"Pencegahan Terorisme dengan Pendekatan Islamic Indigenous
Psychology"

Globalisasi telah menjadikan bumi ini menjadi kampung besar. Setiap
Peristiwa yang terjadi di bagian belahan bumi ini diketahui dan
direspond secara serentak oleh seluruh penduduk bumi ini, Bom yang
meledak di Palestina atau di Irak bukan saja membunuh orang
Palistina dan Irak tetapi langsung melukai hati aspiran-aspiran
pejuang kebebasan di seluruh dunia.

Globalisasi telah mengubah peta peperangan dimana musuh tidak lagi
berhadap-hadapan dalam dua front, tetapi semua kepentingan
diberbagai tempat di dunia menjadi target serangan musuh. Negara
kuat seperti Amerika merasa berhak untuk menyerang dan menghancurkan
negara manapun yang dipandangnya mengancam kepentingan nasional
Amerika. Sebaliknya para aspiran kemerdekaan yang merasa terluka
hatinya oleh praktek terorisme yang dilakukan oleh Pemerintah
Amerika merasa berhak untuk menyerang semua kepentingan Amerika di
seluruh dunia.

Peperangan antara teroris dan anti teror di dunia sekarang secara
garis besar sesunguhnya adalah perang antara dua kelompok teroris;
Pertama , Teroris kuat, dalam hal ini negara besar (kuat), yang
dengan dalih melindungi kepentingan nasionalnya merasa berhak untuk
menghancurkan lawan, dimanapun berada. Amerika (di Afgan dan Irak)
dan Israel (di Palestin) serta Uni Sovyet (ketika menjajah
Afganistan) dalam perspektip ini adalah negara terrorits, maksudnya,
terorisme yang dilakukan oleh negara, lounching by state.
Kedua, Terorist Terpojok, yakni mereka yang lemah dan kalah dalam
percaturan resmi, tetapi tidak mau menyerah. Kelompok ini merasa
berhak untuk membela diri, dan melakukan gerilya sesuai dengan
kemampuan minimal yang mereka miliki. Pooling pendapat di Eropa yang
hasilnya tidak dipublikasi menempatkan Israel sebagai negara yang
paling berbahaya di dunia, Iran ditempatkan sebagai berbahaya ke
tiga dan Indonesia memperoleh urutan ke tujuh.

Indonesia memang menjadi terkenal dengan adanya bom Bali dan bom
Marriot serta bom Kuningan. Tetapi setelah kita mengikuti jalannya
persidangan kasus ketiga bom tersebut, menjadi jelas bahwa ada hal
yang harus diperjelas anatomi masalahnya.
Siapa sebenarnya aktor intelektual kasus bom di Indonesia? Bom
dahsyat Bali masih menyisakan pertanyaan, benarkah Amrozi sanggup
membuat bom sedahsyat itu, jika benar barangkali PINDAD perlu
merekrutnya menjadi tenaga ahli.

Fenomena Terorisme di Indonesia
Sudah bukan rahasia lagi bahwa penyusupan agen dalam perang
merupakan kelaziman. Hingga hari ini kita tidak tahu siapa Umar
Faruk, DR. Azhari, Nurdin M. Top, bahkan Usamah bin Laden yang
sesungguhnya. Oleh karena itu dalam perspektip pooling pendapat di
Eropa, sesungguhnya negara urutan pertama (Israel) itulah sebenarnya
akar masalah terorisme global, sedangkan urutan berikutnya tak lebih
hanya limbah saja.

Manusia sebagai makhluk psikologis adalah makhluk yang bisa
berfikir, berperasaan dan berkehendak. Perilakunya dipengaruhi oleh
fikiran dan perasaannya. Sebagai makhluk budaya, manusia adalah
makhluk yang memiliki konsep, gagasan dan keyakinan yang memandu
perilakunya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya,
Perilaku, termasuk teror, tidak cukup hanya dinilai dengan besar
kecilnya bom, tetapi pada apa yang melatar belakangi munculnya
perilaku itu Psikologi, meski sering diterjemahkan dengan Ilmu Jiwa,
bukanlah ilmu yang berbicara tentang jiwa, tetapi ilmu yang
membicarakan perilaku manusia dengan asumsi bahwa perilaku manusia
itu merupakan gejala dari jiwanya.

Memahami Perilaku "Teroris"
Sesuai dengan sejarahnya, Psikologi lahir pada era sekuler dimana
ada konflik antara ilmu dan gereja, oleh karena itu perkembangan
Psikologi jauh dari bimbingan agama. Jadinya psikologi tidak
menyentuh aspek iman, tidak mengenal dosa tidak mengenal nilai-nilai
sakral, tidak pula mengenal baik dan buruk..
Hukum-hukum perilaku yang dirumuskan Psikologi keseluruhannya hanya
berdimensi horizontal. Mazhab-mazhab Psikologipun muncul dengan
trial and error, dimulai dengan mazhab Psikoanalisa yang menganggap
manusia sebagai homo volens, makhluk yang perilakunya dikendalikan
oleh alam bawah sadarnya, kemudian dikoreksi oleh mazhab
Behaviourisme yang menempatkan manusia sebagai homo mechanicus,
Makhluk mesin yang dikendalikan oleh faktor luar, dikoreksi lagi
oleh mazhab kognitip yang menempatkan manusia sebagai homo sapiens,
makhluk berfikir yang tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan
tetapi sanggup mendistorsinya, dan kemudian disempurnakan oleh
mazhab Humanisme yang menempatkan manusia sebagai homo ludens,
makhluk yang mengerti akan makna hidup. Psikologi mazhab mutakhir
inilah yang telah mulai meraba-raba dimensi vertikal dari jiwa,
yaitu apa yang sekarang dikenal dengan istilah kecerdasan spiritual.

Psikologi Barat telah terbukti tidak memadai untuk memahami fenomena
kejiwaan yang berdimensi vertikal, terbukti semua teori Barat gagal
ketika harus memahami venomena Revolusi Iran yang dipimpin oleh Imam
Khumaini.

Menurut Uichol Kim, seorang spikolog asal Korea, teori psikologi
Barat hanya memadai untuk memahami venomena kejiwaan masyarakat
Barat sesuai dengan kultur sekuler dimana ilmu itu lahir. Untuk
memahami perilaku manusia di belahan bumi lain harus digunakan basis
kultur dimana manusia itu hidup Psikologi Barat pun tidak memadai
untuk menerangkan fenomena senyum Amrozi , karena senyum Amrozi
ketika menerima vonis hukuman mati bukan hanya berdimensi
horizoantal, tetapi juga berdimensi vertikal Berbeda dengan sejarah
keilmuan Barat yang berlawanan dengan agama (gereja), pertumbuhan
ilmu pengetahuan dalam sejarah Islam justeru berada dibawah panduan
para ulama. Jiwa dalam ilmu keislaman tidak dibahas sebagai
perilaku, tetapi dibahas dalam konteks hubungan manusia dengan
Tuhan, yaitu dalam ilm Akhlak dan Ilmu Tasauf. Jika Psikologi
bertugas menerangkan makna, meramalkan dan mengendalikan perilaku,
Ilmu Akhlak berbicara tentang perilaku yang baik dan yang buruk dan
bagaimana membentuk perilaku yang baik, Ilmu Tasauf berbicara
tentang bagaimana jiwa manusia dapat merasa dekat dengan Tuhan.

Dalam kerangka pikir inilah lahir apa yang disebut Psikologi Islam,
yakni ilmu yang bukan saja berbicara tentang tingkah laku, tetapi
juga berbicara bagaimana membangun perilaku yang baik dan bagaimana
manusia bisa merasa dekat dengan Tuhan. Sebagai ilmu baru, ilmu
Psikologi Islam masih harus menghadapi tantangan epistimologis,
tetapi melihat kecenderungan Psikologi Barat yang sudah mulai meraba-
raba wilayah vertikal, Psikologi Islam akan dapat menjadi mazhab
kelima setelah mazhab Humanisme.

Urgensi Psikologi Islam bagi bangsa Indonesia
Banyak sekali problem kemasyarakatan di Indonesia yang membutuhkan
pendekatan indigeous psychology, dalam hal ini Islamic Indigenous
Psychology. Aspirasi garis keras muncul di kalangan ummat Islam pada
umumnya merupakan respond yang kurang tepat terhadap ketidakadilan
yang dialami. Aspiran garis keras pada umumnya tidak bisa membedakan
antara kebudayaan dan agama, padahal Islam memandang; pada dasarnya
semua kebudayaan bersifat mubah sepanjang tidak mengandung elemen-
elemen haram. Kebudayaan adalah konsep, oleh karena itu wujud suatu
perilaku harus dilihat apa konsepnya, baru dapat ditetapkan
nilainya. Pencampuradukan agama dan kebudayaan itu terjadi karena
adanya sikap fanatik.

Pengertian Fanatik
Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu
keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positip atau
yang negatip, pandangan mana tidak memiliki sandaran teori atau
pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah
diluruskan atau diubah Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh
karena itu argumen rationilpun susah digunakan untuk meluruskannya.
Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang
mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu
atau memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam
mempersepsi dan memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa
Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu
memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap
masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat
selain yang mereka yakini. Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik
adalah ketidak mampuan memahami karakteristik individual orang lain
yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar
fanatisme mengambil bentuk : (a) fanatik warna kulit, (b) fanatik
etnik/kesukuan, dan (c) fanatik klas sosial. Fanatik Agama
sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya
merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau klas sosial.
Di sisi lain , fanatisme merupakan usaha perlawanan kepada kelompok
dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya
tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas),
bisa juga dalam arti minoritas peran (Kualitas). Di negara besar
semacam Amerika misalnya juga masih terdapat kelompok fanatik
seperti : Fanatisme kulit hitam (negro), Fanatisme anti
Yahudi,Fanatisme pemuda kelahiran Amerika melawan imigran, dan
fanatisme kelompok agama melawan kelompok agama lain.

Analisis Terhadap Fanatisme
Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negri
maju, maupun di negeri terbelakang, pada kelompok intelektual maupun
pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada masyarakat
atheis. Pertanyaan yang muncul ialah apakah fanatisme itu merupakan
sifat bawaan manusia atau karena direkayasa ? Ada teori yang lebih
masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman hidup
secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa
kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam
dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian
dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang
selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang
sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam
oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya. Munculnya
kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari
terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi
dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Kita bisa
menelaah fenomena gerakan ektrim radikal pada masa orde baru dimana
kelompok yang ektrim selalu berasal dari kelompok yang terpinggirkan
atau merasa terancam, Jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari
perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, dan bahkan
mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian
rupa sehinga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan rasa takut
dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya perasaan itu
berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang
merasa terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela
diri dari ancaman, dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih
dahulu daripada diserang, maka orang itu menjadi agressip.
Perilaku fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan
menggunakan satu teori , karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak
faktor, . Munculnya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok
orang di suatu tempat atau di suatu masa. boleh jadi (a) merupakan
akibat lagis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi (b)
merupakan perwujudan dari motiv pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan
indifidu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.

Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara
penyembuhannya juga berbeda-beda.Perilaku fanatik yang disebabkan
oleh masalah ketimpangan ekonomi, pengobatannya harus menyentuh
masalah ekonomi, dan perilaku fanatik yang disebabkan oleh perasaan
tertekan , terpojok dan terancam, maka pengobatannya juga dengan
menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan itu. Pada akhirnya,
pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi tuntutan
rasa keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap
fanatik pada mereka yang selama ini merasa teraniaya dan
terancam.Menekan dengan kekerasan terhadap aspiran pejuang
kebebabasan akan membuat pandangannya semakin keras, dan semakin
tidak mengenal konpromi, dan ujungnya bisa menjadi teroris beneran.

Biaya memahami perilaku orang-orang yang dianggap berbahaya itu
lebih murah dibanding biaya menumpas mereka dengan keras, apalagi
jika berbasis teori psikologi yang tidak tepat. Nah Psikologi yang
tepat untuk memahami fenomena "terorisme" di Indonesia adalah
Islamic Indigenous Psychology, yang Insya Allah akan menjadi mazhab
ke lima dalam sejarah ilmu Psikologi.

Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com










------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Check out the new improvements in Yahoo! Groups email.
http://us.click.yahoo.com/6pRQfA/fOaOAA/yQLSAA/BRUplB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke