Surat Kembang Gunung Purei:
   
   
  "TOAST" SEPI,  RINDU, HATI DAN TUBUH
   
  1.
   
  "Toast" adalah cerpen Lan Fang yang diterbitkan oleh Harian Jawa Pos, Edisi 
06 Nopember 2006 [mungkin keliru karena sekarang masih bulan Juli 2006. 
Barangkali yang dimaksudkan adalah 11 Juni 2006 seperti tanggal Batam  Pos 
yangmenyiar ulang cerpen ini! Entah kalau cara penulisan tanggal dalam bahasa 
Indonesia sudah berobah dan aku ketinggalan perkembangan. Lihat: Lampiran].
   
  Tema yang diangkat oleh Lan Fang,  salah seorang sastrawan terkemuka Jawa 
Timur  kelahiran Kalimantan Selatan, paling tidak untuk sastrawan 
seangkatannya, sangat sederhana yaitu berkisar tentang sepi, rindu, hati dan 
tubuh. Dalam cerita ini Lan Fang [selanjutnya kusebut Xiao Lan]  tanpa 
bertele-tele langsung menyodorkan pemasalahan yang sedang ia olah melalui 
kalimat pertama:
   
  "Mana yang kamu pilih: rindu atau sepi?"
   
  Sedangkan permasalahan pokok kedua yang Xiao Lan bawa adalah hati dan tubuh. 
Hati adalah cinta sedangkan yang dimaksudkan dengan tubuh di sini tentu saja 
adalah soal hubungan intim antara lelaki dan perempuan yang saling mencintai 
atau sama-sama sepakat untuk melakukannya.
   
  Tema kedua ini disinggung oleh Xiao Lan dalam dialog berikut:
   
  ’’Beuh! Cerita apa itu?! Aku bukan penulis cerita stensilan. Aku penulis 
cerita cinta! Dasar laki-laki! Kamu mabuk! Kamu bisa tidur dengan perempuan 
mana saja! Bedakan dong, antara cinta dan nafsu!’’ potongku setengah sewot. 

’’Cinta? Seperti apa cinta dalam cerita-ceritamu?’’ sergahnya. ’’Cinta yang 
membuat kamu merasa merana kesepian sampai mencari mabuk ke sini?’’ ia 
menyerangku dengan kata-kata yang meluncur bagai anak panah lepas dari busur. 
’’Kamu bercinta dengan sepi? Selama ini bibirmu cuma mengecup mimpi, tubuhmu 
gemetar karena ingin yang tak pernah usai, hatimu terlantar seperti kena 
penyakit sampar, bahkan bicaramu pun sekadar menabrak pagi, lalu berakhir di 
ujung malam yang membingungkan. Lalu bosan menjadi raja dan kamu muntahkan ke 
dalam segelas long island? Itu yang kamu bilang cinta di dalam 
cerita-ceritamu?!’’ ia memberikan sebuah senyum penuh ejekan. 
Oh! Ia mendadak menjadi pujangga besar yang mengulitiku. 

’’Kenapa kamu tidak melindas sepi dengan memanggilnya, mencarinya, 
mendatanginya, meneleponnya, menciuminya, memeluknya, melumatnya, me...dan 
me...dan me...dan me... me yang lain... Kenapa tidak kamu lakukan? Bukankah 
bias hangatnya bisa membuat sepimu lumer meleleh?’’ ia mengejarku". 

  Walau pun tema yang digarap oleh Xiao Lan di sini sangat sederhana, tapi 
justru pada kesederhanaan inilah barangkali terletak kekuatan dan ketajaman 
mata Xiao Lan.  Sederhana tapi Xiao tidak menyederhanakan masalah. Ia menukik 
dan merenunginya. Apakah gerangan itu yang bernama sepi, rindu, hati dan tubuh? 
Masalah-masalah, yang kalau kita mau jujur pada diri sendiri, sering kita 
hadapi dalam kehidupan sehari-hari . Menyentuh bagian terdalam dari diri kita 
yaitu emosi. Psikhologi. Lalu berdampak banyak seakan banjir yang menjalar ke 
segala arah. Tanpa memahami hal terdalam pada seseorang, kita akan dengan 
gampang menjatuhkan hukuman berupa penilaian begini dan begitu yang hakekatnya 
memperlihatkan si pemberi hukuman dan pemberi angka tidak mengenal rumitnya 
anak manusia. Hanya memperlihatkan kesederhanaan pikiran yang mendekati model 
pendekatan terhadap masalah secara hitam-putih berdasarkan suatu skema dalil 
atau dogma-dogma kadaluwarsa dan tak tanggap zaman. Pendekatan
 secara hitam-putih kunamakan sebagai tingkat primer berpikir. 
   
  Untuk melampaui tingkat primer begini, kukira selayaknya si penulis mempunyai 
tingkat kedewasaan tertentu. Mengenal manusia dan permasalahannya sebagai anak 
manusia di tengah kehidupan yang tidak pernah ramah. Sulit dibayangkan penulis 
dengan jiwa bocah bisa memahami kerumitan manusia dan hidup. Bocah hanya pandai 
meratap, bercanda, memaki dan marah serta tatakrama sederhana. Itupun jika 
diajarkan soal makna tatakrama dalam hidup bermasyarakat. Dengan tingkat 
primer, kiranya, penulis rada repot menunaikan misi sebagai "insinyur jiwa" 
atau melihat manusia dan kehidupan secara utuh. Padahal masalah manusia dan 
kehidupan, justru merupakan wilayah kerja tulis-menulis.  Karena itu tema 
tulisan pun akan seluas permasalahan anak manusia dan kehidupan juga adanya. 
Manusia dan kehidupan adalah sumber ilham. Danau yang tak kunjung kering. 
Karena itu pula tema tulisan pun tak mengenal tabu. Tinggal bagaimana tema itu 
diracik.***
   
  Paris, Juli 2006.
  ---------------------
  JJ. Kusni
   
   
  [Bersambung....]
   
   
          LAMPIRAN:
   
  Toast  
Post:  06/12/2006 Disimak: 114 kali 
Cerpen: Lan Fang  
Sumber: Jawa Pos,  Edisi 06/11/2006  
    
---------------------------------
  
      ’’Mana yang kamu pilih: rindu atau sepi?’’ 
’’Kenapa kamu bertanya begitu?’’ laki-laki itu balik bertanya kepadaku. 

’’Karena aku bukan orang yang kuat menahan rindu atau sepi,’’ jawabku. 
Ia diam sebentar sambil meracik long island ke dalam gelas sesuai pesananku. 
Kelihatannya ia berpikir hendak memberikan jawaban apa atas pertanyaanku tadi. 
Aku masih menunggu jawabannya. 

Aku duduk sendirian di meja bar di tengah cafe yang masih belum terlalu ramai. 
Memang malam masih muda. Senja muram masih menggantung di langit buram. Di 
dalam cafe ini, hanya ada beberapa orang yang duduk di pojok-pojok sofa. Lampu 
walaupun tidak benderang tetapi juga tidak temaram. Stage masih belum ada 
pemusik. Musik lembut terdengar dari loudspeaker yang dipasang di langit-langit 
ruangan. Aku tidak suka duduk menyendiri di pojok sofa lalu termangu-mangu. 
Pasti akan kelihatan tolol sekali. Maka kupilih duduk di meja bar ini. Tidak 
ada seorang pun yang duduk di meja bar. Hanya ada aku dan bartender itu. 

’’Long island,’’ aku memesan minuman kepadanya. 
Entah apa yang membawa langkahku masuk ke dalam cafe ini. Aku tidak pernah ke 
cafe ini sebelumnya. Dan aku bukan perempuan yang suka pergi dari satu cafe ke 
cafe lain atau dari satu pub ke pub lain untuk mencari suasana yang 
menyenangkan. Bagiku sendirian juga bisa menyenangkan. Karena aku tidak pernah 
merasa berjalan sendirian. Selalu ada bayang-bayang seseorang. Bayang-bayang 
yang aku simpan sendiri, aku cinta sendiri, aku rindu sendiri, aku nikmati 
sendiri. Bayang-bayang yang tumbuh di dalam sepi. 

Karena bayang-bayang itu bertumbuh besar dan membiak, maka segala ritme dan 
gerakannya menyibukkanku dengan banyak rasa. Aku memeliharanya, memupuknya, 
merawatnya, menyiramnya, menyianginya, seperti aku menanam sepokok kembang, 
sampai ia berputik, kuncup, mekar, merekah menjadi bunga. Aku gempita di dalam 
kesendirianku. Tidak pernah merasa sepi. 

Lalu ketika mendadak senja meleleh penuh tuba, bayang-bayang itu tetap seperti 
bayang-bayang yang tidak pernah mengerti betapa aku cinta dan sangat aku rindu. 
Ia tetap menjadi bayang-bayang yang bergerak liar ke mana dia mau dan melakukan 
apa yang dia suka. Bukan karena ia tak cinta aku. Tetapi mungkin lebih cinta 
dirinya sendiri. Padahal sesak itu berhimpitan dengan cinta dan rindu yang 
tiada berkesudahan. Tiap hela napasku hanya menyemburkan wangi bunga cinta dan 
embusan harum kerinduan. Ia bukan tidak tahu. Tetapi ia sendiri tidak tahu apa 
yang dia mau. 

Aku merasa menjadi perempuan paling tolol yang selalu mengucapkan ’’aku cinta 
padamu’’, juga ’’aku kangen kamu’’. Setiap hari, setiap saat. Seperti matahari 
tidak pernah bosan terbit pagi hari. Seperti kelopak daun yang selalu 
berkeringat embun di subuh hari. Seperti aroma tanah kering yang menguap 
sehabis hujan. Tidak pernah berubah. 

Tetapi aku bukan matahari. Bukan pula embun. Juga bukan hujan. 
Aku bisa bosan. 
Aku menjadi kayu lapuk digerogoti rayap. Menjadi arang remuk di dalam bara 
sekam. Juga menjadi serpihan ranting rapuh yang jatuh. 
Aku capek merindu bayang. 

Lalu rinduku tumpah ruah seperti banjir Nuh yang meruntuhkan langit dan 
menggemuruhkan bumi. Dadaku tidak mampu lagi menahan sesaknya. Cintaku amblas 
kena amplas. Ibarat kupu-kupu, kepaknya tak utuh lagi, warna sayapnya luntur di 
dalam secangkir kebingungan. Hatiku menggelegak seperti burung gagak 
berkoak-koak. Hanya hening sesaat, selebihnya sepi merajai. 

Sepi itu hendak mencabut napasku. Karena ia sudah membekukan nadiku. Sepi itu 
gigil yang ngilu. Membuatku bisa merapatkan geligi gigi menahan gemelutuknya. 
Tetapi ketika mulutku akan membuka, tidak ada satu pun suara. Sepi seperti 
hantu yang bertahta di atas lidahku. Ia membangun istana di seluruh rongga 
mulutku sehingga aku gagu. Bahkan menangis pun sudah tak mampu. 
Siapa yang bisa tahan? 

’’Aku memilih rindu,’’ bar tender itu menjawab sambil mengangsurkan segelas 
long island untukku. Kuteguk. ’’Di dalam setiap kerinduan ada harapan. Ada 
keinginan. Sedangkan sepi hanya suatu keadaan. Kesepian itu melukai. Membuat 
hati berdarah dan bernanah. Tetapi kerinduan sekadar meninggalkan lebam memar 
yang membiru,’’ jawabannya membuatku tersedak! 

Itu jawaban yang sama sekali tidak kuinginkan! 
Kupikir, bar tender ini hanya sok tahu. Ia sangat biasa. Tubuhnya tidak terlalu 
tinggi. Penampilannya casual saja dengan T-shirt dan jeans. Ia tidak trendy. Ia 
tidak memakai anting di telinga. Rambutnya tidak di cat. Ia bahkan jarang 
bicara, juga jarang tersenyum. Bahkan ia berusaha menghindar beradu pandang 
lama denganku. Ia tidak merokok. Ia cuma minum segelas whiskey cola. Ia tidak 
pantas menjadi bar tender. 

Tetapi baiklah, kulayani saja sok tahunya, daripada aku mati dicekik kesepian, 
kupikir begitu. Setidaknya jawabannya lumayan juga. Ia tidak sekadar pandai 
meracik whiskey cola, long island atau pinacolada. 
’’Kalau kamu bagaimana? Sedang merasa rindu atau sepi? Atau kamu sedang lari 
dari sepi?’’ kali ini matanya seperti jaring yang membuatku terperangkap di 
dalamnya. 

Aku tidak sangka ia bertanya begitu. Aku sedang tidak siap untuk menjawabnya. 
’’Aku tidak suka ramai. Berisik dan membuatku tidak nyaman. Tetapi aku juga 
tidak suka sepi. Membuat hatiku seakan-akan cuma menjadi sehelai daun kering 
luruh runtuh tidak utuh. Jatuhnya menimbulkan suara yang lebih riuh dan gaduh. 
Ternyata sepi lebih menyiksa daripada ramai. Sepi itu terasa mengoyak, 
mencabik, meretas!’’ kudengar nada suaraku sangat ketus. 

Tetapi dia justru tertawa mendengar nada suara seketus itu. Dia mengangkat 
gelasnya sendiri. Mengajakku toast. Aku juga mengangkat gelasku. Gelas kami 
berdenting ketika beradu. 

Ting! 
’’Untuk sepi yang gaduh!’’ ujarnya. 
’’Untuk rindu yang melebam!’’ jawabku. 
Lalu kami sama-sama tertawa. Entah tertawa untuk apa. 
Untuk sebongkah sepi ataukah segumpal rindu. 
’’Aku Cali, bar tender di sini. Kamu siapa?’’ ia memperkenalkan diri. 
’’Lan Fang, aku cuma seorang pelamun usang, aku pengarang,’’ jawabku. 
’’Kenapa tidak menulis cerita?’’ 
’’Apakah rasa sepi bisa melahirkan cerita yang menarik?’’ 

Long island membuat kepalaku mulai terasa ringan. Hatiku ringan. Perasaanku 
ringan. Kata-kataku ringan. Seakan-akan bersayap dan terbang di antara kepulan 
asap rokok tipis yang menguar dari pojok-pojok cafe. Menyelinap di antara gelas 
dan botol-botol minuman di bar. Membentur di tembok-tembok yang keras. Sepiku 
pecah berderai di lantai. Sekarang tidak lagi terasa sepi. 

Beginikah rasanya orang-orang yang sekarat karena rindu dan sepi? Membuang diri 
ke dalam mabuk untuk lupa sesaat. Atau justru menikmati sesaat? Seperti 
tersesat di dalam hutan kelabu di bawah hujan menyebut-nyebut nama sang kekasih 
yang tidak tahu ada di mana? Atau seperti melintasi kemarau panjang kering 
kerontang sendirian berharap segera bertemu dengan sang kekasih? Mungkin juga 
ingin menangis sejadi-jadinya tetapi tidak bersuara. 

”Bagaimana kalau menulis cerita tentang rindu?’’ ia memberikan penawaran. 
’’Aku sudah bosan rindu, tau?!’’ sergahku setengah mendengus. ’’Kamu sedang 
rindu ya? Bagaimana kalau yang kamu rindukan itu datang?’’ aku terkekeh geli 
sendiri. 
’’Aku akan bilang bahwa aku menikmati penggalan rindu yang dia tinggalkan.’’ 

’’Apa yang kamu lakukan kalau rasa rindu menampar-nampar sampai kau terkapar? 
Ke mana rasa rindu itu kamu lempar ketika ingin kulitnya menyentuhmu sampai kau 
gemetar?’’ 

’’Kumamah saja dengan lapar yang rakus. Kutelan dalam dahaga yang haus. Aku 
tidak ke mana-mana. Aku tetap di sini. Aku menikmatinya kental-kental. Tidak 
perlu melarikan diri seperti kamu...,’’ jawabnya. 
Aku mulai merasa asyik bertanya jawab dengannya. Di luar malam semakin tua. 
Cafe mulai marak. Cahaya lampunya meredup. Musik berdentam. Orang-orang mulai 
banyak keluar masuk lalu mengambil tempat duduk di sofa-sofa. Orang-orang yang 
tanpa pasangan atau yang sedang mencari pasangan. 

Tetapi tidak aku. Aku tidak mencari pasangan. Aku ingin menikmati sepi seperti 
dia menikmati rindu. 
’’Ia seperti kamu. Mempunyai mata bermagnet yang membuatku selalu merasa 
gelisah. Ia juga suka long island seperti kamu. Tetapi ia bukan pengarang. Ia 
penyanyi di cafe ini. Aku mengenalnya enam bulan yang lalu,’’ ia bercerita 
tanpa kuminta. 

Ia mulai tenggelam di dalam kubangan pasir isap lumpur kerinduan. Tak ada yang 
bisa meronta ketika kubangan pasir isap itu menarik dan menyedot sampai ke 
dasar. Semakin bergerak, semakin terjerembab dalam. Semakin menggeliat, semakin 
tidak mampu berkutik. 

Tetapi ia tidak meronta atau menggeliat. Ia membiarkan kubangan pasir isap itu 
membetot seluruh perasaannya sampai leleh seperti butiran timah yang menyublin. 
Ia kelihatan menikmati memar dan lebam yang membiru di sekujur permukaan 
hatinya. Ia seperti berdansa berputar-putar di atas hamparan padang linu. 

’’Setiap break menyanyi, ia datang meminta long island padaku. Ia menyanyi di 
sini setiap malam selama seminggu. Setiap menutup stage, ia menyanyikan When 
You Tell Me That You Love Me sambil tidak melepaskan pandangannya kepadaku. 
Hatiku selalu bergetar dibuatnya. Matanya seperti magnet. Menarikku masuk ke 
dalam kumparannya sampai tidak bisa melepaskan diri lagi ketika ia memelukku, 
menciumku, melumatku. Rasa long island yang tersisa di lidahnya terkecap olehku 
di dalam ciuman yang hangat, panjang dan dalam. Aroma whiskey cola berhembus 
ketika kami saling bertukar napas.’’ 

’’Beuh! Cerita apa itu?! Aku bukan penulis cerita stensilan. Aku penulis cerita 
cinta! Dasar laki-laki! Kamu mabuk! Kamu bisa tidur dengan perempuan mana saja! 
Bedakan dong, antara cinta dan nafsu!’’ potongku setengah sewot. 

’’Cinta? Seperti apa cinta dalam cerita-ceritamu?’’ sergahnya. ’’Cinta yang 
membuat kamu merasa merana kesepian sampai mencari mabuk ke sini?’’ ia 
menyerangku dengan kata-kata yang meluncur bagai anak panah lepas dari busur. 
’’Kamu bercinta dengan sepi? Selama ini bibirmu cuma mengecup mimpi, tubuhmu 
gemetar karena ingin yang tak pernah usai, hatimu terlantar seperti kena 
penyakit sampar, bahkan bicaramu pun sekadar menabrak pagi, lalu berakhir di 
ujung malam yang membingungkan. Lalu bosan menjadi raja dan kamu muntahkan ke 
dalam segelas long island? Itu yang kamu bilang cinta di dalam 
cerita-ceritamu?!’’ ia memberikan sebuah senyum penuh ejekan. 
Oh! Ia mendadak menjadi pujangga besar yang mengulitiku. 

’’Kenapa kamu tidak melindas sepi dengan memanggilnya, mencarinya, 
mendatanginya, meneleponnya, menciuminya, memeluknya, melumatnya, me...dan 
me...dan me...dan me... me yang lain... Kenapa tidak kamu lakukan? Bukankah 
bias hangatnya bisa membuat sepimu lumer meleleh?’’ ia mengejarku. 

’’Karena aku benci! Aku sudah benci! Benci sekali! Tidak ada yang bisa dia 
berikan kecuali menebar rasa sepi! Jadi percuma saja memanggilnya, mencarinya, 
mendatanginya, meneleponnya, menciuminya, memeluknya, melumatnya, me...dan 
me...dan me...dan me... me yang lain...,’’ aku memphoto copy kata-katanya. 

’’Ia sedungu kambing! Aku capek mencintainya. Seluruh hati sudah habis tak 
tersisa tetapi ia tak mengerti juga. Tidak pernah ia memberikan hati seringan 
kapas. Ia sibuk dengan diri sendiri, entah mimpi apa yang dia bangun di atas 
istana pasirnya yang sudah seperti remah-remah roti basi bahkan merpati pun 
enggan untuk mematukinya. Ia selalu berjalan di depanku dengan arah yang 
berbeda atau berjalan di belakangku justru tanpa arah. Ia tidak pernah bisa 
berjalan bersisian di sebelahku.’’ 

’’Hei, kamu mulai mabuk?’’ tukasnya. ’’Hanya orang mabuk yang bicara menceracau 
dan bersumpah serapah.’’ 
’’Tidak. Aku hanya butuh bicara.’’ 
’’Yah! Itu yang dikatakannya kepadaku. Bahwa ia butuh teman bicara.’’ 

’’Ia butuh teman tidur!’’ tukasku. 
’’Bila seorang perempuan sudah bicara kepadamu, maka kamu sudah mendapatkan 
hatinya. Jika demikian, sudah pasti ia akan tidur denganmu,’’ bar tender itu 
tertawa. 
’’Ada juga yang mengatakan, bahwa kalau kau sudah mendapatkan tubuh laki-laki, 
maka kau bisa mengikat hatinya. Tetapi kenapa aku tidak?’’ rasanya ingin 
uring-uringan saja mengingat teori itu. 
Cali terbahak-bahak. ’’Kau tidak perlu mengikat hatinya. Kamu sudah memiliki 
hatinya! Untuk apa lagi mengikat bila sudah memiliki?’’ 
Lalu bar tender itu mengangkat gelasnya lagi mengajakku bersulang. 

’’Untuk hati dan tubuh!’’ katanya. 
’’Untuk tubuh dan hati!’’ jawabku. 
Ting! 
Gelas kami kembali beradu. 
Sekarang sepi itu sudah tidak ada lagi. 

Entahlah, apakah rindunya masih ada? 
’’Setelah seminggu menyanyi di sini, ia pergi menghilang entah ke mana, tanpa 
pesan tanpa kata-kata. Kata teman-teman, kontrak menyanyinya di cafe ini sudah 
selesai. Kucari di tempat kostnya, ia tidak ada. Sebetulnya, aku tahu ia juga 
menyanyi di salah satu cafe berbintang lima lagi. Tetapi aku minder mencarinya 
ke sana. Aku cuma seorang bar tender,’’ ia meneruskan ceritanya. 

’’So...?’’ 
’’Sampai sekarang aku masih rindu!’’ jawabnya lugas. 
’’Kamu rindu tidur dengannya lagi,’’ kali ini aku yang tertawa mengejek. 

Tetapi laki-laki itu seakan tidak peduli dengan tawa ejekanku. Ia sibuk menata 
keping-keping rindunya yang berserakan di helai-helai sisipan ingatannya. 
’’Lebih dari itu! Aku berharap ia muncul lagi. Menyanyi dengan mata bermagnet. 
Menyesap rasa long island di lidahnya. Menghirup aroma whiskey cola di 
napasnya. Aku rindu mabuk karena sentuhannya. Rindu ia seutuhnya.’’ 

Aku jadi benci karena rinduku sudah kecemplung di dalam gelas long island 
sementara sepiku masih tetap membatu. 
’’One more, please...,’’ aku lagi-lagi mengangsurkan gelasku. 
’’Ini gelas terakhir! Aku tidak mau kamu mabuk!’’ ujarnya tegas sembari 
menuangkan sedikit whiskey cola di gelasku. 

Tidak sampai setengah. Cukup hanya seteguk. 
Kepalaku memang sudah ringan sekali. Kakiku terasa mengawang tidak menjejak 
bumi. Tetapi aku merasa masih mempunyai bobot tubuh walaupun terasa 
berputar-putar seperti gasing. 

Ia mengangkat gelasnya lagi untuk mengajakku toast untuk ketiga kalinya. 
’’Biarkan aku yang membayar minumanmu. Kamu sudah mendengarkan ceritaku tentang 
rindu.’’ 

’’Kamu baik sekali. Aku akan menulis cerita tentang itu.’’ 
’’Untuk kamu si pengarang!’’ katanya. 
’’Untuk dia sang penyanyi!’’ sahutku. 
Ting! 

Gelas kami lagi-lagi beradu. 
’’Pertanyaan terakhir. Maukah kamu menciumku seperti dia? Menyesap long island 
di lidahku dan menghirup whiskey cola di napasku?’’ tanyaku sambil memajukan 
tubuhku mendekati wajahnya. Kutatap dalam-dalam matanya. Kusentuh bibirnya 
dengan jariku. Dan kuembuskan sepi ke dalam napasnya. 
’’Tidak. Sekarang kamu mulai mabuk..,’’ ia mendorong bahuku dan tertawa pelan. 
Aku tertawa. Sungguh-sungguh tertawa. 
Menertawakan kesepianku yang konyol dan tolol. 
Aku tidak mabuk, bukan murahan, juga bukan kacangan, kalau aku memintanya 
menciumku. 
Aku cuma ingin membunuh sepi itu sebelum sepi itu yang lebih dulu membunuhku. 
*** 

Surabaya, 08.05.2006, 00.40 WIB 
  
(Trims untuk Ucal karena memilih rindu)
   Catatan Sriti.com: Cerpen ini juga dipublikasikan oleh Batam Pos, 11 Juni 
2006

                
---------------------------------

 The World Cup Is Now On Your Favorite Front Page - check out www.yahoo.com.sg

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Something is new at Yahoo! Groups.  Check out the enhanced email design.
http://us.click.yahoo.com/SISQkA/gOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to