Ass.w.w.

Bung Salim Said yang budiman,

Selamat Idulfitri dan Taqabbala Llahu Minna wa Minkum, semoga Ramadhan kita 
barokah dan kita dinaungi keteduhan Payung Agung KeampunanNya. Amin. 
Mudah-mudahan Anda bersama Hera, anak-anak di Praha dan Rita di Ohio sehat 
serta sejahtera senantiasa, di akhir musim gugur yang tentulah menghadirkan 
simfoni warna dedaunan yang indah-indah.

Terima kasih atas kiriman e-mail 20 Oktober 2007 berjudul “Taufiq Ismail 
Mengadukan Hudan Hidayat Atheis Kepada Pemerintah,” sebuah judul hasil 
angan-angan HH yang kesasar. Interaksi antara HH dengan saya, dimulai dengan 
rangkaian “polemik” selepas Pidato Kebudayaan saya di forum tahunan Akademi 
Jakarta, 20 Desember 2006. Sesudah lewat lama, yaitu lima bulan kemudian, 
barulah HH menulis di Jawa Pos, 6 Mei 2007, bertajuk “Sastra yang Hendak 
Menjauh dari Tuhannya.” Kemudian sampai Agustus 2007 lima penulis ikut dalam 
“polemik” tersebut.

Sebelum saya merespons judul sesat e-mail itu, baiklah saya cantumkan di bawah 
ini ringkasan Pidato Kebudayaan (berjudul “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan 
Syahwat Merdeka” --- atau BMDH-GSM) yang menjadi titik pangkal interaksi 
tersebut, agar semua fihak yang ingin tahu dapat gambaran mengenai masalah yang 
saya kemukakan.

1. Ringkasan pidato “Budaya Malu Dikikis Habis Gerakan Syahwat Merdeka.”

Di dalam gelombang reformasi yang membawa perubahan politik sewindu yang lalu, 
sebuah arus besar digerakkan oleh kelompok permisif dan adiktif menumpang masuk 
ke tanah air kita. Arus besar itu, sesuai karakteristiknya, tepat disebut 
sebagai gerakan syahwat merdeka.

Tak ada sosok dan bentuk organisasi resminya, tapi jaringan kerjasamanya 
mendunia, kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan melandasinya dengan 
gagasan neo-liberalisme sebagai lokomotifnya, dan banyak media massa jadi 
pengeras suaranya.

Ada sepuluh komponen dalam gerakan dengan seks sebagai jaringan pengikatnya ini:

Pertama, praktisi sehari-hari seks liar, yang bisa gratis karena sama-sama suka 
atau dengan janji membayar dalam jaringan prostitusi.

Kedua, penerbit majalah dan tabloid mesum, bebas tanpa SIUPP menjual wajah dan 
kulit perempuan muda.

Ketiga, produser dan pengiklan acara televisi syahwat, ditonton 170 juta 
pemirsa.

Keempat, 4.200.000 (empat koma dua juta) situs porno dunia, 100.000 (seratus 
ribu) situs porno Indonesia di internet. “Kami di Amerika,” kata seorang 
pengamat sosial, “mengalami fenomena pornografi internet ini yang bagaikan 
gelombang tsunami setinggi 10 meter, melanda seluruh bangsa, dan kami 
melawannya hanya dengan dua telapak tangan.”

Kelima, produsen dan pengecer VCD/DVD biru di Indonesia yang kini jadi sorga 
besar pornografi paling murah di dunia, dulu Rp 30.000, sekarang Rp 3.000 
sekeping. Jumlah bajakan ditaksir 1 juta keping setahun, artinya setiap 25 
detik 1 keping diproduksi, dan anak-anak SMP pun bebas membelinya.

Keenam, penerbit dan pengedar komik cabul, yang sasarannya anak-anak sekolah.

Ketujuh, penulis novel dan cerpen yang asyik dengan alat kelamin manusia, 
terbanyak perempuan, fanatikus narsis dan ekshibisionis yang rasa malunya sudah 
terkikis habis. Alirannya SMS (sastra mazhab selangkang), angkatannya Fiksi 
Alat Kelamin (FAK).

Kedelapan, produsen dan pengedar narkoba. Tiga juta anak muda dicengkeramnya, 
40 orang sehari mati karenanya, dengan beban ekonomi 11,3 triliun rupiahnya.

Kesembilan, fabrikan dan pengguna alkohol, merdeka dijual sampai ke desa-desa, 
di penjual rokok depan sekolah dalam botol kecil, yang remaja bebas membelinya.

Kesepuluh, produsen dan pengisap nikotin. Setiap hari 156 orang mati karena 25 
penyakit akibat rokok, saudara sepupu narkoba ini.

Mengapa alkohol, narkoba dan nikotin termasuk dalam kategori kontributor arus 
syahwat merdeka ini? Karena sifat adiktifnya, kecanduannya, yang sangat mirip, 
begitu pula proses pembentukan ketiga adiksi tersebut dalam susunan syaraf 
pusat manusia. Dalam masyarakat permisif, interaksi antara seks dengan alkohol, 
narkoba dan nikotin, akrab sekali, sukar dipisahkan.

Interaksi ini kemudian berlanjut dengan proliferasi penyakit syphilis, 
gonorrhoea, HIV-AIDS, kasus perkosaan, aborsi (2,3 juta abortus setahunnya, 
berarti di negeri kita setiap 15 detik seorang bayi mati) dan tindak 
kriminalitas berikutnya, seperti pemerasan, perampokan sampai ke 
titik-puncaknya pembunuhan. Setiap hari berita semacam ini berserakan di 
koran-koran.

Dalam destruksi sosial luarbiasa ini, dari banyak sebab, salah satu yang 
termasuk utama adalah RASA MALU YANG SECARA TRAGIS TELAH DIKIKIS HABIS OLEH 
GERAKAN SYAHWAT MERDEKA INI. Siapa pun yang berbicara dengan aktivis 10 
komponen gerakan ini dengan memakai ukuran moral manusia waras dan normal, 
apalagi agama, akan mereka tertawakan habis-habisan. Mengembalikan dan 
menegakkan lagi budaya malu adalah kerja berat kita bersama.

2. “Polemik” Itu.

Sejak artikel pertama di Jawa Pos, 6 Mei 2007 dan seterusnya, HH hanya membahas 
butir ketujuh saja dari pidato BMDH-GSM, yaitu tentang (sebagian kecil) penulis 
Indonesia, yang mendapat angin selepas reformasi politik 1998, berasyik-asyik 
menggarap syahwat dalam karya cerpen, novel dan puisi mereka. Penulis-penulis 
itu, terbanyak perempuan, dipuji-disanjung oleh (sejumlah kecil) pengamat 
sastra, mendapat publikasi luas oleh koran besar, dan karena memang yang 
digarap itu masalah selangkang dan sekitarnya, persoalan sekitar fungsi alat 
kelamin, tentu saja buku mereka laku di pasaran.


Sepenuh energi HH membela kelompok ini, dengan
1) menggunakan teori-teori sastra begini-begitu,
2) mengutip ayat-ayat Quran dengan semangat menunjuk-mengajari, dan
3) mengatakan bahwa saya merepresi kebebasan kreatif. HH kesal karena saya 
hanya satu kali menjawab tulisannya (Jawa Pos, 17 Juni 2007).

Menjawab

(Butir 1) Saya tidak bersemangat melayani teori-teori sastra dan 
kutipan-kutipan HH, karena diskusi semacam itu sudah pernah jadi kerja saya 30 
tahunan yang lalu, sekarang tidak lagi.

(Butir 2) Dalam BMDH-GSM saya tidak mengutip Quran sama sekali, malah HH (yang 
belakangan baru saya tahu dia mengaku atheis) yang mengutipnya. Itu pun secara 
salah.

(Butir 3) Saya minta ditunjukkan kalimat mana pada BMDH-GSM yang menindas 
kebebasan kreatif. Penindasan itu adanya cuma di dalam angan-angan cerebrum, 
otak kecil HH. Dua tahun lamanya saya tidak dapat menulis di media massa, 
1964-1965, selepas pelarangan Manifes Kebudayaan (daftar hitam nama kami 
pendukung Manifes tersebar ke seluruh media massa zaman itu) dan pengalaman 
pahit tak terlupakan itu janganlah terjadi lagi pada siapa pun.

3. Destruksi Sosial Luar Biasa Raksasa, Tak Tampak.

HH tidak merasa peduli dengan destruksi sosial luar biasa raksasanya yang 
dilancarkan sepuluh pelaku Gerakan Syahwat Merdeka itu:
1) praktisi sehari-hari seks liar,
2) penerbit majalah dan tabloid mesum,
3) produser dan pengiklan acara televisi syahwat,
4) 4.200.000 situs internet porno dunia,
5) produsen dan pengecer VCD-DVD biru,
6) penerbit dan pengedar komik cabul,
7) penulis cerpen dan novel syahwat,
8) produsen dan pengedar narkoba, 40 orang mati sehari,
9) fabrikan dan pengguna alkohol,
10) produsen dan pengisap nikotin, 150 orang mati sehari.

Kerjasama bahu-membahu kesepuluh komponen ini kemudian berlanjut dengan 
proliferasi penyakit syphilis, gonorrhoea (ada obatnya), HIV-AIDS (tak ada 
obatnya), kasus perkosaan, dan pada suatu titik di ujung jalan nun di sana: 
aborsi. Di negeri kita setahunnya berlangsung 2,3 juta abortus. Berarti setiap 
15 detik seorang bayi mati, di trotoar ujung jalan Gerakan Syahwat Merdeka.

Merenungkan hal itu kini, ngeri saya memikirkannya. Merenungkan hal itu dengan 
perkiraan ke depan, jauh lebih menakutkan memikirkannya. Katastrofi format apa 
yang akan terjadi dengan cucu-cucu kita kelak kemudian hari? KITA HARUS BERBUAT 
SESUATU, BERSAMA-SAMA, SEKARANG.

Ini tidak terpikirkan sama sekali oleh HH. Karena itu dia sendirian 
asyik-sibuk-berputar-
berpusu dalam satu titik, yaitu butir ke-7. Memberi saran sepotong kalimat pun 
dia tidak terhadap destruksi sosial seraksasa itu formatnya. Empati tak ada, 
simpati kosong. Dia bisu-tuli tak peduli. Dia gigih menuntut hak badannya, hak 
kelaminnya supaya bebas dalam karya tulisnya.

Dapatlah kita ibaratkan rumah Indonesia sedang terbakar hari ini, dari beranda 
depan sampai ke dapur di belakang. Api berkobar bernyala-nyala. Kakek nenek, 
ayah ibu, anak menantu, keponakan pembantu, cucu-cucu sibuk mengangkati membawa 
barang yang bisa terbawa, seraya berteriak, sambil menangis, tergopoh-gopoh 
menyelamatkan diri. Kasau jeriau yang terbakar di atap, berjatuhan dari atas.

Dalam keadaan rumah terbakar seperti itu, ada seorang anak kecil, 10 tahun 
umurnya, merengek-rengek pada ayahnya yang sedang termiring-miring bahunya 
memikul koper berat dan menjinjing tas ibunya. Anak kecil itu minta uang 
belanja besok pergi sekolah, merengek- rengek menuntut hak badannya. Anak kecil 
itu HH.

4. Taman Kanak-kanak Nol Kecil.

Seorang guru mengajarkan ejaan sepuluh huruf sambil menunjuk ke papan tulis:

“A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!”

Seluruh murid mengikutinya. Tapi ada seorang murid hanya mengeja satu huruf 
saja:

“G!”

“A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!” kata guru.

“G!” katanya.

“Ulangi bersama-sama. A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!”

“G!” ulangnya.

“Ulangi bersama-sama. A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!”

“G!” ulangnya lagi sendiri.

“Eh. Anak-anak. Ayo. Bersama-sama. Kamu juga. Ayo. A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K!”

“G!” dia keras kepala mau menang sendiri.


Dia ulang-ulangi terus dengan gigih alfabet ketujuh itu. Bocah itu tak peduli 
pada gabungan sepuluh alfabet itu yang harus dipelajarinya bersama-sama.

Ketika HH berfilsafat-filsafat, beragama-agama, bertasawuf-tasawuf sastra dalam 
rangkaian tulisan “polemiknya” itu, penyair & dosen filsafat & tasawuf UII 
Yogya Kuswaidi Syafi’ie menyelentik telinganya, dan HH mengaduh-aduh kenyerian.

5. Gerakan Syahwat Merdeka, Amerika Utara.

Saya pernah mendapat kesempatan ketemu seniman atau aktivis kelompok atheis, 
homoseks, lesbian, feminis, anarkis, demonstran anti perang Vietnam, 36 dan 26 
tahun yang silam, di Iowa City dan sekitarnya, ketika saya menjadi penyair tamu 
di International Writing Program, Universitas Iowa, 1971-1972 dan 1991-1992.

Dibandingkan dengan setting 1990-an, maka setting Amerika Serikat 1970-an jauh 
lebih seru, gemuruh, simpang-siur, penuh tinju beracungan dan koor demonstran 
berseragam hijau loreng-loreng anti perang Vietnam di lapangan. Sebuah revolusi 
seks sedang berlangsung pula. Kaum feminis gencar-gencarnya mengumumkan 
liberasi atau pembebasan kaum perempuan, maknanya liberasi kopulasi atau 
kebebasan berkelamin. Ganja dan heroin dikonsumsi seperti permen dan biskuit. 
Korban HIV-AIDS bermatian.

Di setasiun kereta bawah tanah New York, seorang laki-laki korban 
narkoba-HIV-AIDS menadahkan topi mengemis. Belum pernah saya melihat kerangka 
manusia berbalut kulit tanpa daging dan lemak sekurus dia itu. Sinar matanya 
kosong, suaranya parau ditenggelamkan deru mesin subway Manhattan.

Kematian banyak anggota kelompok ini, terutama di kalangan seniman di tahun 
1970-an, tulis seorang esais, bagaikan kematian di medan perang Vietnam. Sebuah 
orkestra simfoni di New York, anggota-anggotanya bergiliran mati saban minggu 
karena kejangkitan HIV-AIDS dan narkoba, akibat syahwat bebas bablas itu. Para 
feminis liberator kaum perempuan itu tak acuh pada bencana menimpa bangsa 
karena asyik mendandani penampilan selebritas diri sendiri, saban sebentar 
cengengesan wawancara di layar kaca. Saya sangat heran. Sungguh memuakkan.

Kalimat bersayap mereka adalah, “This is my body. I’ll do whatever I like with 
my body.” “Ini tubuhku. Aku akan lakukan apa saja yang aku suka dengan tubuhku 
ini.” Congkaknya luar biasa, seolah-olah tubuh mereka itu ciptaan mereka 
sendiri.

6. Seusai Polemik-polemikan Itu.

Itulah adegan garis besar Gerakan Syahwat Merdeka, Amerika Utara, 1970-an, yang 
berulang 3 dasawarsa kemudian di negeri kita dalam format sama, detail di 
sana-sini berbeda. Sosok dan bentuk organisasi resminya tak ada, tapi jaringan 
kerjasamanya mendunia, kapital raksasa mendanainya, ideologi gabungan 
melandasinya dengan gagasan neo-liberalisme sebagai lokomotifnya, dan banyak 
media massa jadi pengeras suaranya.

Kelompok atheis, homoseks, lesbian, feminis, dan anarkis klop, bertemu ruas 
dengan buku memperkuat sepuluh komponen Gerakan Syahwat Merdeka negeri kita 
ini. Dengan energi dinamo neo-liberalisme, ciri kolektif mereka adalah tidak 
mau diatur oleh akal waras, anti peraturan yang ada, penuh gairah melabrak 
tabu, dan budaya malu sudah habis dikikis dari sistem susunan syaraf mereka. 
Kita harus pikirkan cara untuk penumbuhan kembali budaya malu ini kepada bangsa 
secara keseluruhan.

Kembali ke “polemik.” Sebuah pesan pendek kesasar ke telepon genggam saya. HH 
mengaku kepada seorang sastrawan seumur dia, bahwa dirinya atheis. Dia 
sembunyikan itu dari saya. Ini kasus menarik, karena dalam “polemik” dia 
menjajakan ayat Quran dengan tangan kanan, dan ternyata di luar “polemik” dia 
mengibarkan umbul-umbul atheisme dengan tangan kiri. Tak ada rasa (canggung) 
risinya, karena ditunjang (hipok) risi 24 karat. Karena ingin tahu, tiga kali 
lewat pesan pendek saya bertanya kepadanya, dan dia mengelak terus. 
   
  Selepas kali yang keempat HH menjawab (tapi tetap mengelak untuk menjawab 
pendek langsung “ya” atau “tidak”), dengan berteori-teori abracadabra sepanjang 
1100 karakter tentang apa itu atheisme. Pada hari Ahad 7/10/2007 sebuah pesan 
pendek HH ditembuskan pula ke telpon genggam saya, yang dengan bangga menyebut 
“aku menyelundupkan ‘atheisme’ pagi ini di media indonesia dalam ruang cerpen.” 
Hebat. Sms itu dikirimkannya di bulan Ramadhan, dua pekan sebelum Idulfitri.

Kawan-kawan saya bertanya tentang “polemik” yang berlangsung di Jawa Pos, 
Republika, Media Indonesia , dan Sekitar Indonesia itu. Saya katakan itu bukan 
polemik, tapi polemik-polemikan, atau (dengan tanda kutip) “polemik,” karena 
gagasan saya A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K, hanya dialihkan ke GA saja. Format masalah 
G hanya 10% dari keseluruhan dari segi komponen, bahkan kalau ditinjau dari 
segi lain bisa cuma 1%, mungkin hanya 0,1% dalam keseluruhan Gerakan Syahwat 
Merdeka. Tapi HH berusaha keras mengalihkan masalah, dan memperbesar porsi 
sastra. Saya tidak layani pengalihan masalah itu. Sementara itu muncul 
pengakuan atheismenya itu.

Kemudian datanglah e-mail 20/10/2007 yang ditembuskan kepada saya berjudul 
“Taufiq Ismail Mengadukan Hudan Hidayat Atheis Kepada Pemerintah.” Rupanya HH, 
yang bekerja di Kementerian Pemuda dan Olahraga dipanggil atasannya, yang tentu 
saja mengikuti “polemik” anakbuahnya di media pers itu.

Saya tidak pernah mengadukan HH kepada Pemerintah. Mengadukan? Buat apa? Apa 
urgensinya? Tidak ada untungnya sama sekali. Bahkan rugi memboroskan kalori 
jasmani dan menghabiskan waktu arloji saya. Anakmuda ini cerdik sekali mencari 
cara mempublikasikan dirinya dan bisa jadi kasus contoh praktek di London 
School of Public Relations.

Urusan saya banyak, dan “polemik” yang secara cerdik dibelokkan persoalannya 
ini ternyata berakibat publikasi gratis popularitas yang menguntungkan HH saja. 
Saya rugi tak berhasil meyakinkannya tentang beratnya masalah 
A-B-C-D-E-F-G-H-I-J-K bagi bangsa, yang begitu sempitnya diputar-putar dalam 
masalah G saja. Kawan-kawan sastrawan, terutama yang muda-muda yang kenal dia 
lama, semua bilang agar saya stop menghabiskan energi, jangan melayani, jangan 
mau gratis jadi manajer Public Relations-nya dan supaya melupakan HH saja. Saya 
rasa itu benar dan saya sudah agak terlambat.

Misalkan Menpora dan siapa pun bertanya kepada saya bagaimana saya menilai 
“atheisme” gagah-gagahan anakmuda seumur anak saya itu, menilik kepada 
argumentasinya, saya akan menilai dia seorang yang gigih mencoba mencari Tuhan 
dengan cara yang dia pilih sendiri, tapi pada saat ini metodologinya masih 
kusut dan dia ruwet-ruwetkan sendiri. Menutup e-mail 13.677 karakter ini, 
berikut ini alinea terakhir.

Mudah-mudahan suatu waktu kelak dia akan lepas dari kekusutan dan keruwetan 
tersebut, kemudian mendapat huda, petunjuk, sehingga betul-betul memperoleh 
hidayah, pencerahan, di jalan yang mustaqim. (Nama yang diberikan orangtuanya 
sangat tak cocok untuk seorang mulhid, seorang atheis. Tapi saya tak 
menganjurkannya ganti nama). Baraka Llahu fihi wa ahlihi. Amin.***
   
  Selasa, 23 Oktober 2007.


e-mail: [EMAIL PROTECTED]  
  blog: http://mediacare.blogspot.com  
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke