http://www.indomedia.com/poskup/2006/09/08/edisi08/opini.htm
Mahasiswa dan diskursus intelektual (Catatan kritis atas aksi 'segel kampus' oleh sejumlah mahasiswa di Unwira) Oleh Willy Gaut * ABSURDITAS intelektual. Demikian term yang dipakai oleh Yasraf Amir Piliang ketika mengungkapkan penyesalannya atas keterlibatan kaum intelektual dalam dunia yang 'tidak akademis'. Yasraf Amir Piliang ketika itu mengomentari keterlibatan W Kuzumah dan Nazaruddin Sjamsudin dalam kasus tuduhan korupsi di tubuh KPU tahun 2005 yang silam. Kaum intelektual seyogianya adalah penyokong nilai-nilai cinta kebijaksanaan, kearifan, kebenaran, kejujuran dan keterpercayaan serta obyektivitas. Dunia akademis dan intelektual secara semantik mempunyai konotasi sebagai sebuah ruang di dalamnya berkembang nilai-nilai kehidupan seperti yang disebutkan di atas. Kaum akademikus dan intelektual seharusnya adalah golongan yang imun terhadap hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang ada secara inheren dalam dunianya. Hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dianutnya merupakan sesuatu yang ironis dan absurd. Sedianya, kaum intelektual adalah orang-orang yang peka terhadap berbagai penyimpangan terhadap nilai-nilai yang dianutnya. Ia tidak boleh bersikap apatis, apalagi berkonspirasi dalam suatu sistem yang 'tidak akademis'. Istilah absurditas intelektual pantas dikenakan pada setiap kaum intelektual, termasuk di dalamnya para mahasiswa yang bertindak atas cara-cara yang 'tidak akademis'. Hal ini mengacu pada semua sikap dan tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai cinta kebijaksanaan, kearifan, kebenaran, kejujuran dan keterpercayaan serta obyektivitas. Dalam setiap kiprah perjuangan, apa pun bentuk dan tujuannya, kaum intelektual tetap berpegang teguh pada nilai-nilai tersebut. Justru nilai-nilai inilah yang mencirikan intelektualitas dan kecendikiawanannya. Sebagai konsekuensinya, apa pun bentuk dan tujuan perjuangan, semuanya harus diwujudnyatakan dalam tindakan yang arif dan bijaksana. Sampai pada titik tertentu, kaum intelektual justru harus menjadi penyanggah yang tangguh serta penyebar luas nilai-nilai yang menjadi ciri khas dunianya. Kehadiran kaum intelektual dalam masyarakat amat dibutuhkan. Sejarah bangsa ini mencatat kegemilangan kiprah kaum intelektual. Tak dapat disangkal bahwa kaum intelektual yang kala itu diwakili oleh para mahasiswa adalah pelopor reformasi Indonesia. Mereka telah menjadi pahlawan yang dengan moral force-nya berani meruntuhkan rezim Orde Baru yang lalim, otoriter dan represif. Sambil berdiri kokoh di atas nilai-nilai kebenaran, keadilan dan solidaritas sosial, mereka terus-menerus berjuang tanpa kenal menyerah. Berkat usaha keras mereka, seluruh bangsa ini boleh mengalami suatu pengalihan darikultur kehidupan yang represif-otoriter menuju kultur yang ditandai oleh kehidupan dalam alam kebebasan penuh keadilan. Mereka telah berhasil membawa serta sekaligus merealisasikan sejumput harapan masyarakat yang telah lama mendambakan suatu perubahan berciri pembebasan. Kaum intelektual adalah agen perubahan. Berkat kepekaan intelektualnya, ia menangkap berbagai ketimpangan yang terjadi. Lebih dari itu, ia pun harus turut melibatkan diri dalam perjuangan melawan berbagai ketimpangan tersebut. Kapasitas intelektual memacunya untuk berpikir kritis sambil terus mencari alternatif agar dapat bebas dari kemelut yang menindas. Keterlibatan kaum intelektual juga menjadi sebentuk sumbangannya bagi masyarakat. Dengannya mereka secara tak langsung mengajarkan masyarakat bahwa ekses-ekses destruktif, termasuk di dalamnya semua hal yang bertentangan dengan nilai-nilai umum yang dianut masyarakat harus ditentang. Adam dan Jesicca Kuper menulis, "kaum intelektual adalah mereka yang terlibat dalam usaha pengembangan dan perluasan pengetahuan serta mengartikulasikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (2000: 505). Kaum intelektual adalah suri-teladan bagi masyarakat dalam penghayatan nilai-nilai universal kehidupan. Meskipun demikian, dalam usaha melawan berbagai ketimpangan yang terjadi, ia tidak boleh bertindak atas prinsip menghalalkan segala cara. Ia bertindak dalam koridor kapasitasnya sebagai kaum intelektual. Nilai-nilai yang ada secara inheren dan menjadi bagian dari jati dirinya tidak boleh diabaikan. Apa pun sasaran yang hendak dicapai, setiap perjuangan harus direalisasikan dalam bentuk tindakan yang arif dan bijaksana, dua hal yang menjadi ciri khas sikap dan tindakan seorang akademikus dan intelektual. Dalam kerangka diskursus tindakan berciri 'akademik' seorang intelektual, aksi segel kampus Unwira-Kupang oleh sejumlah mahasiswa dari berbagai fakultas di universitas tersebut patut disimak. Tentu saja, kita patut mengacungkan jempol kepada sejumlah mahasiswa yang bermodalkan keberanian dan kepekaan intelektualnya menyuarakan hal-hal yang pada dasarnya menyimpang dari koridor kultur akademik. Pantas dan pada tempatnya kalau para mahasiswa bereaksi, jika benar bahwa orang yang patut diteladani dalam dunia pendidikan tinggi tersebut membentuk suatu konspirasi, bersikap arogan dan otoriter (Pos Kupang 5/9). Di tengah dunia yang diwarnai oleh berbagai kebobrokan dan ketimpangan, usaha-usaha untuk menegakkan nilai-nilai universal yang benar sudah menjadi hal yang biasa. Yang akan dianggap luar biasa hanyalah cara, bagaimana nilai-nilai universal itu ditegakkan. Konspirasi, sikap arogan dan otoriter tentu hal yang harus ditentang karena tidak pantas ada dalam dunia pendidikan, sebuah kultur akademik dan gudang intelektual. Hal-hal ini dinilai menyimpang dari jati diri dunia pendidikan, tempat bersemayam benih-benih demokrasi. Konspirasi, sikap arogan dan otoriter termasuk dalam kategori hal-hal yang 'kontra-akademik'.Karenanya harus ditentang. Namun, kegigihan para mahasiswa memperjuangkan hal-hal yang kontra-akademik (baca: tidak akademik) itu tidak seharusnya memaksa mereka untuk memutlakkan segala cara. Hal-hal yang dinilai tidak akademik itu harus disuarakan dan diperjuangkan dengan cara-cara yang berciri akademik. Sebagai bagian dari kaum intelektual, para mahasiswa hendaknya tetap menjunjung tinggi nilai-nilai konstitutif atas jati diri intelektualnya seperti cinta kebijaksanaan, kearifan, kebenaran, kejujuran dan keterpercayaan serta obyektivitas. Begitu pula, ketika harus berjuang menentang sikap dan tindakan yang tidak akademik, para mahasiswa hendaknya tetap bersikap arif dan bijaksana, selayaknya seorang intelektual sejati. Menentang hal-hal yang tidak akademik, tidak serentak menjerumuskan seorang intelektual pada jebakan cara-cara yang tidak berciri akademik. Aksi segel kampus tentu bukan suatu tindakan yang arif dan bijaksana, dua sikap kunci yang termasuk dalam sederetan hal yang harus ada secara inheren dalam dunia dan diri seorang intelektual. Para mahasiswa, sebagai bagian dari kaum intelektual harus menunjukkan kekhasannya sebagai pencinta dan penyanggah nilai-nilai cinta kebijaksanaan, kearifan, kebenaran, kejujuran dan keterpercayaan serta obyektivitas juga dalam soal-soal serupa ini. Dalam konteks kultur akademik, aksi penyegelan kampus bukanlah satu-satunya cara yang dapat dan harus dilakukan mahasiswa. Aksi penyegelan kampus hanya mau menegaskan bahwa ternyata perjuangan menentang hal-hal yang tidak akademik itu justru dilakukan dengan cara-cara yang tidak akademik pula. Aksi-aksi serupa ini hanya memicu munculnya pertanyaan, sungguhkah tindakan seperti ini berlandaskan pada pemikiran yang rasional seorang intelektual? Tentu saja masih terdapat alternatif lain yang (lebih) berciri akademik. Dalam dunia pendidikan, dialog mendapat tempat yang strategis. Bahkan dialog pun dipakai sebagai sebuah metode dalam dunia pendidikan. Karenanya dialog begitu akrab bahkan merupakan nilai yang membentuk kultur intelektual. Dialog menjadi wadah yang menjembatani dua pihak, sikap, pendapat dan pendirian yang saling berpunggungan. Seorang intelektual dapat menggunakan metode dialog ketika ia gigih berjuang dan menyuarakan berbagai ketimpangan yang bertentangan dengan kultur intelektual. Artinya, usaha memperjuangkan dan menentang hal-hal yang tidak akademik tidak perlu harus dengan cara-cara yang arkais, tetapi melalui dialog dengan pihak-pihak yang menjadi pelaku hal-hal yang tidak akademik itu. Saatrnya bagi kita untuk mempertajam dialog, baik sebagai sebuah metode pendidikan maupun sebagai alternatif dalam menyelesaikan soal-soal yang merambah dunai intelektual. Sambil terus mengacungkan jempol kepada para mahasiswa yang berani menyuarakan segala ekses destruktif yang bertentangan dengan jati diriintelektual-akademis, kita terus berharap agar perjuangan tersebut dimanifestasikan dalam cara-cara yang juga berciri intelektual-akademis. Penyegelan kampus tentu bukan cara yang dianjurkan. Aksi seperti ini hanya akan menimbulkan banyak kerugian serta memicu munculnya persoalan-persoaan baru. Persoalan-persoalan baru yang ditimbulkannya tentu saja sulit diselesaikan dengan cara-cara yang akademik. Hal seperti ini hanya akan memicu intervensi pihak lain yang bukan 'orang dalam' kultur akademik itu sendiri. Sementara itu, penyelesaian melalui sebuah dialog tampaknya jauh lebih sederhana, tidak terlalu berpeluang menimbulkan persoalan-persoalan baru yang pada gilirannya memperumit soal lama sebab menuntut intervensi banyak pihak. Dalam usaha menentang berbagai ekses destruktif yang merusak kehidupan bersama, tentu para mahasiswa perlu menunjukkan keunikannya. Bahwa cara dan bentuk perjuangan menentang ekses-ekses destruktif yang dilakukannya mahasiswa pasti berbeda dengan cara dan teknik pendekatan kalangan lain (non-intelektual) dalam perjuangan serupa. Dengannya, mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual dan agen transformasi humanisasi masyarakat mampu memberi contoh yang baik kepada masyarakat umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh JF Lyotard dalam bukunya Political Writings (1993) bahwa kaum intelektual kini menjadi semacam fashion, yaitu kelompok yang mempunyai identitas khusus yang membedakan mereka dari kelompok masyarakat lain. Perbedaan itu terletak pada modal intelektual yang mereka miliki sehingga masyarakat mempunyai ekspektasi tertentu dari mereka, khususnya kemampuan mereka dalam memisahkan benar-salah, rasional-irasional, asli-palsu, moral-amoral. Menentang hal-hal yang tidak akademik dalam kultur akademik dengan cara-cara yang juga tidak akademik hanya merupakan sebuah jebakan yang menjerumuskan mahasiswa sebagai bagian dari kaum intelektual ke dalam jurang 'absurditas' intelektual serta sebentuk pengkhianatan terhadap the power of intelectual. * Penulis, mahasiswa STFK Ledalero, anggota KMK (Kelompok Menulis di Koran) Seminari Tinggi Ledalero [Non-text portions of this message have been removed] *************************************************************************** Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. http://groups.yahoo.com/group/ppiindia *************************************************************************** __________________________________________________________________________ Mohon Perhatian: 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik) 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari. 3. Reading only, http://dear.to/ppi 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED] 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED] 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED] Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/ <*> Your email settings: Individual Email | Traditional <*> To change settings online go to: http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join (Yahoo! ID required) <*> To change settings via email: mailto:[EMAIL PROTECTED] mailto:[EMAIL PROTECTED] <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/