SURAT JEMBATAN SEMBILAN:

2.


SEHARI DI NEGERI  BELANDA



Barangkali sudah ada 10 tahun aku tak mengunjungi Negeri Belanda walau pun 
jarak antara Paris-Amsterdam hanya 4 jam perjalanan kereta-api. Berbeda halnya 
dengan keadaan pada masa Soeharto masih berada di kursi kepresidenan. Saat itu, 
aku sebentar-sebentar ke Belanda dan saban akan kembali ke Paris, aku selalu 
saja menginap di apartemen Tossi yang terletak tidak jauh dari Central Stasiun. 
Kali ini Tossi jugalah yang berhasil mendorongku kembali mengunjungi Negeri 
Belanda. Walau pun hanya sehari. 


Sambil  turun dari kereta, aku memperhatikan orang-orang yang lalulalang dengan 
bergegas seakan mengejar sesuatu. [Dari cara jalan ini, aku melihat adanya 
dinamika, elan hidup dan kemampuan menghargai waktu pada orang di Eropa Barat. 
Koper seberat apa pun mereka, digeret sendiri oleh para perempuan, tanpa 
pembantu. Tanda dari semangat kemandirian. Cara jalan adalah suatu ungkapan 
situasi intern kejiwaan. Aku mengkhawatirkan, apakah semangat dan ide 
"ndoroisme" bukannnya masih mendominasi pola pikir dan jiwa kita. Tas kantor 
saja harus dibawa oleh pembantu. Menyuguhkan teh atau kopi dan sebagainya 
kepada tamu, sang pembantu harus berjongkok-jongkok serta ndlosor.  Bangsa ini 
memang sedang sakit! Apakah sastrawan dan seniman kita bebas dari penyakit 
ini?].  Masih seperti dahulu juga. Kecuali model pakaian para perempuan, entah 
muda atau tua. Apalagi sekarang sedang musim panas. Sejak beberapa musim, 
seperti halnya di Paris, para perempuan mengenakan celana yang berada di bawah 
pusat, mengenakan T-shirt pendek sehingga pusat dan warna kulit mereka nampak 
jelas. Bahkan lebih dari itu. Dengan model pakaian begini, orang-orang akan 
melihat jelas warna celana dalam yang dikenakan. Seakan-akan sengaja mau 
mempertontonkan celana dalam mereka.  Karena itu sementara SMP-SMA Perancis 
mengeluarkan kebijakan-kebijakan sekolah yang membatasi para siswi mengenakan 
pakaian model begini di sekolah. Sebab konsentrasi para siswa  di ruang kelas 
jadi buyar. Aku sendiri tidak mengindahkan model pakaian yang dikenakan oleh 
siapa pun, apalagi mau berpakaian model apa pun kukira merupakan bagian dari 
hak pribadi masing-masing. Yang lebih ingin kupahami melihat model-model 
pakaian dan cara berpakaian orang, terutama dasar pikiran yang berada di benak 
si pemakai. Barangkali mereka memang bangga dengan tubuh mereka, barangkali 
menganggap bahwa tubuh ini adalah tubuhku dan aku berhak membalut tubuh milikku 
dengan cara apa saja. Barangkali juga terselip suatu protes terhadap ini  dan 
itu. Bahkan terselip juga suatu hakekat pikiran pada si pemakai tentang 
hubungan antara individu dan masyarakat. Yang jelas, melalui  berobahnya mode 
dari musim ke musim, terutama di Paris, aku melihat adanya dinamika nilai dan 
kreativitas perancang busana yang mengalir tanpa henti berdasarkan suatu konsep 
artistik tertentu. Melalui  perkembangan mode dari saat ke saat,  ketika model 
pakaian yang dilemparkan ke masyarakat, aku melihat pengaruh langsung  
seniman-seniman perancang busana terhadap masyarakat. Secara tidak sadar, 
melalui mode kreasi busana, masyarakat ditawarkan dengan kuat  oleh produsen 
busana itu suatu nilai tertentu. Sementara kita terperangah oleh kehadiran 
nilai yang terselip di balik model busana mutakhir, dan kita tak sempat 
merenungkannya, nilai tawaran baru itu, merembet diam-diam seperti tumbuh 
menjalarnya batang kacangpanjang melilit tubuh jiwa kita, terutama angkatan 
muda.  


Sepintas mengamati etalase-etalase toko pakaian  di Negeri Belanda, negeri yang 
mengesankan aku akan warna hijau tanaman dan biru air kanal,  dalam soal seni 
busana, barangkali Negeri Belanda tidak berada  di atas Paris. 


Hal baru lain yang lebih berkembang di Stasiun Central adalah jumlah copet yang 
meningkat. Cara mencopet mereka pun lebih maju dan halus. Atau paling tidak, 
belum pernah kusaksikan cara mencopet yang kasar seperti yang  sering 
kusaksikan di metro-metro Paris. Metro Paris merupakan salah satu tempat 
beroperasi para pencocet, lebih-lebih di musim turis. Beberapa orang anak muda 
mengepung sasaran sambil menodong pisau ke tubuh sasaran.  Ketika si sasaran 
merasa ada benda tajam menekan tubuhnya, si sasaran nampak secara sukarela 
menyerahkan dompetnya kepada anak muda yang memegang pisau itu. 


Suatu malam sepulang dari kerja. Sekitar jam 24:00. Aku turun dari metro dan 
menuju pintu keluar. Tiba-tiba baru kusadari bahwa aku dikuntit dari belakang 
oleh lima orang anak muda. Sampai di tangga, empat anak muda menerkamku. Kaki 
dan tanganku  dipegang kuat. Mulutku mereka tutup dengan tangan. Sementara 
salah seorang dari mereka, berdiri di luar, berjaga, kalau-kalau ada polisi 
datang. Mereka merogoh kantongku. Tentu saja untuk mencari uang tunai. Selain 
memang tidak punya uang, aku juga sudah lama membiasakan diri hanya mengantongi 
uang seperluku saja. Sekedar untuk membeli koran atau majalah yang merupakan 
keperluan hari-hariku. Ketika mereka hanya mendapatkan potongan-potongan kertas 
alamat teman-teman yang belum sempat kupindahkan ke buku alamat tetap, para 
penyergap tengah malamku, nampak kecewa besar. 


Setelah para penyergap tengah malamku berlalu dengan lari memencar, suatu 
tekhnik gerilya untuk memencarkan pusat perhatian pengejar, terutama polisi, 
aku hanya mengatakan pada diri sendiri: "Sialan!". Tak ada rasa marah atau 
benci pada para penyergap tengahmalamku yang kupandang sebagai produk keadaan 
sosial  negeri dengan tingkat pengangguran berkisar sekitar 10-11 persen. Copet 
jenis ini hanyalah suatu kriminalitas kecil dibandingkan dengan copet yang 
dilakukan oleh pemegang kekuasaan berbagai bidang tapi sering lolos atau 
dibiarkan lolos dari kejaran hukum. Aku juga melihat para penyergap tengah 
malamku sebagai bagian dari generasi produk sejarah kolonialisasi Perancis. 
Celakanya politisi dan pakar-pakar penasehat para politisi kanan Perancis 
sempat mencoba memasukkan sebagai kalimat UU bahwa "kolonialisme itu berjasa". 
Tentu saja pandangan ini ditentang keras oleh kelompok-kelompok kiri, 
orang-orang Perancis di Outre-Mer dan negeri-negeri Afrika bekas jajahan 
Perancis. 


Berada kembali di Central Stasiun Amsterdam, ditemani oleh segala bayangan dan 
kenangan masa silam, yang menghadirkan rupa-rupa peristiwa dan deretan nama, 
copet brutal dan primer seperti kukatakan di atas, belum pernah kualami. 
Sementara kapal-kapal dan perahu bertebaran, menyeret kenanganku akan Katingan 
sungai pengasuh. Sebagai anak sungai, tamasya ini, termasuk yang paling kusukai 
pada Amsterdam. Amsterdam yang disenandungkan oleh alm. Jacques Brel, penyanyi 
Belgia- Francophone. Kapal dan kanal membangkitkan rindu padaku sebagai anak 
sungai dan laut. Warna hijau yang masuk ke ruang-ruang apartemen penduduk 
mengingatkan aku akan hutan pulau rayaku. Tapi kemudian menjelma bagai sayatan 
pisau jika mengenang kerusakannya dan keadaanku yang terpental jadi pengembara 
kehilangan formalitas menjadi Indonesia.


Berdiri sejenak memandang kanal-kanal dari terali jembatan, aku terkenang akan  
penulis perempuan [Djayapoespita?!]  yang menulis dalam bahasa Belanda "Antara 
Bumi Dan Langit". Pada zaman karya ini ditulis, kubaca, generasi orangtuaku 
jauh lebih mengenal nama-nama kanal Negeri Belanda daripada mengenal  
sungai-sungai tanahair.  Kita menjadi lebih Belanda dari Belanda. Lebih 
mengenal Belanda daripada mengenal Indonesia. Apakah keadaan seabad lalu itu 
sudah tidak menimpa kita pada hari ini? Benarkah kita sudah menjadi anak  
manusia merdeka secara pikiran dan mentalitas? Jika masih berpola pikir dan 
bermentalitas budak, maka di sinilah  terletak kebesaran  perempuan ini sebagai 
sastrawan dalam menangkap serta mengungkapkan persoalan dan makna zaman, hal 
yang agaknya dicoba oleh May Swan dari Singapura dalam karya-karyanya. Juga 
barangkali di sinilah arti penting keinginan Soekarno tentang "national 
character building" [pembinaan watak bangsa], berkepribadian di bidang 
kebudayaan" sebagai pengejawantahan nilai-nilai republiken dan berkindonesiaan, 
tanpa memerosotkan diri pada enthosentrisme, permurnian etnik dan nasionalisme 
sempit yang berbahaya dan anti kemanusiaan. 


"Tossi," ujarku pada diri sendiri seakan Tossi, sobat lamaku yang jatuh-bangun 
bersama, ada di depanku. "Dalam siaran hidup Radio Hilversum besok [17 Agustus 
2006], jika ada kesempatan dan akan kuciptakan  kesempatan  untuk membawa 
pertanyaan ini". "Menciptakan kesempatan" adalah suatu teori perobahan 
masyarakat yang digunakan oleh pemimpin-pemimpin angkatan Ho Chi Minh. 
"Menciptakan kesempatan", menggarisbawahi arti penting berprakarsa, aktif, 
menolak kepasifan. Memberi huruf miring [cursif] pada aksi dan bukan pada 
reaksi. Pada kreativitas dan mengenal lapangan atau keadaan.  Teori ini juga 
bermakna keberanian dan kepandaian  dalam berjuang dan menang di kancah 
pertarungan "total resistance" [perlawanan total], jika menggunakan istilah 
Truong Chinh,  pemikir Viêt Nam tahun 40-an. "Total resistance" karena 
penindasan dan penghisapan juga bersifat total. Ketidakadilan dan 
ketidakmanusiawian juga bersifat "total".  "Total resistance" berujung pada 
memanusiawikan manusia seperti juga yang dikehendaki oleh Tuhan. "Tuhan 
menginginkan manusia itu bebas" [Dieu veut que l'homme soit libre"] , ujar 
teolog Katolik Perancis, Joseph Moingt [Lihat: Harian La Croix , Paris, 14-15 
Agustus 2006].


Central Stasiun dan kanal-kanal Amsterdam mengapungkan kembali soal-soal ini di 
angkasa dan di laut perjalanan pinisi  renunganku yang liar dan  tak berujung 
di bawah himbauan matahari dan bulan  kenangan serta bayangan kampunghalaman 
tak terganti. 


Paris-Amsterdam, Agustus 2006
--------------------------------------------
JJ. Kusni


[Bersambung...]

[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Reply via email to