Gerakan Feminisme Kembali ke ‘Sunnatullah’?

Sabtu, 22 April 2006 - 15:16:42 WIB
Feminis Barat menggambarkan perubahan besar gerakan feminisme.Ujungnya
kesadaran bahwa perbedaan pria dan wanita memang bersifat biologis .
Dimanakah posisi feminisme Indonesia?

Artikel ini ditulisan untuk menyambut Hari Kartini 21 April 2006
oleh Santi Soekanto*

Salah satu ikon feminisme Barat, Gloria Steinem, menulis dalam majalah
kaum  feminis  terkemuka  Ms. (edisi musim panas 2003), sebuah artikel
yang bernostalgia tentang kehidupan manusia primitif Australia berabad
lalu.  Menurut Steinem kehidupan kaum primitif Australia itu ditandai
pembagian  kekuasaan yang seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan
antara  manusia  dengan  alam, karena semuanya adalah bagian dari satu
kesatuan yang sama.

Dalam artikel berjudul Remember Our Power (Ingatlah Kekuatan/Kekuasaan
Kita) itu Steinem menggambarkan harmoni ketika para kepala suku memang
dipilih  dari  kalangan  pria  tetapi dengan mendengarkan nasihat kaum
wanita. “Semua ini memiliki satu tujuan, keseimbangan, antara
pria dan wanita, antara  tiap manusia dengan masyarakatnya, antara
manusia dan alam – kalau pun memang semuanya itu dianggap
terpisah satu sama lain.”

Sungguh  kedengaran indah dan harmonis, bukan? Namun bandingkan dengan
artikel Steinem di majalah Ms. Oktober 1978 yang berjudul If Men Could
Menstruate  (Kalau  Saja  Lelaki  Bisa  Menstruasi)  yang penuh dengan
olok-olok  tentang betapa apa pun yang melekat pada diri pria akan
dijadikannya alasan untuk  menancapkan  supremasi  kekuasaan mereka.

Kalau  saja  lelaki  bisa  mens, menurut Steinem, maka akan terjadilah
male  competition tentang misalnya “Saya ganti pembalut 3 kali
sehari, Anda  berapa?”  “Berapa lama Anda mens? Wah,
banyakan juga saya!” atau bahkan  dijadikannya  mens sebagai
syarat untuk menjadi tentara (“Anda harus  meneteskan  darah 
diri  sendiri sebelum meneteskan darah orang lain!”).

Salah  satu  icon feminisme lainnya adalah Germaine Greer yang sekitar
30  tahun  lalu  menulis buku terkenal berjudul The Female Eunuch. Dia
berargumentasi  bahwa menjadi perempuan dan ibu rumah tangga saja
tidaklah cukup bagi wanita. Buku ini menjadi semacam kitab suci kaum
feminis. 

Pada tahun 1999 Greer menerbitkan buku barunya, The Whole Woman,  yang 
menggambarkan  perjalanan  melelahkan kaum feminis dalam upaya mereka
memperjuangkan kesetaraan gender.

Greer  menggambarkan  betapa  pada akhir 60-an, yang disebut kebebasan
seakan-akan  demikian  dekat  dan dapat dicapai. Pada tahun 1999, yang
mereka  saksikan  adalah  semakin  memudarnya cita-cita mereka –
bukan saja   karena   negara   dan   pemerintahan  dianggapnya  masih 
terus mempertahankan  pola  kekuasaan  lama,  tetapi  juga  tidak 
bertambah banyaknya perempuan yang mengadopsi konsep feminisme yang
pertama kali diusung  di  Barat  ini.  Selain  itu,  yang  terpenting, 
Greer masih menyoroti  apa  yang  dianggapnya  sebagai  dominasi pria,
tetapi juga tampak  mulai  menyadari  bahwa  ada hal-hal yang tak bisa
diubah dari spesies yang bernama manusia ini.

Greer  menggambarkan  betapa sesudah berpuluh tahun gerakan feminisme,
gadis-gadis kita masih dijajah oleh konsep “wanita cantik”
yang sama – miliaran  anak  perempuan  berdiet  keras  dan
menghabiskan uang untuk kosmetika  dan  fashion  agar  menjadi objek
seks dan kegairahan pria. Bahkan,  menurut Greer, “kebebasan seks
yang menyertai revolusi gender malahan  lebih  sering  merugikan
wanita.” Apa yang disebut “kebebasan seks”  hanya 
menguntungkan pria, kata Greer, karena wanita terus saja harus 
merasakan  efek  terpentingnya yakni kehamilan, sementara tubuh
laki-laki sama sekali tidak terpengaruh.

Satu  lagi  area  yang  menggambarkan  betapa feminisme berpuluh tahun
tidak  berefek  baik  pada  wanita  adalah pornografi. Greer menyoroti
betapa  sesudah  feminisme  yang  berusaha  menjadikan  wanita sebagai
subjek,  industri  pornografi yang menghina dan merendahkan wanita dan
menjadikannya objek seks terus menggelembung menjadi industri miliaran
dolar tiap tahunnya!

Akhirnya  Germaine Greer mengakui bahwa berbagai strategi yang dipakai
di tahun 1960-an tidaklah membawa hasil yang jelas kalau bukan malahan
membawa  kerusakan.  Yang  terjadi saat ini bukanlah pembebasan wanita
dari  ketertindasan  tetapi  tidak  lebih  dari  sekedar  menggantikan
ketergantungan wanita dari satu hal ke hal lainnya. 

Wanita memberontak dari ketergantungannya terhadap pria di awal gerakan
feminisme, terutama di tahun 1970-an, tetapi mereka kini ganti
tergantung pada hal-hal lain seperti industri kosmetika dan fashion.

Contoh terakhir adalah satu lagi icon feminisme, perempuan aktivis
feminisme dari kalangan Yahudi yang ikut berperan besar dalam
penggodokan Plan of Action Konferensi Beijing 1995 yang bernama Bella
Abzug. Selama puluhan tahun Bella berada di garis depan kaum feminisme
yang menyuarakan kemandirian dan kesamaan hak bagi perempuan di segala
lini.  

Ketika Bill Clinton berkuasa, dia menjadi salah satu pendukung vokal 
Partai Demokrat. Di belakang  wanita yang tampak perkasa ini terdapat 
Martin, suaminya yang pendiam yang selalu mendukung semua sepak 
terjangnya. Dalam Ms. 1990, Bella menulis artikel “Martin, What
Should I Do Now?” (Martin, Apa yang Harus Kulakukan Kini?)
tentang betapa kematian Martin membuatnya bagai kapal kehilangan
kemudi. 

“Saya  memiliki reputasi sebagai seorang perempuan mandiri, dan
memang saya mandiri. Tetapi jelaslah sebenarnya saya tergantung pada
Martin. Dia sering merengkuhku ke dadanya yang berbulu dan hatinya yang
hangat untuk melindungiku dari semua kebusukan yang mesti dialami
orang-orang yang  hidup di jalanku ini. Apa yang bisa kukatakan?
Hanyalah ini, ‘Hargailah hubungan (antarmanusia) dan lakukan apa
saja yang bisa kau lakukan untuk memeliharanya’. Belum lama ini
saya bermimpi dan bertanya kepadanya, ‘Martin, Martin, apa yang
harus kulakukan sekarang?’ Dia hanya tersenyum lalu
menghilang.”

Ketiga ikon feminisme ini, Gloria Steinem, Germaine Greer, dan Bella
Abzug, menggambarkan sebuah perubahan besar yang terjadi dalam kurun
waktu beberapa dasawarsa, yaitu sebuah pergeseran pemikiran feminisme
yang  sangat signifikan mengenai posisi mereka dalam relasi gender dan
kekuasaan. Diawali gerakan emansipasi di Amerika awal tahun 1900an,
ketika wanita menuntut hak dan perlakuan yang sama dalam kehidupan
bermasyarakat, kaum feminis menggunakan battle-cry atau teriakan perang
yang beragam, mulai dari “persamaan  hak”, 
“persamaan kekuasaan”, “perbedaan pria dan wanita
hanyalah soal pengasuhan dan
social concepts” sampai kemudian, akhir-akhir ini, kesadaran
bahwa perbedaan pria dan wanita memang bersifat biologis dan tidak bisa
dielakkan.  
Pendulum gerakan feminisme mulai berayun ke arah yang berlawanan dengan
gerakan di awal-awal lahirnya dulu. 

Professor  T.J. Winters --yang sesudah Muslim kini bernama Abdal-Hakim
Murad (Universitas Cambridge), mencatat bahwa feminisme tahun 1960-an
dan 1970-an adalah “feminisme kesejajaran” yang berjuang
menghancurkan ketimpangan gender yang menurut mereka semata-mata social
constructs yang bisa diubah lewat pendidikan dan media. Sedangkan
feminisme tahun 1990-an adalah “feminisme perbedaan” yang
berakar pada semakin tumbuhnya kesadaran bahwa faktor alami (nature)itu
sama pentingnya dengan faktor pengasuhan (nurture) dalam pembentukan
perilaku pria dan wanita.

Kesimpulan Murad dalam artikelnya Boys will be Boys ini adalah bahwa
pada akhirnya memang ada  faktor-faktor tak terbantahkan yang
bertanggungjawab pada perbedan pria dan wanita – dan ini semakin
lama semakin diterima oleh para pemikir feminisme.

Berbagai eksperimen untuk membuktikan bahwa PRIA DAN WANITA SERATUS
PERSEN SAMA sudah menyebabkan banyak kerugian. Contohnya, ketika pada
tahun 1997 pemerintah Inggris memberlakukan “gender free
approach” dalam merekrut tentaranya dan memberlakukan  ujian
fisik yang sama kepada kadet pria dan wanita maka yang terjadi adalah
tingkat cedera yang tinggi di kalangan kadet wanita. Dalam Perang
Teluk, satu per 10 kru wanita Kapal Perang Amerika USS Acadia
dikembalikan karena hamil di perjalanan menuju atau di medan perang,
sementara jumlah tentara pria yang dikembalikan:  Nol. Kapal itu
kemudian diolok-olok dan diganti namanya menjadi The Love Boat.

Di manakah posisi kaum feminis sekarang di Indonesia, baik yang mengaku
feminis Muslim maupun feminis doang? Sama seperti banyak wacana di
Indonesia yang kerap kali masih ketinggalan beberapa dasawarsa dari
yang berlangsung di Barat, mereka ketinggalan beberapa langkah.
Kebanyakan feminis di sini masih menyuarakan gender equality dan ramai
memprotes yang mereka sebut “dominasi budaya patriarki”.

Dalam waktu tak lama lagi, insya Allah, perlahan-lahan, mereka pun akan
mengalami ayunan pendulum yang sejajar dengan kawan-kawan mereka di
Barat. Mungkin lebih cepat karena semakin canggihnya teknologi
informasi dan media. Mari mendoakan agar pada akhirnya bukan sekedar
berayun ke arah kesadaran baru tentang tidak terbantahkannya perbedaan
pria  dan wanita, tetapi juga agar mereka sampai pada kesadaran adanya
sunnatullah mengenai peran dan posisi wanita dan pria yang justru
paling harmonis dengan kehidupan. 

wa-akhiru da‘wana ani’l-hamdu li’Llahi
rabbi’l-alamin

* penulis adalah wartawan senior yang 11 tahun silam meliput Konferensi
Wanita Dunia di Beijing

"Fa maadza ba'da-lhaqq, illa-dl_dlalaal"Leo ImanovAbdu-lLahAllahsSlave

Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke