Dari Milis Toilet Rumpi ...
Jimmy www.friendster.com/okberto add by [EMAIL PROTECTED] http://okberto.multiply.com I honor the place in you where the Spirit of Truth of the entire Universe resides. I honor the place in you, of Love, of Light, of Truth and of Peace. I honor the place in you, where if you are in that place in you, and I am in that place in me, there is no experience of separation. _____ From: Gita Gustina R Sent: Wednesday, December 20, 2006 3:48 PM To: CW-Dewi (E-mail); Toilet-Tuti (E-mail); CW-Imet (E-mail); Toilet-Robby (E-mail); Toilet-Adam (E-mail); CW-Ami (E-mail); Toilet-Endah (E-mail); Toilet-Didi (E-mail); Toilet (E-mail); Toilet-Doddy (E-mail); Yuliani Pancaningtyas (E-mail); Yayo Yusmaningsih (E-mail) Subject: Belum Haji Sudah Mabrur > semoga bermanfaat, > > link berikut ini tidak berhubungan dengan cerita di bawah, link ini isinya > adalah ajakan untuk berkurban bagi mereka di wilayah bencana: 1. qurban > for > survivors > http://www.aksicepattanggap.com/v3_index.php/vw/03/date/2006-12-04+13%3A 25%3A50 <http://www.aksicepattanggap.com/v3_index.php/vw/03/date/2006-12-04+13%3 A25%3A50> > 2. superqurban, kornet daging kurban untuk daerah bencana > http://www.rumahzakat.org/ <http://www.rumahzakat.org/> > > (kata penonton: trus kenapa?) eh.. kagak ada apa-apaan sih.. ampun bang.. > ini, kali-kali aja abang perlu (^^)V > > salam, ari ams > > --- > Kisah nyata dari sebuah dusun di pedalaman Jawa Tengah, Yu Timah -seorang > yg > sangat miskin- menyiapkan hewan Qurban di Idul Adha ini dari tabungan yg > dikumpulkan dari dana bantuan SLT. > > Sudahkah kita siapkan hewan Qurban di Idul Adha ini? Tidakkah kita > bercermin > dari Yu Timah? > > Belum Haji Sudah Mabrur > Oleh : Ahmad Tohari > > Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. > Dia > salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini > sudah > berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang > diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah > penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding > anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di > tempati > gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri. > > Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. > Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah > yatim > sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah > perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu Timah > bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya > yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah > tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong > membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. > Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak > dan > emak yang sangat miskin itu. > > Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan > nasi > bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di > pesantren > kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan > nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya > meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga > tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot > arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta. > Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan > mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di > kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani > yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah. > > Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau > bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa > menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi > pengurus. > Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia > orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap > bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan > hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin > emas. > Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah > persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 > ribu. > > Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya > bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah. > ''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang > kecil. > ''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah > tutup. > Bagaimana bila Senin?'' > ''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.'' > ''Mau ambil berapa?'' tanya saya. > ''Enam ratus ribu, Pak.'' > ''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?'' > Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu. > ''Saya > mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan > uang > saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.'' > Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi > kata-katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan > tanggapan, > mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya. > Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah > membeli kambing kurban. > ''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus > ribu. > Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib > menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah > niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?'' > ''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama ini > memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi > daging kurban.'' > ''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.'' > Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta > diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang. > > Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah > mendengar, > mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang > ditinggalkan > oleh Kanjeng Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya > keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh > hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya > mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu > Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah > naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat > miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang > bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya > dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. > Saya > ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. > Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji. > __________________________________________________ [Non-text portions of this message have been removed]