Saya lihat Bank Dunia pintar sekali memutar-balikkan fakta. Bank Dunia menuduh melonjaknya penduduk miskin sebesar 3,1 juta orang karena naiknya harga beras. Oleh karena itu harga beras harus diturunkan dan impor beras harus dijalankan.
Padahal bukan rahasia lagi bahwa Bank Dunia baru-baru ini mendikte pemerintah Indonesia lewat kaki tangannya yang menjabat di kementrian ekonomi dan Bappenas untuk menaikan harga BBM hingga 120% yang mengakibatkan melonjaknya seluruh harga barang (bukan cuma beras!). Itulah faktor kemiskinan di Indonesia yang utama! Tentu saja saran Bank Dunia untuk menurunkan harga beras dan impor beras ini akan memiskinkan para petani kita. Padahal sekitar 50% penduduk Indonesia (sekitar 100 juta) masih bergantung pada pertanian. Saran Bank Dunia ini jika diikuti tidak hanya mengurangi kemiskinan sebesar 3,1 juta, tapi menambah kemiskinan sebesar 100 juta! Saran Bank Dunia akan menguntungkan para petani AS yang hingga kini disubsidi besar2an oleh pemerintah AS untuk melakukan ekspor ke Indonesia. Saat ini Indonesia mengimpor kedelai 3 trilyun lebih dari AS. Indonesia juga mengimpor 1,2 juta ton beras per tahunnya (sekitar rp 3 trilyun per tahun). Saran saya Bank Dunia tidak perlu didengarkan lagi. http://www.kompas.com/kompas-cetak/0611/25/Fokus/3119397.htm Kambing Hitam Kemiskinan Oleh Sri Hartati Samhadi Kenaikan harga beras yang dituding Bank Dunia sebagai penyebab melonjaknya jumlah penduduk miskin hingga 3,1 juta orang menjadi 39,05 juta orang selama periode Februari 2005-Maret 2006 seolah menempatkan pemerintah pada dua pilihan, mengorbankan petani atau konsumen beras. Dalam kasus-kasus sebelumnya, pemerintah selalu berpikir jangka pendek, mengorbankan petani dengan cara membuka keran impor untuk menekan harga. Alasan yang diungkapkan, untuk membela kepentingan masyarakat yang lebih besar. Dalam hal ini, konsumen neto beras, yang sekitar dua pertiga petani juga ada di dalamnya. Jalan pintas ditempuh tanpa pemerintah berusaha menyelesaikan pekerjaan rumahnya, yakni mengatasi akar masalah yang menjadi penghambat upaya peningkatan produksi beras atau menurunnya gairah petani menanam padi, sehingga terjadi defisit beras di dalam negeri. Atau, bagaimana bisa menekan angka kehilangan panen yang saat ini masih sekitar 25-30 persen sehingga jika itu bisa dikurangi, Indonesia tak perlu impor beras. Kenaikan harga beras menjadi kambing hitam kegagalan pemerintah dalam menekan kemiskinan struktural, baik di pedesaan maupun perkotaan. Hasil penelitian Bank Dunia yang menyebut harga beras sebagai pemicu kemiskinan sebenarnya bukan hal baru. Bukan baru kali ini Bank Dunia menuding harga beras sebagai penyebab meningkatnya kemiskinan di Indonesia. Mark Baird saat menjabat Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia, Maret 2001, pernah menyatakan perlu ada kebijakan harga beras yang menyeimbangkan kebutuhan konsumen dan petani miskin. Menurut dia, tidak ada upaya yang lebih penting untuk bisa menekan angka kemiskinan selain menjamin tersedianya beras pada harga murah. Lembaga ini juga menyatakan keberatan terhadap usulan Tim Pengkajian Kebijakan Perberasan Nasional tentang pembatasan impor. Pada Juni 2003, Bank Dunia, lewat Direktur Regional Bert Hofman, kembali mengkritik pelarangan sementara impor. Argumennya masih sama, larangan impor akan mengakibatkan naiknya harga sehingga rakyat miskin semakin tak mampu membeli beras. Sikap Bank Dunia dipertegas lagi Januari 2004 melalui pernyataan ekonom Neil McCulloch, bahwa rakyat miskin akan disejahterakan jika pemerintah menerapkan kebijakan perdagangan beras yang terbuka. Caranya, dengan menghapus bea masuk (BM) impor atau setidaknya BM ditetapkan rendah. Apa yang diungkapkan McCulloch itu pernah disampaikan sebelumnya oleh Dana Moneter Internasional (IMF) yang pada Maret 1999 juga menekan pemerintah untuk menurunkan BM impor beras maksimal 5 persen. Sudah sejak lama Bank Dunia, IMF, dan juga negara-negara maju pengusung faham neoliberalisme berusaha menciptakan opini betapa tingginya harga beras yang diakibatkan oleh rezim perdagangan yang tertutup, sangat tidak menguntungkan bagi perekonomian secara keseluruhan. Bank Dunia dan juga negara-negara maju seperti AS melihat, sejak krisis, harga beras di Indonesia jauh di atas harga dunia dan tingginya harga ini sangat tidak menguntungkan penduduk di bawah garis kemiskinan yang jumlahnya sangat besar. Tingginya harga beras, menurut mereka, juga tidak bisa dinikmati petani, karena petani tak memiliki akses ke teknologi untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengamat pertanian, Bustanul Arifin, bisa mengendus adanya kepentingan AS sebagai eksportir pangan terhadap Indonesia sebagai importir pangan penting dunia sekarang ini. Meskipun perdagangan beras lebih banyak terjadi di antara sesama negara Asia (sehingga terkesan tak membawa kepentingan Barat), AS adalah eksportir beras keempat terbesar dunia (3,7 juta ton) setelah Thailand, India, dan Vietnam. Sebagai lembaga yang lebih banyak mewakili kepentingan negara maju, Bank Dunia sering tidak bisa menahan diri untuk melibatkan diri dalam isu pertanian negara berkembang. Tema advokasi lembaga multilateral ini selalu sama: liberalisasi perdagangan, privatisasi, prinsip-prinsip mekanisme pasar, eliminasi subsidi, pengurangan peran pemerintah, peningkatan sektor swasta, dan sebagainya. Di Indonesia, dan juga beberapa negara berkembang lain, kebijakan Bank Dunia telah mendepak petani-petani kecil dan penduduk miskin pedesaan dari lahan mereka untuk kepentingan proyek-proyek multinasional. Di Sumatera, proyek Bank Dunia menjadi skandal karena mengakibatkan ketergantungan petani kelapa hibrida pada penggunaan pestisida berbahaya secara berlebihan. Bank Dunia juga pernah menyarankan agar pabrik-pabrik gula di Indonesia yang tidak efisien ditutup saja. Di Indonesia dan beberapa negara lain, Bank Dunia juga menjadi sponsor utama privatisasi pengelolaan sumber daya air yang menyengsarakan petani dan rakyat kecil lain. Dalam banyak kasus, pemerintah seperti kerbau dicocok hidungnya, menurut apa yang didiktekan Bank Dunia. Sebagian kecil Di dalam negeri sendiri, perdebatan mengenai kaitan harga beras dengan kemiskinan di kalangan birokrasi serta akademisi lokal juga tidak kalah sengit. Menurut Peter Warr dari Australian National University, lembaga yang paling ngotot menginginkan diterapkan BM impor beras tinggi untuk melindungi petani adalah Deptan. Pada tahun 2003, misalnya, Deptan pernah mengusulkan BM ditetapkan 75 persen dari Rp 430 menjadi Rp 750 per kilogram dan larangan impor pada awal tahun 2004. Sebaliknya, yang paling menginginkan pasar dibuka adalah Depkeu dan Bappenas. Bappenas dalam sejumlah kajian bersama USAID dan DAI Food Policy Advisory Team kelihatan sekali mendukung liberalisasi pasar beras. Dalam dua kasus impor beras tahun 2005 dan 2006, Deptan awalnya bersikeras bahwa stok cukup dan tak perlu impor, tetapi akhirnya kalah pengaruh karena Bulog mengatakan sebaliknya. Hal serupa terjadi di kalangan akademisi. Kalangan ekonom yang banyak terlibat dalam pemerintahan dan proyek penelitian Bank Dunia, menganggap tingginya harga beras hanya akan menguntungkan sebagian kecil rumah tangga (RT) di Indonesia. Mohamad Ikhsan yang juga Staf Ahli Menko Perekonomian, misalnya, mengemukakan setiap 10 persen kenaikan harga beras akan menyebabkan tambahan orang miskin baru 1,1 juta-2 juta orang. "Setiap 10 persen kenaikan harga, ceteris paribus, menaikkan kemiskinan 1 persen poin. Jadi, kalau harga naik 10 persen, tingkat kemiskinan yang 17 persen naik jadi 18 persen," ungkapnya. Beberapa argumen yang diajukan, hampir 50 persen (data BPS tahun 2005 43,97 persen) RT di Indonesia adalah RT tani. Hampir 50 persen RT tani itu adalah petani padi. Dua pertiga petani ini juga bukan berstatus produsen neto, tetapi konsumen neto. "Jadi, kenaikan harga beras hanya akan menguntungkan tak sampai 20 persen rumah tangga, karena 80 persen penduduk net consumers ," papar Ikhsan. Naiknya tingkat kemiskinan, akan lebih besar di daerah miskin. "Jadi, bukan hanya kemiskinan absolut yang meningkat, kemiskinan relatif pun naik. Bukan hanya jumlah orang miskin bertambah, tingkat kedalaman dan intensitas kemiskinan juga meningkat tajam dengan naiknya harga beras," ujar Ikhsan. Sebaliknya, ekonom seperti Bustanul Arifin, Iman Sugema dari Indef, dan Ketua Dewan Pertimbangan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudhohusodo sangat kencang menyuarakan pandangan sebaliknya. Mereka berpandangan Bank Dunia terlalu simplistis dalam melihat persoalan harga beras dan tidak benar-benar memahami fenomena kemiskinan dan problem sosial di Indonesia. Keberpihakan pemerintah Terlepas dari dugaan adanya agenda Bank Dunia, gugatan terkait juga perlu diarahkan pada kurangnya keberpihakan pemerintah ke petani. Pemerintah terkesan tak menganggap impor beras sebagai persoalan besar atau sesuatu yang perlu diributkan. Alasannya, jumlah yang diimpor sangat kecil (kurang dari 1 persen) dibandingkan kebutuhan nasional yang mencapai 32 juta ton sehingga tidak akan mengganggu harga beras petani. Data-data BPS menunjukkan, sejak swasembada beras 1984, pertanian mengalami marginalisasi sistematis karena kebijakan pembangunan tak lagi berpihak pada sektor ini. Alokasi anggaran terus menurun. Pertanian tergusur dalam paradigma atau model pembangunan yang lebih menekankan pada pertumbuhan sehingga sumbangan pertanian terhadap PDB juga terus menurun. Kesejahteraan petani terus merosot, tercermin dari meningkatnya petani gurem (lahan kurang dari 0,5 hektar) serta penurunan nilai tukar dan daya beli petani. Saat ini, sekitar 70 persen petani adalah petani gurem. Jumlah mereka hampir 14 juta jiwa. Konversi lahan juga terus meningkat, dari 88.500 hektar per tahun (1981-1999) menjadi 141.286 hektar (1999-2002). Pembangunan infrastruktur pedesaan yang mendukung pertanian juga diabaikan. Pupuk, benih, dan obat-obatan terus menjadi obyek permainan spekulan akibat tata niaga atau sistem distribusi yang buruk. Akibatnya, usaha tani tak lagi efisien, padahal sebenarnya produktivitas lahan di Indonesia tergolong tinggi. Semua kebijakan yang ditempuh pemerintah justru destruktif bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan petani. Pemerintah cenderung menjawab setiap isu stok atau kenaikan harga dengan impor. Padahal, Bulog sendiri belum optimal menyerap beras petani. Anehnya, sering terjadi, sebelum persetujuan impor bagi Bulog benar-benar turun, kapal pengangkut beras impor sudah menunggu di luar perbatasan perairan Indonesia. Ini menunjukkan impor memang sudah diskenariokan sejak awal. Diberdayakan Bustanul mengaku tak bisa memahami jalan pikiran mereka yang tak peduli pada nasib petani. "Bukankah kalau harga gabah tinggi, petani akan makin bersemangat meningkatkan produksi dan produktivitas," ujarnya. Namun, menurut dia, itu bukan berarti lalu kaum miskin perkotaan tidak perlu dibela. "Tidak boleh ada yang dikorbankan. Hanya caranya bukan dengan menurunkan harga beras, tetapi dengan memberdayakan kemampuan ekonominya. Akan lebih elegan dan bermartabat jika fokus kebijakan diarahkan pada peningkatan produksi dan produktivitas padi," ujarnya. Yang harus dilakukan, adalah meningkatkan suplai pangan minimal sama atau lebih besar dari laju permintaannya. Laju suplai beras dalam lima tahun terakhir hanya 1,05 persen per tahun, sedangkan laju permintaannya 4,66 persen (dihitung dari laju pertumbuhan penduduk 1,3 persen, pertumbuhan ekonomi 5,6 persen, dan elastisitas pendapatan terhadap beras sekitar 0,6). Untuk itu, perluasan areal panen (pencetakan sawah-sawah baru dan peningkatan produktivitas) harus terus dilakukan. Dalam jangka menengah panjang, kebijakan reforma agraria (penatagunaan lahan) perlu segera dilaksanakan. Selain itu, kebijakan diversifikasi pangan juga perlu lebih serius digarap untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras yang sangat tinggi serta tekanan permintaan beras yang terus meningkat. Bustanul melihat, rezim sekarang sebenarnya telah memiliki niat dan komitmen untuk merevitalisasi pertanian. Namun, niat dan komitmen saja tak cukup tanpa tindakan lebih konkret. Yang terjadi sekarang, program lebih banyak hanya retorika. Akibatnya, target yang ditetapkan pemerintahan di bidang pertanian juga akan sulit dicapai. Contohnya, sasaran lahan sawah abadi 15 juta hektar. Sampai akhir tahun 2006 ini, tidak jelas langkah yang telah dilakukan, minimal upaya nyata untuk mengurangi laju konversi lahan sawah subur untuk kegunaan lain. Oleh pemerintah, saluran irigasi justru sengaja tidak dipelihara atau dibiarkan rusak, sehingga sawah beririgasi teknis berubah bentuk menjadi sawah tadah hujan. Dengan begitu, lebih mudah dikonversi untuk kegunaan lain. Akhirnya, hanya tinggal menunggu kehancuran sektor pertanian dan ketahanan pangan jika semua orang hanya berpikir pendek. Seperti halnya impor beras untuk menjawab masalah pasokan beras di dalam negeri. === Ingin belajar Islam sesuai Al Qur'an dan Hadits? Kirim email ke: [EMAIL PROTECTED] http://www.media-islam.or.id __________________________________________________ Do You Yahoo!? Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around http://mail.yahoo.com