sumber:
  http://artculture-indonesia.blogspot.com/2007/11/fiksi-dan-fakta-manikebu.html
   
   
   
  From: Farida Wardhani
E-mail: [EMAIL PROTECTED]

Saya terkejut membaca postingan E. Harikumara, yang menunjukkan adanya 
penyimpangan dalam cerita tentang "Manikebu" yang tidak sesuai dengan faktanya 
seperti tertulis dalam teks.

Saya tidak akan menyebut ini "penggelapan sejarah", akan tetapi memang 
memalukan juga bahwa selama 40 tahun tidak ada yang mencoba mengecek sendiri 
bagaimana "Manikebu" sebenarnya.

Tidak kalah memalukan ialah bahwa hampir tidak satu pun suara yang menyebut 
apalagi mengecam pemberangusan Manikebu di tahun 1964.

Selama ini cerita yang beredar ialah pertentangan antara "Lekra" dan "Manikebu" 
merupakan pertentangan antara "humanisme universil" dari "Manikebu" dengan 
(katakanlah) "sosialisme" dari "Lekra". Juga antara "seni untuk seni" dengan 
"seni untuk rakyat".

Tetapi jika Manikebu tidak berpendirian "seni untuk seni" dan malah menolak 
bentuk tertentu "humanisme universil", lalu apa sebenarnya yang jadi 
pertentangan? Mengapa Manikebu dikalahkan dalam pertentangan itu?

Bagi generasi muda, semua itu masih gelap. Saya harap beberapa di antara 
generasi zaman 1960-an yang masih hidup, termasuk Goenawan Mohamad (Manikebu) 
dan Putu Oka (Lekra) sudi menjelaskannya.

Farida Wardhani.

_____________________________

Fiksi dan fakta "Manikebu"

From: Ernesto Harikumara
E-mail: [EMAIL PROTECTED]


Akhir-akhir ini "Manikebu" disebut-sebut lagi. Saya jadi tertarik untuk membaca 
sendiri teks pernyatan yang disebut "Manifes Kebudayaan" di tahun 1963 itu. 
Terutama setelah muncul tulisan E. Endratmoko dalam blog ACI 
(Art-Culture-Indonesia) yang menunjukkan kesalahan seorang penulis makalah 
tentang "Manikebu". Setelah saya dapatkan teks itu (dapat dicari dengan 
Google), saya temukan bahwa kesalahan memang sering terjadi tentang "Manikebu".

Sebelum saya masuk ke dalam persoalan itu, saya tuliskan beberapa data. Teks 
"Manikebu" berjudul "Manifes Kebudayaan" dan diterbitkan pertama kalinya dalam 
Majalah Sastra, no.9/10, tahun II, 1963. Mengapa disebut "manifes" dan bukan 
"manifesto"? Tidak ada penjelasan.

Naskahnya terdiri dari enam halaman. Halaman pertama teks manifesto itu, 
terdiri dari empat paragraf. Di bawah teks itu, terdapat 20 nama sastrawan, 
perupa dan komponis, antara lain H.B. Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Sukito, 
Zaini, Taufiq Ismail, Goenawan Mohamad, Soe Hok Jin (yang kemudian memakai nama 
Arief Budiman), Binsar Sitompul.

Halaman ke-2 sampai dengan ke-6, berisi "Penjelasan Manifes Kebudayaan". 
Terdiri dari tiga bagian. Bagian pertama: "Pancasila sebagai Falsafah 
Kebudayaan", "Kepribadian dan Kebudayaan Nasional", dan "Politisi dan Estetisi".

Halaman terakhir disebut nama tempat dan tanggal: "Djakarta, 17 Agustus 1963". 
Juga sebuah daftar bacaan yang disebut "Literatur Pancasila"�. Dalam 
daftar ini terdapat dua tulisan Bung Karno, satu tulisan Dr. H. Roeslan 
Abdoelgani, dan satu tulisan Wiratmo Sukito.

[Catatan saya dari penelitian: Manifesto ini kemudian diejek dengan sebutan 
"Manikebu" oleh media massa seperti Harian Rakjat, suratkabar PKI, lembaran 
kebudayaan "Lentera" yang dipimpin Pramoedya Ananta Toer dalam koran Bintang 
Timur. Dalam koran-koran itu juga dimuat laporan tentang aksi pengganyangan 
"Manikebu"]

Nama itu melekat hingga sekarang. "Manikebu" kemudian dikaitkan dengan beberapa 
pendirian tentang kebudayaan dan politik. Terutama tentang "humanisme 
universil" dan "politik dan kesenian". Ini menunjukkan secara tidak langsung 
bagaimana besarnya pengaruh kedua media itu waktu itu dalam opini politik.

Lebih dari 40 tahun kemudian, ketika membaca teks "Manifes Kebudayaan" 
(seterusnya saya singkat MK) sendiri, saya menemukan hal-hal yang mengejutkan. 
Rupanya terdapat beberapa sangkaan yang bertentangan dengan fakta tertulis.


Tentang "Humanisme Universil" 

Umum dikatakan, "Manikebu" membawakan pendirian "humanisme universil". Ternyata 
teks MK menyebut ada dua makna 'humanisme universil', dan MK menolak salah satu 
dari makna itu:

"Apabila dengan 'humanisme universil' dimaksudkan pengaburan kontradiksi 
antagonis, kontradiksi antara kawan dengan lawan, maka kami akan menolak 
humanisme universil itu. Misalnya sebagaimana yang dilakukan oleh NICA dahulu, 
di mana diulurkan kerjasama kebudayaan di satu pihak, tetapi dilakukan aksi 
militer di lain pihak."

Tetapi MK mendukung 'humanisme universil' apabila humanisme itu mengakui 
'kebudayaan universil' yang merupakan "perjoangan dari budinurani universil 
dalam memerdekakan manusia dari setiap manusia dari rantai dan belenggunya".

Rakyat di manapun, kata MK, "tidak mau ditindas oleh bangsa-bangsa lain, tidak 
mau dieksploitir oleh golongan-golongan apapun, meskipun golongan itu adalah 
bangsanya sendiri".


Tentang "Seni Untuk Seni"

Benarkah "Manikebu" berpendirian 'seni untuk seni'? Ternyata dalam MK terdapat 
kalimat ini: "Pekerjaan seorang seniman senantiasa harus dilakukan di 
tengah-tengah dunia yang penuh dengan masalah-masalah, analog dengan pekerjaan 
seorang dokter yag senantiasa harus dilakukan di tengah-tengah dunia yang penuh 
dengan penyakit-penyakit."

Dari sini dapat disimpulkan agaknya, bahwa bagi "Manikebu" pekerjaan seorang 
seniman sejajar dengan pekerjaan penyembuhan di masyarakat. Jadi bukan 'seni 
untuk seni'.


Tentang "Seni dan Politik"

Pendirian MK mengenai seni dan politik bertolak dari tentang paham 'realisme 
sosialis'. Menurut MK, ada dua macam 'realisme sosialis' dalam sejarahnya. Yang 
pertama, yang merupakan lanjutan konsepsi kebudayaan Stalin. Bermula di Uni 
Soviet, dalam tahun 1930-an, berkembang pemujaan ("festisyisme") kepada Stalin, 
pemimpin komunis internasional masa itu. Dalam masa ini, kebudayaan 'terancam 
dengan sangat mengerikan. Di bawah Stalin, kesenian "ditertibkan" menurut 
"konsepsi yang sama dan sektaristis". Inilah "realisme sosialis" yang dasarnya 
adalah paham "politik di atas estetik".

[catatan dari penelitian saya: "Realisme Sosialis" dijadikan doktrin resmi di 
bawah pemerintahan Stalin di tahun 1932 di Rusia. Pada masa itu digalakkan 
"pemujaan kepada Stalin" dalam propaganda melalui seni. Pemujaan ini, sering 
disebut sebagai "personality cult" atau "kultus pemimpin", kemudian dibongkar 
setelah Stalin wafat].

Akan tetapi di samping "realisme sosialis" model Stalin, MK menyebut adanya 
"realisme sosialis" yang lain, yaitu yang diperkenalkan oleh Maxim Gorki. 
"Realisme sosialis" ini mengakui bahwa "kebudayaan tidak sebagai suatu sektor 
politik". Bahkan menurut MK, dalam pandangan "realisme sosialis" Gorki, 
kebudayaan adalah "induknya kehidupan politik".

Maka MK hanya menentang "realisme sosialis" menurut ajaran Stalin. MK menentang 
"politik sebagai panglima". Akan tetapi MK juga menganggap "faham estetik di 
atas politik" adalah "bersifat borjuis". MK menyebut "fungsi estetik murni" 
sebagai "imperialisme estetika".


Kesimpulan:

Ternyata tidak betul, bahwa "Manikebu" menyuarakan "humanisme universil", 
berprinsip "seni untuk seni" dan mengutamakan "estetik di atas politik".

Yang masih perlu diteliti ialah mengapa "Manikebu" kemudian selalu digambarkan 
dengan keliru sampai sekarang. Masih juga perlu para sejarawan meneliti mengapa 
"Manikebu" dilarang Pemerintahan "Demokrasi Terpimpin" pada tanggal 8 Mei 1964.

Kesan saya, sejak di tahun 1964, MK telah mengalami "penggelapan" sejarah. 
Sekarang ketika "penggelapan" sejarah tentang G30S, Aidit dan PKI mulai 
diungkap, banyak kejadian atau kasus di masa lalu harus disoroti dan diperiksa 
kembali. Di antaranya MK.
   
   


blog: http://artculture-indonesia.blogspot.com 
   

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to