Ironi .... Kok nggak ada yang protes ya? DPR kok nggak protes atau
jangan-jangan karena kecipratan kali ya?
DG


On 10/11/06, Satrio Arismunandar <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> (dari milis Jurnalisme)
>
> "Di Kabupaten Ciamis, misalnya, anggaran 2004 untuk
> penanganan gizi
> buruk hanya Rp 10 juta, sementara jamuan makan
> pemerintah Rp 4 miliar
> lebih," kata Dati.
>
> Di Kota Yogyakarta, anggaran 2004 untuk pemberdayaan
> perempuan hanya
> Rp 40,616 juta, sementara anggaran dana purnatugas
> DPRD Rp 98 juta per
> orang. Di Kabupaten Subang, bantuan ibu hamil risiko
> tinggi keluarga
> miskin 2004 hanya Rp 10 juta, sementara anggaran
> perjalanan dinas DPRD
> Rp 2,3 miliar.
>
> Di Kulon Progo, anggaran untuk posyandu anak balita
> 2004 hanya Rp 4
> juta, sementara anggaran pembangunan dermaga Rp 135
> miliar. Di
> Provinsi Yogyakarta tahun 2001, anggaran pemberdayaan
> perempuan Rp 0,
> sementara anggaran belanja DPRD Rp 9,7 miliar.
>
> http://www.kompas. com/
>
> Terlalu Sakit Hati Menjadi Orang Miskin
> Mahalnya Sehat ...
>
> Orang-orang di kolong jembatan tol paham betul bahwa
> sehat itu
> benar-benar mahal. Karena itu, Sudarto mencanangkan
> orang miskin di
> kolong jembatan tol dilarang sakit karena kalau sakit
> persoalannya tak
> hanya ketiadaan uang, tetapi juga bisa merembet pada
> pertanyaan
> legalitas kependudukan mereka.
>
> Orang-orang terpinggirkan memang lebih rentan sakit,
> tetapi mereka
> punya persepsi lain soal sakit.
>
> Kami sempat datang ke pengobatan gratis di kampung,
> tetapi begitu
> petugas tahu kami orang kolong tol yang ilegal, kami
> ditolak dengan
> alasan obat-obatan habis. Sejak itu kami bertekad
> mengusahakan
> kesehatan kami sendiri," kata Sudarto, penghuni
> sekaligus pemimpin
> komunitas (community leader) warga kolong jembatan Tol
> Rawa Bebek,
> Penjaringan, Jakarta Utara.
>
> Kenangan Sudarto itu terjadi pada tahun 2002 ketika
> Jakarta banjir
> besar. Ongkos rumah sakit semakin mahal, sementara
> mereka tak
> mendapatkan kartu keluarga miskin karena tidak berhak
> mendapat kartu
> tanda penduduk.
>
> "Kami ini sudah tertutup dari kemungkinan mendapatkan
> fasilitas publik
> dari pemerintah, seperti posyandu dan puskesmas," kata
> Sudarto.
>
> Sejak tahun 2002, masyarakat membuat inisiatif
> mendirikan pengobatan
> alternatif. Dipilihlah akupuntur dan accupressure. Di
> bawah bendera
> Kelompok Pengembangan Pengobatan Alternatif (Kembang
> Pala), beberapa
> orang yang mau mendalami pengobatan alternatif
> berhimpun untuk
> memberikan pelayanan kepada komunitasnya.
>
> Inisiatif yang didukung Urban Poor Consortium (UPC)
> itu mendapat
> respons karena selama ini mereka tak dilayani
> fasilitas pemerintah.
> Pengobatan alternatif model China itu akhirnya menjadi
> media pemersatu
> warga bahwa mereka akan sehat walaupun dengan cara
> berbeda.
>
> Ditanya soal izin akupuntur, Sudarto mengatakan, dalam
> situasi seperti
> ini, tak perlu izin pemerintah karena yang penting
> izin kepada pasien.
> "Bagaimana kami mau minta izin praktik akupuntur kalau
> kami ini
> rata-rata tidak punya ijazah," kata Sudarto.
>
> Bagi Sudarto, pengalaman mengobati berbagai penyakit
> di lingkungan
> komunitas jauh lebih mahal dibandingkan dengan
> perizinan pemerintah.
> Hingga kini Sudarto bersama beberapa kader pengobatan
> alternatif dalam
> setahun bisa melayani ribuan pasien dari 41 kampung
> kaum miskin di
> kota Jakarta.
>
> "Kami punya kewajiban sosial menjaga kesehatan warga
> kolong tol sini
> serta kawan-kawan sesama kaum miskin kota," kata
> Sudarto. Pertemuan
> rutin ibu-ibu penghuni kolong tol membantu
> menginformasikan secara
> cepat jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit.
>
> Dengan dukungan UPC, berbagai pelatihan pengobatan
> alternatif terus
> digelar, tidak hanya dari kampung ke kampung
> konsentrasi kaum miskin
> di Jakarta, tetapi juga di berbagai provinsi. Ketika
> ditemui di
> rumahnya, di kolong jembatan Tol Rawa Bebek, Sudarto
> bangga
> menceritakan kiprahnya melatih kaum miskin kota di
> berbagai penjuru
> Nusantara.
>
> Setiap perwakilan yang dilatih biasanya akan menjadi
> pemimpin
> komunitas (community leader/CL) di kampungnya. "Di
> Yogya sudah ada 15
> CL, di Surabaya 15 CL, Kendari 17 CL, Palu 15 CL,
> Palembang 10 CL,
> Lampung 18 CL, Pontianak 12 CL, dan Aceh 30 CL," kata
> Sudarto
> mengingat-ingat orang-orang yang pernah dilatihnya.
>
> Koordinator Pengorganisasian Komunitas UPC
> Abdurrachman mengatakan,
> UPC saat ini memang sedang mengampanyekan hidup sehat
> dengan ikhtiar
> sendiri yang lebih murah. "Istilahnya pengobatan
> alternatif, ini
> menjadi pilihan kami karena murah, tidak membutuhkan
> alat, dan aman,"
> katanya.
>
> Kesehatan terpinggirkan
>
> Health and Human Rights Program Officer Uplift
> International, Evi
> Douren, yang memiliki program kampanye makanan sehat
> di pondok
> pesantren Jawa Barat, mengakui, hingga kini isu
> kesehatan masih
> terpinggirkan. "Hal itu terjadi karena isu kesehatan
> tidak seksi. Isu
> kesehatan baru menjadi seksi ketika menyangkut
> persoalan kuratif
> saja," katanya.
>
> Isu kesehatan baru menjadi seksi ketika ada yang
> mengatakan akan
> memberikan pengobatan gratis. Tetapi, kalau ada orang
> yang mau
> mendidik untuk tujuan jangka panjang bagaimana biar
> tidak gizi buruk,
> dianggap sepele.
>
> Kaum awam menganggap kesehatan selalu diasosiasikan
> dengan kedokteran.
> Padahal, itu hanya salah satu bagian dari kesehatan.
> Promosi
> kesehatan, preventif, kuratif, dan rehabilitatif
> menjadi satu
> kesatuan.
>
> Evi mengakui, di tingkat pemerintah maupun lembaga
> swadaya masyarakat,
> gerakan kesehatan belum begitu masif. Hambatan utama
> adalah pada cara
> pandang kesehatan yang masih dilihat banyak orang pada
> sisi kuratif
> saja.
>
> "Kita baru sadar ketika persoalan kesehatan itu
> menjadi kuratif dan
> memakan korban, seperti kasus gizi buruk," kata Evi.
> Namun, tetap saja
> kejadian-kejadian tersebut belum mampu menggerakkan
> solidaritas secara
> masif, tak seperti gerakan prodemokrasi dan hak asasi
> manusia,
> misalnya.
>
> Kesehatan semakin hari semakin jauh dirasakan warga.
> Warga harus
> berikhtiar dengan caranya sendiri untuk menggapai
> sehat. Memasuki
> otonomi daerah, kesehatan semakin menjadi isu
> pinggiran dibandingkan
> dengan proyek lain yang bisa mendatangkan uang.
>
> Simak penuturan peneliti dari Institute for
> Development and Economic
> Analysis, Dati Fatimah, yang meneliti soal alokasi
> anggaran daerah
> yang timpang. "Di Kabupaten Ciamis, misalnya, anggaran
> 2004 untuk
> penanganan gizi buruk hanya Rp 10 juta, sementara
> jamuan makan
> pemerintah Rp 4 miliar lebih," kata Dati.
>
> Di Kota Yogyakarta, anggaran 2004 untuk pemberdayaan
> perempuan hanya
> Rp 40,616 juta, sementara anggaran dana purnatugas
> DPRD Rp 98 juta per
> orang. Di Kabupaten Subang, bantuan ibu hamil risiko
> tinggi keluarga
> miskin 2004 hanya Rp 10 juta, sementara anggaran
> perjalanan dinas DPRD
> Rp 2,3 miliar.
>
> Di Kulon Progo, anggaran untuk posyandu anak balita
> 2004 hanya Rp 4
> juta, sementara anggaran pembangunan dermaga Rp 135
> miliar. Di
> Provinsi Yogyakarta tahun 2001, anggaran pemberdayaan
> perempuan Rp 0,
> sementara anggaran belanja DPRD Rp 9,7 miliar.
>
> "Semua itu terjadi karena anggaran dibuat tanpa
> partisipasi warga.
> Perempuan yang menjadi saka guru kesehatan keluarga
> sama sekali tak
> dianggap sebagai bagian penting dalam aspirasi
> penyusunan anggaran,"
> kata Dati.
>
> Padahal, warga desa bisa diajak mengkritisi anggaran.
> Mereka bisa
> marah ketika tahu APBD tak cukup menganggarkan
> kesehatan anak-anak
> mereka. Mereka bisa sakit hati setelah tahu pajak yang
> mereka setorkan
> hampir tak kembali. Memang hingga kini terlalu sakit
> hati bagi orang
> miskin ketika mengetahui isi APBD yang tak berpihak.
> ****
>
> Penulis: Amir Sodikin
>
>
> __________________________________________________
> Do You Yahoo!?
> Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around
> http://mail.yahoo.com
>
>
>
> ***************************************************************************
> Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia
> yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny.
> http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
>
> ***************************************************************************
> __________________________________________________________________________
> Mohon Perhatian:
>
> 1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
> 2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
> 3. Reading only, http://dear.to/ppi
> 4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
> 5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
> 6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
>
> Yahoo! Groups Links
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>


[Non-text portions of this message have been removed]



***************************************************************************
Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia yg 
Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
***************************************************************************
__________________________________________________________________________
Mohon Perhatian:

1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
3. Reading only, http://dear.to/ppi 
4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke