“Pada akhir zaman akan muncul 
sekelompok orang yang berusia muda dan jelek budi pekertinya. Mereka 
berkata-kata dengan menggunakan firman Allah, padahal mereka telah keluar 
dari Islam seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tidak 
melewati tenggorokannya. Di mana pun kalian menjumpai mereka, maka 
bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya orang yang membunuh mereka akan 
mendapatkan pahala di Hari Kiamat.” (HR. Bukhari) 



Islam Liberal dan Musyrikin Mekah 
DR. Daud Rasyid, M.A.   
http://alislamu.com/index.php?option=com_content&task=view&id=784&Itemid=10 




Sebelum kebangkitan Muhammad saw. sebagai utusan Allah SWT, masyarakat 
Mekah setidaknya menyimpan dua idiologi. Pertama, sisa agama Ibrahim yang 
masih mempertahankan tauhid (keesaan Allah SWT) atau lebih populer dengan 
sebutan "al-hanifiyah". Kedua, kaum musyrikin yang terkenal dengan 
idiologi paganismenya. Mereka mempertuhankan batu dan benda. Namun, ketika 
mereka menyembah patung-patung berhala itu tidak serta-merta dikatakan 
bahwa mereka tidak meyakini adanya Tuhan. Pasalnya, sebagian mereka 
mengakui bahwa patung-patung itu mereka sembah sebagai perantara 
(mediator) yang menghubungkan mereka dengan Allah. Begitulah keyakinan 
mereka seperti disebutkan Allah dalam Al-Qur'an surah Az-Zumar ayat 3, 
"Tidaklah kami menyembah mereka, melainkan untuk mendekatkan kami kepada 
Allah." Kepercayaan mereka tidak sebatas pada pengakuan adanya Tuhan saja. 
Kaum musyrikin Mekah juga percaya bahwa Allah adalah Tuhan yang 
menciptakan alam semesta. Hal ini juga tergambar dari pemberitaan Allah 
dalam Al-Qur'an surah Luqman ayat 25, "Jika engkau tanyakan kepada mereka 
siapa yang menciptakan langit dan bumi, niscaya mereka menjawab, 'Allah'." 
Kepercayaan mereka ini dalam bahasa aqidahnya ialah "tauhid rububiyyah". 
Artinya, keyakinan kepada Allah sebagai pencipta alam, yang menghidupkan, 
mematikan, dam memberi rezeki. 

Tetapi, dalam kondisi seperti ini, mereka masih dicap sebagai kafir dan 
musyrik. Sebab, mereka tidak mengilahkan Allah SWT dalam ubudiah. Mereka 
tidak tunduk kepada aturan yang ditetapkan oleh Allah. Mereka tidak 
menjadikan Allah sebagai Al-Hakim dan Asy-Syar'i (pembuat hukum dan 
legislator). Mereka membuat cara, ajaran, dan nilai sendiri dalam 
mendekatkan dirinya kepada Allah dengan cara membuat tuhan-tuhan kecil 
sebagai perantara kepada Allah. Mereka lebih patuh kepada peraturan yang 
mereka buat sendiri untuk menggantikan hukum yang telah diturunkan Allah. 
Tauhid inilah yang membedakan antara seorang mukmin dengan orang musyrik. 
Tauhid ini disebut "tauhid uluhiyyah". 

Bencana besar yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah terperosok ke 
dalam kemusyrikan yang mungkin tidak disadari akibat keawaman. Anda jangan 
mengira bahwa musyrik itu hanya orang yang menyembah Tuhan dengan cara 
ritual agama di luar Islam. Atau, orang yang percaya kepada roh-roh halus 
dan meminta bantuan kepada kekuatan ghaib, seperti jin dan syaithan. Bukan 
itu saja yang disebut musyrik. Tetapi, tidak kalah dari apa yang 
disebutkan itu adalah musyrik dalam soal pemikiran. Seseorang yang 
meyakini kebenaran pemikiran orang kafir yang bertentangan dengan ajaran 
Islam juga sudah menjadi musyrik. Orang yang menerima ajaran Karl Marx, 
Lenin, Darwin, dan pemikir-pemikir Barat lainnya, sebenarnya sudah menjadi 
musyrik, apalagi membela dan memperjuangkannya. Karena, pemikiran mereka 
itu tidak berbeda dengan paham, aliran, atau dalam bahasa Al-Qur'an 
disebut millah. 

Pada zaman modern ini banyak kaum intelek kita yang terkagum-kagum dengan 
pemikiran yang datang dari Barat, untuk menggantikan Islam. Jika 
ditelusuri, akan diketahui bahwa hal itu berawal dari sejak masuknya 
penjajah Barat ke negeri-negeri muslim. Imperialis Barat tidak sekadar 
merampas kekayaan alam negeri-negeri muslim, tetapi juga merampas aqidah, 
mencuci otak, menghapus identitas, dan menghilangkan rasa kebanggaan pada 
jati diri mereka. Untuk kalangan tertentu, program imperialis itu boleh 
dibilang berhasil. Pasalnya, mereka itu betul-betul membeo dan mengekor ke 
Barat. Bukan hanya dalam hal teknologi--yang masih bisa ditoleransi, 
tetapi sampai ke pemikiran, opini, paradigma, bahkan sampai budaya, 
seperti cara berpakaian, cara makan, dansa, musik, dan sejenisnya. 

Pada awal kemerdekaan banyak sekali kaum terpelajar kita, terutama mereka 
yang pernah dididik di Barat, termakan oleh paham sekularisme. Agama 
(Islam) dituduh biang keterbelakangan, kemiskinan, dan kebodohan. 
Pendidikan ala Barat membentuk pola pikir manusia menjadi sekuler. Menurut 
mereka, barat bisa membangun dan mencerdaskan (padahal bukannya membangun 
tetapi menjajah dan menghancurkan) adalah karena meninggalkan agama. 
Adapun umat Islam terjajah karena masih mempercayai kebenaran agama 
sebagai doktrin untuk mengatur kehidupan, atau terlalu fanatik pada agama. 


Setelah bangsa-bangsa muslim itu merdeka, doktrin berikutnya adalah alasan 
mengapa negara-negara Barat itu bisa maju dalam teknologi, pembangunan, 
dan kehidupan masyarakatnya. Menurut mereka, hal itu disebabkan bangsa 
Barat memegang teguh sekularisme, memisahkan negara dari agama. 

Paham ini berkembang sedemikian rupa, sejalan dengan agenda pemerintah di 
negeri-negeri muslim. Pasalnya, penguasa-penguasa itu memang anak asuh 
kaum imperialis Barat, dididik di Barat, bahkan hidup juga di Barat, 
bergaul dengan orang Barat, dan cara hidupnya juga kebarat-baratan. Kaum 
muslimin yang berpegang teguh mempertahankan identitas dirinya dikatakan 
terbelakang, tidak modern, dan tidak mengikuti perkembangan zaman. 

Kekuasaan adalah sarana yang sangat efektif untuk menyebarkan sebuah 
paham, terlepas benar atau salah paham tersebut. Ketika penguasa menganut 
paham sekularisme (walaupun seolah-olah ditolak), maka dengan mudah paham 
ini menyebar ke masyarakat melalui penanaman kurikulum pendidikan, 
pengaruh media massa, bahkan birokrasi. 

Dalam tataran pemikiran, ada sekelompok cendekiawan yang gigih menyebarkan 
paham-paham Barat itu melalui buku, media massa, diskusi, dan ceramah di 
kampus. Bahasa-bahasa yang mereka gunakan biasanya bahasa-bahasa yang 
memukau, dan menjajikan sesuatu yang baru nan indah. Mereka menghendaki 
umat Islam keluar dari keyakinan dan pemahamannya, sebagaimana Barat 
meninggalkan agamanya. 

Umpamanya, sudah tidak mungkin lagi mempraktikkan ajaran Islam itu secara 
harfiah, sebagaimana pada masa Rasulullah saw., atau masa-masa sahabat 
dahulu. Bukankah kita sekarang sudah berada pada zaman globalisasi, yang 
dunia ini sudah menjadi kecil, ibarat kampung. Interaksi budaya yang 
sedemikian kental tak lagi bisa dihindari. Jika kita berkeras untuk 
mempraktikkan ajaran Islam, bukankan berarti kita akan tersisih dari 
pergaulan internasional? 

Juga, mereka sering mempertanyakan model Islam bagaimana yang ingin 
diterapkan dalam dunia modern ini, apakah model Pakistan, Arab Saudi, 
Iran, atau Afghanistan? Pertanyaan mereka itu lebih bernada sinis 
ketimbang mencari tahu model penerapan yang ideal. 

Pernyatan-pernyataan mereka yang menempatkan Islam seolah-olah sebagai 
tertuduh, tidak modern, kolot, dan tidak mengikuti perkembangan zaman 
sebenarnya tergesa-gesa. Karena, apa yang mereka katakan itu adalah 
berdasarkan kesimpulan apa yang terjadi saat ini. Mereka sama sekali tidak 
memandang jauh ke depan bagaimana pergerakan perubahan peradaban itu 
kemungkinan akan terjadi. Mereka tidak merenungkan kemungkinan bahwa Islam 
bisa bangkit dari apa yang terjadi saat ini. 

Perguruan Tinggi Islam Menjadi Target Barat

Dalam mempropagandakan idiologi sekulernya, Barat menempuh segala cara dan 
menerobos segala lapangan. Tak saja pendidikan yang terkesan sekuler, 
seperti perguruan tinggi umum, paham sekuler juga disusupkan ke 
perguruan-perguruan tinggi Islam. Bahkan, sekarang sudah masuk ke 
ormas-ormas Islam yang besar. Tokoh-tokoh muda dari beberapa ormas Islam 
itu mereka besarkan dan populerkan namanya, hingga akhirnya kekuatan 
mereka tersebar di mana-mana. 

Fenomena ini bukan terjadi secara kebetulan, tetapi sesuatu yang sudah 
direncanakan dengan matang dan diprogram dengan baik. Cara-cara mereka 
sungguh rapi dan halus, tetapi menghasilkan sebuah produk yang cukup 
menakjubkan. Mereka mengawali dengan kerja sama di bidang pendidikan dan 
penelitian, dengan pemberian beasiswa untuk belajar di negara-negara 
Barat, sarang orientalis Yahudi dan Kristen fundamentalis. Barat sudah 
lama membaca mentalitas orang-orang Timur yang terkagum-kagum pada Barat. 
Belajar ke Barat melahirkan kebanggaan tersendiri dalam kejiwaan 
orang-orang Timur. Hal ini dimanfaatkan orientalis dengan berkedok ilmiah 
dan penelitian. Sehingga, dengan mudah mereka mendoktrin peneliti-peneliti 
muda yang belajar di universitas-universitas mereka dengan paham dan 
idiologi mereka. Mahasiswa yang tadinya masih memiliki keteguhan dan 
kebanggaan pada Islam digoyahkan keyakinannya, dibuat menjadi ragu, dan 
akhirnya menisbikan segala idiologi. 

Prinsip-prinsip yang mereka tanamkan dengan berkedok penelitian dan ilmiah 
tadi, di antaranya adalah sebagai berikut. 1. Kebenaran tidak bernilai 
mutlak tetapi relatif. 2. Kebenaran tidak satu tetapi banyak, tergantung 
dari sudut mana ia dilihat. Sesuatu yang benar menurut orang bisa saja 
dipandang salah oleh orang lain. Demikian pula halnya agama, agama 
tertentu dipandang benar oleh pemeluknya, tetapi pemeluk agama lain 
memandang salah. 3. Setiap informasi tidak ada yang kebal kritik. Semuanya 
bisa dipertanyakan (baca: diragukan) kebenarannya. Bila kaidah ini 
diterima, wahyu yang merupakan informasi dari Allah pun perlu 
dipertanyakan kebenarannya. Ini sebuah sikap yang tidak berjarak dengan 
kekafiran. Celakanya, kaidah ini hanya mereka gunakan ke luar (melihat 
Islam, sumber-sumber dan ajarannya), tidak mereka gunakan ke dalam 
idiologi mereka sendiri. Padahal, jika mereka gunakan ke intern mereka, 
semua keyakinan, idiologi, dan agama mereka akan hancur berkeping-keping 
dan tidak mengandung asas rasionalnya. Pasalnya, sumber-sumber keyakinan 
mereka sama sekali tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan validitasnya, 
apalagi rasionalitasnya. 4. Bila Anda ingin melihat sesuatu dengan jernih, 
Anda harus keluar dulu dari bagian yang dilihat. Jadi, bila Anda ingin 
mengetahui secara objektif apakah Islam itu benar atau tidak, maka Anda 
harus keluar dulu dari Islam. Atau, paling tidak Anda harus menghilangkan 
segala macam rasa keberpihakan kepada Islam. Kalau tidak demikian, maka 
analisis Anda tetap dinilai subjektif dan tidak jernih. Sikap 
ketidakberpihakan kepada agama Allah ini banyak lahir dari sarjana-sarjana 
produk Barat. Sebuah sikap yang tidak menggambarkan keimanan seorang 
muslim. 5. Bebas berpendapat. Siapa saja boleh mengatakan apa saja. Jadi, 
tidak ada sesuatu yang tabu, dan tidak ada koridor yang harus dijaga. 
Tidak ada batas yang tidak boleh dilanggar. Jika kaidah ini diterima, 
konsekuensinya adalah bahwa seseorang bebas mengingkari apa saja yang 
diajarkan Islam walaupun itu sudah merupakan sesuatu yang pasti (qath'i). 

Mereka tidak banyak mengetahui tentang Al-Qur'an dan tidak mengerti hadits 
serta tidak memahami kitab-kitab klasik tetapi mau mengarungi samudera 
yang luas itu. Akhirnya, merekalah yang tenggelam dalam lautan hawa nafsu 
dan keangkuhan. Maka, terjadilah seperti apa yang kita lihat sekarang ini, 
suara-suara bebas yang sudah tidak lagi mengenal rambu-rambu itu menyerang 
Islam. 

Beginilah cara-cara orientalis merusak pemikiran peneliti muslim yang 
belajar ke Barat, khususnya yang mengambil bidang kajian "Islamic 
Studies", "Studi Oriental", "Studi Timur Tengah", "Studi Kawasan", dan 
yang sejenisnya. Bagi mahasiswa, biasanya sudah langsung terperangkap 
dalam kaidah-kaidah itu. Ditolak susah, diterima agak berat. Tetapi, 
akhirnya lebih cenderung menerima, karena efeknya lebih ringan, ketimbang 
melawan arus pemikiran si profesor. 

Ketika mereka kembali ke tanah air, pola berpikir seperti yang ditanamkan 
oleh gurunya itu mereka bawa kembali ke kampusnya dan mereka ajarkan, 
bahkan mereka kembangkan dengan inovasi-inovasi baru. Sehingga, tidak 
jarang ada "doktor-doktor" tamatan Barat yang pikirannya lebih liberal 
dari orientalis sendiri. 

Alumnus Barat itu mengajarkan paham yang mereka terima kepada mahasiswanya 
di tanah air. Mereka menghasilkan para sarjana dan doktor di perguruan 
tinggi dalam negeri. Kemudian, mereka yang mendapat doktor di dalam negeri 
tadi kembali ke daerahnya menjadi dosen-dosen di program pascasarjana atau 
program S1 di perguruan tingginya. Mereka juga melakukan hal yang sama, 
menyebarkan hal serupa kepada mahasiswanya, memahami Islam dengan pola 
orientalis. Sehingga, dengan cara yang sistemik, paham sekuler dan 
pemahaman tentang Islam menurut pola orientalis itu menyebar dengan cepat 
dan tanpa terasa. 

Mereka yang menjadi mahasiswa tadisetelah sarjana juga menyebarkan paham 
serupa ke masyarakat. Pasalnya, mereka akan menjadi rujukan di 
masyarakatnya, sebab mereka tamatan perguruan tinggi Islam dan mengajarkan 
bidang studi Islam. Lalu, seperti apa pemahaman Islam di Indonesia pada 
masa mendatang, bila agenda Barat itu berjalan mulus tanpa hambatan? 

Barat Ketakutan pada Islam

Salah satu sikap mental yang diderita oleh Barat ialah ketakutan pada 
Islam dan umat Islam yang berpegang pada Islam. Sejak berakhirnya perang 
salib, pihak Barat senantiasa menyimpan rasa takut pada agama yang satu 
ini. Karena, dalam keyakinan mereka, Islam ini adalah agama yang menyimpan 
potensi dahsyat, mampu menggerakkan umatnya untuk melawan apa saja. Ini 
tidak pernah ada pada ajaran agama lain. Apalagi, kemajuan teknologi 
persenjataan modern tidak terlalu ampuh untuk menaklukkan umat Islam. Hal 
ini dipahami betul oleh kalangan Barat. Oleh karena itu, mereka 
benar-benar mewaspadai Islam, khususnya umat Islam yang tampak berpegang 
pada ajarannya. 

Biarpun umat Islam mati-matian memberi pengertian bahwa Islam adalah agama 
pembawa rahmat bagi seluruh alam, namun tetap saja pola pikir Barat itu 
tidak berubah. Karena, bagi Barat, bukan mereka yang dituntut untuk 
mengerti Islam, tetapi umat Islam yang harus mengerti Barat. Artinya, umat 
Islam itu harus menyesuaikan dirinya dengan budaya, pola pikir, dan 
tatanan hidup Barat. Itu yang mereka tuntut. 

Sebelum ini berhasil, semua upaya dialog, diskusi, tukar pikiran, saling 
pengertian, itu semua hanya sebatas retorika belaka. Target mereka, tak 
lebih dan tak kurang, umat Islam harus mengikuti cara Barat. Kalau kita 
menggunakan pendekatan Al-Qur'an, maka itulah yang sudah disinyalir oleh 
Allah melalui firman-Nya (yang artinya), "Mereka tidak akan senang 
kepadamu, sebelum kamu mengikuti agama (millah) mereka." (Al-Baqarah: 
120). 

Jika ada satu dua dari orang-orang Barat yang bisa diajak bicara dan mau 
mengerti tentang Islam dan umatnya, itu tentu tidak mewakili filsafat 
hidup orang Barat secara umum. 

Di dunia Islam, ketakutan pada Islam ini juga ada. Tentunya dari mereka 
yang sudah terlanjur cinta pada peradaban Barat. Atau, bisa jadi mereka 
yang sudah diasuh dan lama menyusu kepada Barat. Apa yang dinilai oleh 
Barat baik, dia juga katakan baik, dan sebaliknya. Sampai ke tingkat ini 
Barat telah berhasil mengikis kepribadian umat Islam, meruntuhkan 
identitasnya, dan menghancurkan rasa bangga pada jati diri dan agama 
mereka. 

Dengan melihat kenyataan sekarang ini, nampaknya sudah banyak korban 
berjatuhan. Suara-suara sumbang pun semakin berseliweran. Umat pun semakin 
geram. 

Sumber: Diadaptasi dari Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, 
Daud Rasyid (Jakarta: Akbar, Media Eka Sarana, 2002), hlm. 1-11). 

Oleh: Abu Annisa 

-- 
Salamun 'ala manittaba al Huda 




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke