
> >
> > Kedua, saat pemilu. Dalam rentang waktu 1-2 bulan usai Pemilu
> > Legislatif, saat Pemilu Presiden, PBB berkoalisi dengan PD,
Golkar
> > dan lain-lain yang tidak memperjuangkan SI. Mungkin itu masalah
> > pilihan politik. Tetapi dari sisi kesetiaan memperjuangkan SI,
usai
> > mendapatkan dukungan konstituen mereka tinggalkan tanpa berfikir
> > panjang.
> >
> > Dan jangan pernah bermimpi berhasil memperjuangkan SI melalui
> koalisi
> > dengan partai-partai nasionalis.
> >
> > Tentu ada yang menjawab secara tulus ingin ada SI itu. Kalau di
DPR
> > ada almarhum Hartono Marjono yang memang perjuangannya tulus.
Tapi
> > yang lain adalah politisi-politisi free rider yang hanya
> emanfaatkan
> > SI sebagai kendaraan politiknya.
> >
> > Apa saja permasalahan perda-perda syariat Islam?
> >
> > Dari segi teknik legal drafting perda-perda itu bermasalah,
yaitu
> > copy paste. Pergi ke satu daerah, balik dengan perda dari daerah
> itu,
> > diganti judulnya, bahkan ada daerah yang lupa nama kabupaten
(yang
> > dijiplak, red) masih belum diganti.
> >
> > Dari segi moral juga bermasalah. Mereka hanya jalan-jalan
> > menghabiskan anggaran. Itu artinya koruptif. Padahal di saat
yang
> > sama mereka meneriakkan Perda SI.
> >
> > Dari segi waktu, menjelang pilkada untuk menarik simpati
> masyarakat.
> >
> > Dan dari segi substansi: ecek-ecek (tidak signifikan, red.),
sangat
> > prosedural, dan di permukaan. Seperti Kal-Sel yang membuat Perda
> > Jumat Khusus', Raperda Larangan Mandi di Sungai, dan Perda
> Ramadlan.
> > Kalau Perda hidup sederhana bagi pejabat atau anti korupsi, itu
> > menurut saya lebih SI.
> >
> > Pembuatan Perda SI juga tidak sesuai dengan UU No. 10/2004
tentang
> > Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Karena dari segi
> > penjaringan aspirasi, tidak maksimal. Biasanya ada manipulasi,
> > dengan mendatangkan orang untuk membawa aspirasi. Itu kemudian
> > diklaim sebagai aspirasi masyarakat.
> >
> > Kemudian dari sisi tertib hukum, UU No. 10 itu menyebut hierarki
> > peraturan. Berdasar UU itu, perda ada di bawah UU No. 32/ 2004
yang
> > mengatakan masalah keagamaan itu adalah masalah pusat. Kalau
diatur
> > perda, keagamaan jadi masalah daerah. Maka bisa
> diinterpretasikan,
> > ini kewenangan pusat yang diserobot oleh daerah.
> >
> > Beberapa konsideran perda menyebut Al-Quran dan Hadits. Bagaimana
> > posisinya dengan sistem hukum kita?
> >
> > Barangkali ingin menegaskan bahwa ini adalah aturan yang
bersumber
> > dari hukum Islam, dan agar lebih menjual kepada publik. Karena
> tidak
> > ada di UUD atau di UU yang menyebut, berarti Al-Quran dan Hadits
> > cukup menjadi pertimbangan Perda. Kalau orang yang mengerti
legal
> > drafting, di situ ada unsur melecehkan Al-Quran dan Hadits
karena
> > perda ada di hierarki peraturan yang paling bawah menurut UU No.
> > 10/2004. Begitu interpretasi yang valid.
> >
> > Bisa tidak daerah membuat aturan untuk masalah yang sama dengan
> > pusat untuk memenuhi kebutuhan daerah?
> >
> > Kalau aturan itu spesialis (lebih khusus) karena ada local
content,
> > bisa. Misalnya, ternyata di daerah itu ada hukum adat yang
> > dilestarikan secara turun-temurun. Misalnya, ijab kabul itu lebih
> > afdhol dengan Bahasa Arab, silahkan saja. Tapi tidak menjadi
aturan
> > yang wajib, hanya fakultatif. Tapi pada saat aturan itu menjadi
> > wajib, bisa bermasalah kalau dilihat dari segi hierarki tadi.
> >
> > Syarat baca tulis Al-Quran memang bisa diargumentasikan lex
> > specialis terutama kalau ada local content, aspirasi lokal.
Tapi
> > dari sisi lain ini melanggar hak asasi orang yang mau menikah,
> tapi
> > belum bisa baca tulis Al-Quran. Jadi antara local content dengan
> > national content itu bertentangan atau tidak.
> >
> > Apakah diatur di sana kalau orang tidak bisa baca tulis al-Quran,
> > disediakan proses belajar baca tulis sehingga tidak menghambat
hak
> > dia untuk menikah? Kalau tidak maka akan terjadi penyelundupan
> hukum.
> > Orangorang yang mau kawin pindah kabupaten. Apa langkah-langkah
> yang
> > bisa ditempuh untuk memperbaiki perda-perda itu?
> >
> > Kalau proses hukumnya, ke MA lewat judicial review. Dengan
catatan
> > 180 hari setelah perda itu dikeluarkan, kalau lewat maka
> kadaluarsa
> > permohonannya.
> >
> > Kemudian ada mekanisme dalam UU No. 32/ 2004, yaitu executive
> review.
> > Perda yang dibuat harus dikirim ke pusat. Jika melanggar, perda
itu
> > bisa dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Presiden, walaupun
> > daerah yang bersangkutan bisa mengajukan keberatan ke MA. Tapi
> > sekarang belum kelihatan ada executive review untuk perda-perda
> SI.
> > Padahal kalau dikaji, pasti ada pertentangan dengan UU No.
> 32/2004,
> > UU No. 10/2004 bahkan UUD.
> >
> >
> > Juga ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pihak yang merasa hak-hak
> > konstitusinya dilanggar, misalnya di Bulukumba hak dasar menikah
> > yang dijamin UUD dilanggar perda itu, maka mereka bisa
mengajukan
> > keberatan ke MK. Tapi menurut aturan kita, perda diuji ke MA,
> > sedang MK hanya menguji UU hingga UUD. Ini hanya inovasi, toh
> perda
> > itu adalah undang undang, hanya dia dibuat Pemerintah Daerah.
> >
> > Di luar itu ada proses sosiologis, politis, bagaimana masyarakat
> > melakukan pressure di luar konteks hukum agar terjadi legislative
> > review, yaitu mendorong lagi parlemen dan kepala daerah untuk
> > merubah, mencabut atau memperbaiki perda-perda itu.
> >
> > Siapa saja yang bisa melakukan Judicial Review?
> >
> > Kelompok yang merasa Perda itu bermasalah. Diajukan ke MA dengan
> > permohonan tertulis. Legal standingnya akan dilihat.
> >
> > Kalau di Bulukumba misalnya para mempelai atau LSM yang mempunyai
> > kepentingan langsung dengan masalah advokasi, masyarakat yang
> > dirugikan, atau yang menganggap perda itu tidak aspiratif. Bisa
> > kelompok muslim dan non muslim, karena isi peraturan yang
> > diskriminatif hanya berlaku untuk kelompok muslim.
> >
> > Kalau Perda Prostitusi kelompok perempuan yang paling dirugikan,
> > kalau Perda baca tulis al-Quran kelompok yang ingin menikah
yang
> > dirugikan.
> >
> > Tapi saya sendiri merasa dirugikan, karena menurut saya ada
> > manipulasi syariat Islam di situ. Hanya saja ini ini belum
tentu
> > pendapat orang banyak.[]
> >
>
***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:
1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
SPONSORED LINKS
Cultural diversity | Indonesian languages | Indonesian language learn |
Indonesian language course |
YAHOO! GROUPS LINKS
- Visit your group "ppiindia" on the web.
- To unsubscribe from this group, send an email to:
[EMAIL PROTECTED]
- Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service.