Eksekusi Tibo Cs: Legal Justice vs Social Justice
            Oleh Ronald Lumbun 


            Rabu, 16 Agustus 2006
            Salah satu fenomena hukum yang kembali mengemuka belakangan ini di 
pelbagai media massa, baik cetak maupun elektronik, adalah kontroversi antara 
vonis mati Mahkamah Agung RI yang telah berkekuatan hukum tetap. Vonis tersebut 
"berhadapan" dengan desakan sebagian besar masyarakat yang menuntut agar 
dibatalkannya eksekusi terhadap para terpidana mati kasus kerusuhan Poso tahun 
2000, yakni: Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva (selanjutnya 
disebut Tibo Cs). 

            Mencermati kasus Tibo Cs, penulis ingat pada salah satu kisah yang 
terdapat di Injil, di mana masyarakat Yahudi ketika itu menuntut agar Nabi Isa 
segera disalibkan meskipun secara formal legal justice sama sekali tidak 
ditemukan dasar yang membenarkan diri-Nya dihukum sedemikian berat. Namun, 
karena tuntutan social justice saat itu menghendakinya, maka penguasa Pontius 
Pilatus memutuskan untuk menjatuhkan hukuman salib terhadap Nabi Isa yang 
sampai hari ini dikenang oleh umat Kristiani di seluruh dunia. Pendapat ini 
disampaikan tentunya tidak sama sekali bermaksud menyamakan kedudukan Tibo Cs 
dengan Nabi Isa yang sangat mulia itu. 

            Pidana mati di Indonesia memang merupakan suatu hal yang fenomenal 
dan selalu akan menimbulkan pro-kontra dalam masyarakat. Umumnya kedua kelompok 
tersebut mendasarkan pandangannya masing-masing pada eksistensi lembaga pidana 
mati yang secara expressis verbis memang masih diakui sebagai salah satu jenis 
pidana pokok hukum positif, di satu pihak. Pihak lain mengatakan, Pasal 28 A 
dan J Amandemen Kedua UUD 1945 menjamin hak hidup setiap orang serta hak 
mempertahankan hidup dan kehidupannya. 

            Pada dasarnya secara normatif suatu putusan pengadilan memiliki 
kekuatan eksekutorial, kecuali dibatalkan oleh putusan pengadilan yang lebih 
tinggi tingkatannya, sesuai dengan asas res judicata pro veri tate habetur. 
Sementara dalam hal Tibo Cs, seluruh rangkaian ikhtiar hukum, mulai banding, 
Kasasi dan peninjauan kembali, serta permohonan grasi kepada Presiden telah 
dilakukan dan tetap pada kesimpulan bahwa Tibo Cs telah dianggap bersalah 
melakukan serangkaian tindakan kekerasan di Poso, akhir Mei 2000. 

            Berdasarkan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 
Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) jo. Pasal 66 ayat (1) 
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung (UUMA), permohonan 
peninjauan kembali atas suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap hanya 
dapat dilakukan 1 (satu) kali saja. Dalam hal ini Tibo Cs. telah mengajukan 
permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung RI tanggal 16 September 
2002 dengan amar putusan menolak permohonannya melalui putusan Mahkamah Agung 
tanggal 31 Maret 2004. Dengan demikian tidak ada lagi kesempatan bagi Tibo Cs 
untuk melakukan upaya hukum mengingat kedua ketentuan yang terdapat KUHAP dan 
UUMA untuk melakukan permohonan peninjauan kembali sebanyak 1 (satu) kali saja. 

            Selanjutnya, ketentuan pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 
Tahun 2002 tentang Grasi juga telah menentukan bahwa suatu pemohonan grasi 
hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Dalam hal ini pula Presiden telah menolak 
permohonan grasi yang diajukan oleh Tibo Cs dan tetap berkesimpulan bahwa 
mereka bersalah melakukan serangkaian tindak kekerasan dalam kerusuhan di Poso. 
Oleh karenanya, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka secara formal 
legal justice tidak ada lagi alasan bagi kejaksaan sebagai eksekutor suatu 
putusan pidana untuk menunda eksekusi pidana mati terhadap diri Tibo Cs. 

            Namun demikian, penulis telah mencermati pula melalui pelbagai 
media massa, baik cetak maupun elektronik, bahwa pada kenyataannya di samping 
formal legal justice yang merupakan "legalitas" bagi kejaksaan untuk 
mengeksekusi Tibo Cs, juga masih terdapat resistensi yang demikian besar dari 
berbagai elemen masyarakat terhadap dilaksanakannya eksekusi pidana mati 
tersebut. Salah satunya adalah Forum Solidaritas Kemanusiaan dan Keadilan 
Indonesia (FSK2I). Lembaga tersebut menyatakan sikap menolak dengan tegas 
eksekusi terhadap Tibo Cs dan menuntut agar kejaksaan mengindahkan norma-norma 
social justice serta fakta-fakta hukum baru yang diajukan oleh Tibo Cs. (Harian 
Suara Karya, tanggal 8 April 2006) guna mencari actur intelectualitis yang 
sesungguhnya terlibat dalam kerusuhan yang bernuansa SARA bulan Mei tahun 2000 
tersebut. Keyakinan masyarakat yang ada selama ini adalah bahwa Tibo Cs. 
hanyalah merupakan actur fisicus dalam kasus Poso yang belum dapat mengungkap 
keadaan dari kasus Poso yang sebenarnya. 

            Prof. Mochtar Kusumaatmadja berpendapat bahwa "Hukum yang baik 
adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.." 
Sementara Friedrich Carel Von Savigny berpendapat "Hukum tidaklah dibuat 
melainkan ada dan tumbuh bersama rakyat". Maka seluruh produk hukum yang ada 
maupun yang akan dibentuk di masa mendatang seharusnya tidak boleh bertentangan 
dengan jiwa, pandangan dan sikap bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 
1945. 

            Sebagaimana telah disampaikan di atas bahwa walaupun secara formal 
legal justice pemerintah, dalam hal ini kejaksaan, berwenang untuk melakukan 
eksekusi pidana mati terhadap Tibo Cs yang dianggap telah bersalah melakukan 
dalam kerusuhan Poso beberapa tahun yang lalu, namun pada kenyataannya masih 
terdapat pula tuntutan sebagian besar masyarakat (social justice) agar 
kejaksaan tidak melakukannya. 

            Dengan demikian, seharusnya pemerintah mempertimbangkan dengan 
sungguh-sungguh kehendak masyarakat yang menolak eksekusi pidana mati terhadap 
Tibo Cs. Atau, barang kali para pemimpin di negeri ini masih harus banyak 
belajar tentang rasa keadilan masyarakat (social justice) yang hakiki pada 
Pontius Pilatus.*** 

            Penulis adalah calon hakim pada Pengadilan Negeri Bogor.  
     
           
            Copy Right ©2000 Suara Karya Online
            Powered by Hanoman-i 
     


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to