halo kawan kawan ppiindia yang dirahmati Allah ... 1. lama tak basuo, bicara pun masih eker ekeran masalah penaklukan dunia oleh Islam dan ko eksistensi yang tidak juga terwujud. hayaaah ....
2. perlu diingat juga mbak aris. bahwa dunia muslim sudah cukup lama mengalami disfungsi. sebagaimana agama agama formal juga banyak yang mengalami disfungsi. saat ini rata rata agama mengambil posisi kontra dengan ilmu pengetahuan. yang dianggap sahabat hanyalah ilmu ilmu kulit, namun ketika tahap epistemologi dan filsafat sains, maka agama kisten maupun islam cenderung menolak ilmu pengetahuan. agama islam yg dulunya identik dengan ilmu pengetahuan sejak jaman al ghazali dimulai dipisahkan. begitu juga dengan kristenitas, diawali meolak ilmu pengetahuan, lalu ketika bertemu islam, berbalik arah menjadi memeluk ilmu pengetahuan. sehingga ada saat saat di mana jaman louis pasteur, mendel dan sebagainya, ilmu pengetahuan identik dengan gereja, di waktu jaman modern, justru agama terpisah kembali dengan ilmu pengetahuan. 3. tentang cara pandang hubungan internasional yg bersifat agresif maupun bersifat co existensi, sebenarnya merupakan wacana lama di dunia hubungan internasional. mbak aris juga pernah memperlihatkan adanya opsi dalam hubungan antar negara dalam diskusi terdahulu. sebagai sekutu, sebagai oponen dan wilayah netral. [meskipun sudut yg lebih di sukai kalangan HT, nampaknya islam sebagai negara agresif]. wilayah netral ini, butuh sinergi dengan strategi security with seperti pada Melian Dialogue. Jangan sampai seperti Athena yg waktu itu bisa menghancurkan Melios, namun ujungnya tetap harus tumbang di Sicilia baca baca lagi webnya phillip vermonte, peneliti bidang politik di CSIS, membuka kesegaran baru buat otak saya yg makin kering ini. a tulisan ini relevan dengan indoensia ketika lagi jaya jayanya berusaha mengintimidasi tetangganya [hasilnya timor] b.relevan juga dgn kasus spore dan malaysia sekarang ini. c. dan jelas relevan banget deangan ngoyoworo dunia islam yg ingin jadi penguasa semesta [bukan rahmatan lil alamin lagi kayaknya] salam, ari condro ===== http://pjvermonte.wordpress.com/2006/09/27/membaca-lagi-paradigma-realisme/ MENGKAJI LAGI PARADIGMA REALISME Hari ini harusnya saya ada dua kuliah. Tapi kedua profesornya sedang ada konferensi di Washington D.C. Kuliah akan diganti hari lain. Lumayan lah, jadi bisa nulis-nulis sedikit di sini . Tidak perlu menunggu akhir pekan seperti biasanya. Ini ada residu dari kuliah International Relations Theory minggu lalu, saya masih penasaran. Setiap pengkaji HI pasti tahu paradigma realisme. Asumsi utama paham ini, sebagaimana dihafal luar kepala oleh setiap mahasiswa HI, adalah kecenderungannya yang state-centric, melihat bahwa state adalah aktor prinsipal dalam hubungan internasional. Belakangan datang Kenneth Waltz dengan pemikiran neo-realisme-nya: bahwa sistem internasional lah yang menentukan perilaku negara. Karena sistem internasional bersifat anarkis (dalam pengertian tidak ada sesuatu yang lebih sovereign di atas negara-negara berdaulat secara individual), maka negara menjadi 'egois'. Semua negara akan berusaha memaksimalkan power dan karena itulah perang menjadi wajah hubungan antar negara dari waktu ke waktu. Sehingga, boleh dibilang, studi HI mengerahkan energi nya lebih banyak untuk memahami perang dan bagaimana mencegahnya. Membaca bahan kuliah dan menghadiri kelas minggu lalu, saya punya kesempatan me-refresh dan menambah pemahaman soal realisme ini. Akar pemikiran realisme dengan mudah bisa dilacak. Dua nama yang selalu muncul adalah filsuf Yunani Thucydides dan filsuf Inggris Thomas Hobbes. Thucydides terkenal dengan bukunya mengenai perang besar jaman Yunani Kuno yang judulnya The Peloponnesian War. Thomas Hobbes dikenal dengan konsepnya Leviathan, yaitu entitas sovereign yang mengatasi indvidu-individu. Minggu lalu saya membaca lagi Morgenthau (Politics Among Nations), E.H. Carr (The Twenty Years Crisis), Waltz (Men, State and War), Hobbes, Thucydides dan banyak yang lainnya. Walaupun dominan, paradigma realisme selalu dihujani kritik. Bacaan kuliah minggu lalu pun beberapa diantaranya berisi kritik keras terhadap realisme. Tiga yang saya sukai dari bacaan minggu lalu adalah tulisan Michael Doyle (dia salah satu pembela Democratic Peace Theory: bahwa negara demokrasi tidak pernah saling berperang dengan negara demokrasi lain) yang judulnya "Thucydidean Realism", dimuat di Review of International Studies. Satu lagi adalah tulisan Lauire Bagby di jurnal International Organization, judulnya "The Use and Abuse of Thucydides in International Relations". Minggu lalu kami juga wajib membaca beberapa bagian dari tulisan asli Thucydides (The Peloponnesian War sendiri adalah kajian epic berjilid-jilid). Saya suka juga tulisan Michael William yang berjudul "Hobbes and International Relations: a Reconsideration", juga di jurnal International Organization. Membaca kritik-kritik ini menyegarkan sekali. Jika Thucydides dan Hobbes dibaca ulang, kesimpulannya bisa berbeda dari realisme. Coba tengok sebuah episode terkenal tulisan Thucydides dalam Peloponnesian War itu. Episode ini terkenal dengan sebutan The Melian Dialogue, dimana Athena yang jauh lebih berkuasa mengirim utusan ke Melos, 'negara' yang jauh lebih kecil, untuk memintanya tunduk secara sukarela pada Athena atau diancam akan mengalami penghancuran. Orang-orang Melos bertanya bagaimana Athena bisa merasa memiliki hak untuk menguasai negerinya. Ini jawaban orang Athena yang lebih kuat dari mereka itu: "since you know as well as we do that right, as the world goes, is only in question between equals in power, while the strong do what they can and the weak suffer what they must". Sejarah menyebutkan bahwa Melos menolak tunduk sukarela, akhirnya dihancurkan dan toh harus tunduk pula pada Athena yang perkasa. Paragraf dari utusan Athena itulah yang menjadi basis pemikiran realisme: bahwa tiap negara selalu bertujuan memaksimalkan power dan pengaruhnya atas negara lain. Kodrati. Padahal, ada paragraf lain yang menarik dari The Melian Dialogue ini. Misalnya pernyataan the Melians kepada utusan Athena: "so that you would not consent to our being neutral, friends instead of enemies, but allies of neither side". Ungkapan ini senada dengan pemikiran idealis atau bahkan constructivist. Pernyataan orang Melos ini merupakan pandangan alternatif dari pemikiran realisme ala Athena yang menekankan "security against" yang berujung konflik, dan bukan "security with" yang mengandaikan kerjasama. Konsep security with yang non-realist ini telah dielaborasi juga oleh pemikir-pemikir HI seperti Martin Wight, Hedley Bull dengan konsepsi international society-nya; Alexander Wendt dengan social theory of international politics-nya; ataupun Karl Deutsch dengan konsepsi security community-nya. Tapi, realisme berpusat pada paragraf awal dari The Melian Dialogue tadi. Bahwa yang kuat akan berkuasa, yang lemah akan menderita. Paragraf itu menjadi dominan mungkin karena menghitung outcome dari Melian Dialogue, yaitu Melos dihancurkan oleh Athena dengan kejam. Padahal, The Peloponnesian War tidak hanya berisi episode The Melian Dialogue. Memang betul bahwa Athena menghancurkan Melos, tapi kemudian Athena yang menjadi greedy, hancur dan dikalahkan di Sisilia (Sicilian Expedition). Artinya, keputusan Athena menghancurkan Melos bisa ditafsirkan bukanlah merupakan keputusan rasional yang baik (yang merupakan satu penekanan juga dari paham realisme). Karena ia kemudian mendorong Athena menjadi semakin ekspansif dan akhirnya hancur di Sisilia. Sayang, Thucydides sudah terlanjur menjadi 'trademark' pemikiran realisme. Padahal, banyak paragraf dari The Peloponnesian War yang seiring sejalan dengan pemikiran konstruktivisme ataupun pemikiran non-realisme lain. Demikian pula halnya dengan Thomas Hobbes. Hobbes dalam Leviathan memikirkan perlunya kedaulatan negara untuk mengatasi individu manusia 'yang menjadi serigala' bagi individu manusia lain. Para pemikir realisme dalam studi HI kemudian menarik analogi dari Hobbes mengenai perilaku individual untuk menjelaskan perilaku negara 'yang cenderung menjadi serigala' bagi negara lain. Yang akan membatasi perilaku negara bukanlah kehadiran Leviathan dalam sistem internasional (seperti dimaksud Hobbes dalam hubungan antar individu manusia). Yang membatasi adalah kapabilitas negara itu dibandingkan dengan negara lain. Konsekuensinya adalah tiap negara akan berusaha meningkatkan power-nya, agar tidak 'dimangsa' negara lain. Padahal, Hobbes punya pandangan bahwa: "rational sovereigns cannot act toward each other as individual might because as a corporate body the sovereign must consider the relationship between its external relations and relations with its own citizens. The sovereign, recognizing the foundation of its authority, must be careful not to lose the trust of its citizens". Pandangan Hobbes ini seketika mengingatkan saya pada pemikiran republikanisme Immanuel Kant, yang meletakan landasan bagi Democratic Peace Theory: "bahwa negara demokratis tidak akan dengan mudahnya berperang melawan negara demokratis lain, karena mereka harus berkonsultasi dengan warga negaranya sebelum memutuskan pergi berperang." Immanuel Kant banyak dihubungkan dengan pemikiran idealisme, bukanlah dengan realisme. Jadi, Thucydides atau Hobbes pemikir realisme atau bukan? Sepertinya perlu dipikirkan ulang dalam-dalam. Kuliah toh masih panjang, masih banyak yang belum dibaca dan dibahas, termasuk teori-teori kontemporer. Nugroho Dewanto wrote: > > > > memang susah ketemu. > > paradigma kaum fundamentalis melulu penaklukan. > dulu penaklukkan konstantinopel. sekarang mau menaklukkan roma? > menaklukkan washington? lalu apa lagi? mengislamkan seluruh > dunia? > > yang dari pihak sana juga sama saja. setelah penaklukkan > bagdad, giliran berikut penaklukkan teheran? penaklukkan > mekah dan medinah? lalu apa lagi? mengkristenkan seluruh dunia? > > mungkin fenomena ini yang dilihat dan kemudian diabstraksikan > huntington menjadi benturan peradaban. benturan gara-gara > 'kegilaan' kaum fundamentalis dari keduabelah pihak. > > kalau saya lebih memilih paradigma hidup berdampingan > secara damai dengan sesama manusia dan mahluk lain ciptaan > Tuhan agar hidup menjadi lebih damai untuk generasi anak cucu. > > mari kuburkan dalam-dalam mentalitas penaklukkan. > > At 02:43 PM 3/7/2007, you wrote: > > >Mas Dede yang baik dan membuat saya selalu curious > >^_^, > > > >Saya satukan jawabannya nggih. Betul sekali iptek > >bukan dimiliki oleh satu agama mana pun. > [Non-text portions of this message have been removed]