--- In ppiindia@yahoogroups.com, "Asnawi Ihsan" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > > Bung Nug dan Mbak Rulita, > > > > Seinget saya, meski awalnya sebagai budak tapi akhirnya Maria Al Qibtiyah> dinikahi oleh Nabi dan akhirnya memberikan Nabi seorang anak laki-laki yang> bernama Ibrahim, tapi dalam keterangan lain disebutkan bahwa nama anak> laki-laki Nabi itu bernama Qosim karena itu Nabi juga kerap disapa Abu> al-Qosim (ayah Qosim). Tapi sayangnya, putra semata wayang ini meninggal> dunia tidak lama setelah dilahirkan (tidak disebutkan berapa lama bayi> laki-laki itu sempat hidup), keterangan ini salah satunya bisa dilacak dalam > kitab hadis yang sangat populer yaitu Shoheh Muslim jilid dua pada bab> "Meratapi Kuburan." > > > Jika keterangan dalam kitab hadis shoheh muslim itu benar bahwa Maria Al> Qibtiyah yg awalnya budak itu dibebaskan lalu dinikahi Nabi, Maka fatwa> MUI, UU perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yang melarang pernikahan beda> agama perlu dikaji ulang, karena nyatanya Nabi Muhammad menikahi Maria yg> beragama Kristen Koptik. seharusnya hal ini menjadi bukti sejarah yang cukup> kuat untuk mengembangkan fikih yang pluralis dan moderat. Seharusnya MUI> juga tidak hanya berpihak kepada mazhab pemikiran dan fikih yang dipegang> MUI. Dari kasus ini juga, semakin menguatkan dugaan saya bahwa MUI belum > bisa obyektif dalam proses istinbath hukum (fatwa). >
1) Ketika Nabi SAW menikahi Al-Qibtiyah, apakah kemudian Al-Qibtiyah memeluk agama Islam? 2) Apakah hanya karena Nabi SAW pernah menikahi non-muslim, lalu MUI harus mengkaji ulang fatwa? Ini sama saja dengan pertanyaan Apakah karena Nabi pernah hidup berpoligami, fatwa MUI harus mendukung poligami? Saya kira dalam mengeluarkan fatwanya, MUI harus melihat sikon di Indonesia secara menyeluruh (kontekstual). Maksudnya, pasti ada skala prioritas untuk keperluan umat Islam Indonesia menyeluruh, kan namanya juga Majelis Ulama INDONESIA (Bukan Majelis Ulama Sedunia). Kalau memang fatwa MUI tidak mempunyai kekuatan hukum, mengapa kita repot ya sama fatwa MUI? Mestinya kita direpotkan dengan peranti hukum di Indonesia saja. terimakasih dan wassalam,