*** Dari milis tetangga dikirim oleh Sadewa:

---> untuk mbak Aris dan kawan kawan sepemikiran: 

"Bahkan partai-partai besar yang didominasi oleh orang Islam, tidak 
mendukung konsep negara Islam. Karena itu yang mendompleng 
prinsip "mayoritas-minoritas" untuk menggoalkan cita-citanya, 
sebenarnya tidak berangkat dari realitas konkrit. Mereka berangkat 
dari realitas statistik dan mengandalkan "Islam KTP". Di sini jelas, 
yang menolak penegakan Syariat Islam terutama justru dari umat Islam 
sendiri. Di sisi lain umat nonIslam di negeri ini kecil sekali 
jumlahnya. Andaikata mereka bersatu (Hindu, Buddha, Konghucu, 
Nasrani) menolak pemberlakuan Syariat Islam, suaranya tetap tak 
berarti...."




Kolom Mayapada 07-07-2006
 
NASIONALIS INDONESIA BERSATULAH
 

Belakangan ini, ancaman perpecahan di antara sesama bangsa Indonesia 
semakin nyata. Hal ini terlihat ketika pemerintah dengan tegas 
menyatakan agar empat konsensus dasar tetap dipertahankan 
sebagai "harga mati", yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan ikrar 
Bhinneka Tunggal Ika, sementara itu di lain pihak muncul 
tuntutan "harga mati" pula berupa pemberlakuan Syariat Islam secara 
nasional dan tetap dipertahankannya perda-perda yang bermuatan 
Syariat Islam. Bahkan ada seruan agar mulai presiden hingga kepala 
desa mendukung pemberlakuan Syariat Islam di seluruh Indonesia. Umat 
Islam yang tidak mendukungnya masuk kategori murtad.
 
Fenomena ini tidak boleh dipandang enteng. Ini sudah merupakan 
tantangan yang provokatif dan insinuatif. Sama saja dengan usaha 
untuk mendirikan negara di dalam negara. Apalagi, yang bersemangat 
mensosialisasikan Syariat Islam ini pula yang pernah menegaskan 
bahwa "lebih baik tidak ada Indonesia daripada ada Indonesia tetapi 
tidak berdasarkan Syariat Islam". Bukankah fenomena ini sama artinya 
dengan usaha-usaha untuk menggantikan dasar negara (Pancasila), 
undang-undang negara (UUD 1945) dan semboyan persatuan nasional 
(Bhinneka Tunggal Ika)?
 
Fenomena ini juga jelas menunjukkan usaha-usaha 
untuk "menyeragamkan" bangsa Indonesia yang berbeda-beda agama, 
suku, etnis dan kultur di bawah satu payung kebesaran bernama 
Syariat Islam. Alasannya, hukum ini bukan buatan manusia seperti 
halnya Pancasila atau Piagam PBB, tetapi merupakan "rakhmatan lil 
alamin", hukum Allah sebagai rahmat untuk seluruh umat manusia di 
alam ini. Karena untuk seluruh umat manusia, jadi harus diberlakukan 
juga untuk seluruh umat di bumi, tak peduli apa agamanya, apa 
kebangsaannya. Sebab agama yang benar di muka bumi ini hanya satu, 
yakni Islam. Di luar itu kafir.
 
Mari kita tak usah memikirkan bagaimana gerangan Syariat Islam 
diberlakukan di Amerika, Kanada atau Norwegia. Kita kembali ke 
Indonesia yang diklaim mayoritas penduduknya beragama Islam. Apakah 
kalau penduduknya mayoritas beragama Islam, maka yang mayoritas itu 
dipastikan setuju dengan pemberlakuan Syariat Islam sebagai dasar 
dan hukum negara? Sedangkan pemberlakuan Syariat Islam "bagi pemeluk-
pemeluknya" yang tercantum di Piagam Djakarta saja akhirnya harus 
dihapus. Dalam Pemilu 1955, yang keluar sebagai pemenang bukan 
partai Islam melainkan partai nasionalis (PNI). Memang kalau Masjumi 
dan NU digabung (bersatu) suaranya lebih besar dari PNI. Tetapi 
bukankah kedua partai yang berasaskan Islam itu tidak bersatu?
 
Ketika ada pilihan, negara berdasarkan Islam atau Pancasila,  kedua 
partai yang mendukung dasar Islam ini pun tidak berhasil menang, 
karena yang mendukung Indonesia berdasarkan Pancasila bukan hanya 
PNI, melainkan juga partai-partai nasionalis lainnya. Pelaksanaan 
pemilu selama Orde Baru tidak dapat kita jadikan tolok ukur karena 
sudah direkayasa agar Golkar selalu menang. Tetapi bagaimana dengan 
pemilu di era reformasi? Pemilu 1999 dan 2004 juga memperlihatkan 
partai-partai berasas Islam tidak dapat tampil dominan baik dalam 
perolehan suara maupun kursi di parlemen. Dalam pemilu 1999 pemenang 
pertama PDI-P, dan dalam pemilu 2004 pemenang pertama Golkar. 
Andaikata mayoritas bangsa Indonesia mendukung partai Islam (karena 
mayoritasnya beragama Islam), maka sejak republik ini merdeka 
Indonesia sudah berasaskan Syariat Islam, sudah menjadi negara 
Islam, karena patai Islam akan menang terus. Bukankah kenyataannya 
tidak demikian?
 
Sesudah Syariat Islam dalam kemasan Piagam Djakarta mengalami 
kegagalan, dan kemudian disusul lewat perda-perda, lalu UU APP, kini 
Syariat Islam diperjuangkan tanpa kemasan lagi, melainkan langsung 
dan secara terbuka. Kampanye agar mendukung Syariat Islam bukan lagi 
hanya ditujukan kepada Walikota Solo, tetapi juga Presiden RI dengan 
segenap kabinetnya sampai ke tingkat kepala desa.  Mereka yang 
mendukungnya untuk menjadi dasar negara dan hukum negara, akan 
merapatkan barisan memberikan suaranya pada partai Islam manapun 
yang juga mendukung penegakan Syariat Islam dalam kehidupan 
berbangsa dan bernegara.
 
Inilah fenomena yang menunjukkan perpecahan bangsa sudah di ambang 
pintu. Ada sekelompok orang sedang membangun rumah di dalam rumah. 
Mayoritas penduduk Indonesia memang beragama Islam, tetapi tidak 
otomatis yang mayoritas itu pendukung Syariat Islam sebagai dasar 
negara. Bahkan partai-partai besar yang didominasi oleh orang Islam, 
tidak mendukung konsep negara Islam. Karena itu yang mendompleng 
prinsip "mayoritas-minoritas" untuk menggoalkan cita-citanya, 
sebenarnya tidak berangkat dari realitas konkrit. Mereka berangkat 
dari realitas statistik dan mengandalkan "Islam KTP". Di sini jelas, 
yang menolak penegakan Syariat Islam terutama justru dari umat Islam 
sendiri. Di sisi lain umat nonIslam di negeri ini kecil sekali 
jumlahnya. Andaikata mereka bersatu (Hindu, Buddha, Konghucu, 
Nasrani) menolak pemberlakuan Syariat Islam, suaranya tetap tak 
berarti.
 
Jelas sudah, yang menolak pemberlakuan Syariat Islam sebagai dasar 
dan hukum negara bukanlah pemeluk agama nonIslam, melainkan 
nasionalis Indonesia. Mereka mayoritas beragama Islam. Dalam konteks 
membangun negara, persatuan bangsa,  mereka tidak mengembangkan 
aspirasi kelompok, melainkan aspirasi kebangsaan. Mereka inilah yang 
harus bersatu merapatkan barisan untuk menghadapi aspirasi 
sektarian, aspirasi kelompok yang menginginkan Indonesia menjadi 
negara teokrasi. 
 
Untuk itu nasionalis seluruh Indonesia (yang mayoritas beragama 
Islam), bersatulah di bawah tripanji  kebangsaan kita: Pancasila, 
UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika, demi tetap tegaknya Negara 
Kesatuan Republik Indonesia!
 
  








------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
See what's inside the new Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/2pRQfA/bOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke