Dear all; Masalah utang luar negeri pemerintah kita tidak bisa diisolir sekedar urusan utang antara si peminjam dan pemberi utang belaka sebagaimana biasanya yang sehari-hari kita kenal itu. Ini ada kaitannya dengan Free Trade vs Fair Trade. Karena, IMF dan WB itu merupakan sarana terpenting dalam melancarkan jalannya model ekonomi Free Trade menjadi wacana dan praktik perdagangan dan ekonomi global.
Korea Selatan yang membangun ekonominya sejak tahun 50-an, dilanjutkan dengan tahun 60-an, 70-an dan 80-an menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang bagaikan mu'jizat membawa rakyatnya dari yang tertimpa kemiskinan akibat perang saudara menjadi masyakat yang tergolong makmur. Apkah kemajuan ekonominya pada rentetan dekade itu terjadi karena Korea Selatan menggunakan model Free Trade? Justeru sebaliknya, ketika kemudian pada dekade 90-an IMF & WB serta tekanan dari AS memaksa Korea Selatan menggunakan model Free Trade, memasuki kancah Ekonomi Global (baca: Kapitalisme Neo-Liberal) maka terjadi kehancuran ekonomi, padahal semua persyaratan dalam "structural ajustment" yang dibuat oleh IMF dan WB telah dilakukannya. Jadi, model apa yang dipakai oleh Korea Selatan sebelum dekade 90- an? "... through a state interventionist model, with goventment playing a managin trade, strong role in rirecting investment, and subsidizing chosing sectors of the economy. ..." (Kevin Danaher in "10 Reason to Abolish the IMF & World Bank') Demikian juga halnya dengan dongeng promosi yang diusung oleh WB bahwa suksesnya industrialisasi di negara-negara seperti Taiwan (dan Korea Selatan tadi) adalah buah dari model kebijakan Free Trade, jelas sekali omong kosong. Dongeng seperti itu juga diceritakan oleh WB tentang Malaysia, Singapura dan RRC. Yang benar adalah, kemajuan dalam hal pertumbhan ekonomi di negara-negara Asia itu diakibatkan oleh adanya "extensive state involvement in the economy." (Walden Bello dalam "Dragons in Distress: Asia's Miracle Economies in Crisis") Kalau mau mendapatkan informasi tentang sejumlah dongeng promosi semacam itu, silahkan baca "Myths of Free Trade"karya Sherrod Brown. Ada tujuh dongeng promosi yang ditelanjangi oleh Brown: (1) Americans believe in Free Trade, (2) Free Trade Agreement are necerssary to fight the war on terrorism, (3) Free Trade in an extension of American Values Abroad, (4) Free Trade leaves most people better off - in rich and poor nations alike, (5) Free Trade will bring democracy, human rights and freedom to autoriterian nations, (6) The North American Free Trade Agreement has been a success, (7) Free Trade is a great American tradition. Dengan bukunya itu, Brown bukan saja telah menelanjangi dongeng promosi WB itu, melainkan juga menelanjang hipokrisi pemerintah AS sendiri yang getol memaksakan model Free Trade (seperti yang telah dilakukan atas Korea Selatan, juga kepada pemeriontah kita sejak Suharto berkuasa). Anehnya, masih banyak pemerintah berbagai negara yang bergantung kepada utang luar negeri yang diglontorkan oleh WB dan karenanya harus menerima model Free Trade itu! Di bawah ini saya kutipkan dari Walhi, silahkan dibaca. Meskipun tulisan ini dimaksudkan membahasa yang terjadi di tahun 2004, tetapi tetap masih bisa memberikan gambaran bagaimana utang negara kita telah melilit dan membebani seluruh rakyat Indonesia. Ikra.- Dari: http://www.walhi.or.id/kampanye/globalisasi/antiutang/utang_beban_inf o_040604/ UTANG MEMBEBANI RAKYAT Pembayaran utang luar negeri pemerintah memakan porsi anggaran negara (APBN) yang terbesar dalam satu dekade terakhir. Jumlah pembayaran pokok dan bunga utang hampir dua kali lipat anggaran pembangunan, dan memakan lebih dari separuh penerimaan pajak. Pembayaran cicilan utang sudah mengambil porsi 52% dari total penerimaan pajak yang dibayarkan rakyat sebesar Rp 219,4 trilyun. Sementara, alokasi untuk pendidikan dan kesehatan selalu jauh lebih kecil dibanding pembayaran bunga utang dalam negeri. Rakyatlah pada kenyataanya yang menanggung beban utang tersebut. Setiap orang, miskin dan kaya, ikut membayar pajak. Karena pemerintah hanya mengandalkan penjadwalan ulang terus menerus, gambaran pahit di atas tampaknya akan terus dirasakan rakyat hingga beberapa tahun mendatang. Ketimpangan distribusi anggaran sosial dalam APBN akan terus dialami Indonesia hingga 15 tahun ke depan. Kesalahan manajemen utang pada masa sekarang membuat dua generasi bangsa Indonesia harus menanggungnya. Dengan beban rasio pembayaran cicilan utang (ratio debt service) yang tinggi, APBN tidak lagi optimal sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi. Bahkan, tingkat penyedotan dana yang besar dari masyarakat, baik melalui kenaikan pajak maupun pengurangan subsidi, justru ikut menekan (menghambat) potensi pertumbuhan ekonomi. Indonesia perlu waktu puluhan tahun untuk melunasi utang luar negeri pemerintahnya. Saat ini tingkat utang luar negeri sekitar US$ 67 milyar, atau kurang lebih Rp 600 trilyun. Kemampuan pemerintah membayar cicilan utang LN antara Rp 15-20 triliun per tahun. Dengan asumsi bawha pemerintah tidak wajib membayar bunga dan tidak menambah utang baru, diperlukan 30-40 tahun lagi agar seluruh utang tersebut lunas. (Wibowo, D.2003). Dengan beban pembayaran utang LN Pemerintah Indonesia yang demikian tinggi, maka penjadwalan ulang tidak akan menyelesaikan persoalan. Kenyataan ini menunjukkan perlunya solusi yang radikal dan baru dalam menyelesaikan persoalan beban utang luar negeri. Pengurangan jumlah utang (debt stock) merupakan pilihan satu-satunya. Penghapusan jumlah utang atau debt cancellation, sebagaimana yang didesakkan oleh kelompok organisasi masyarakat sipil di sejumlah negara, patut ditempuh Pemerintah. Komposisi Belanja Negara dalam APBN 2004 (Rp trilyun) Hal ini dilakukan melalui pengadilan internasional atau arbitrase internasional dengan latar belakang adanya "utang haram" (odious debt) pada setiap utang yang kini dibebankan pada rakyat. Utang yang dikorupsi dan merusak yang dibuat oleh rezim otoriter terdahulu dilakukan dengan sepengetahuan kreditor internasional. World Bank bahkan pernah menuliskan laporan (yang tidak dipublikasikan) bahwa sekitar 30 % pinjaman luar negeri dikorupsi oleh rezim Soeharto. Kreditor internasional juga menarik manfaat dari hubungan tak sedap ini. Dengan demikian, kreditor internasional haruslah dimintai pertanggung jawaban atas utang-utang tersebut dengan cara penghapusan utang. Pilihan ini harus ditempuh pemerintah. Bukan malah membebankan utang masa lalu tersebut seluruhnya kepada rakyat. [selesai] Untuk informasi lebih lanjut, dapat menghubungi: P. Raja Siregar Manajer Kampanye dan Pengkampanye Isu Air, Pangan dan Keberlanjutan Email P. Raja Siregar Telepon kantor: +62-(0)21-791 93 363 Mobile: Fax: +62-(0)21-794 1673