“Pada akhir zaman akan muncul sekelompok orang yang berusia muda dan jelek 
budi pekertinya. Mereka 
berkata-kata dengan menggunakan firman Allah, padahal mereka telah keluar 
dari Islam seperti melesatnya anak panah dari busurnya. Iman mereka tidak 
melewati tenggorokannya. Di mana pun kalian menjumpai mereka, maka 
bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya orang yang membunuh mereka akan 
mendapatkan pahala di Hari Kiamat.” (HR. Bukhari) 


"Al-Quran Edisi Kritis"
Sumber : http://www.swaramuslim.net/more.php?id=5802_0_15_0_M

Oleh: Adian Husaini
Seperti kita bahas dalam dua kali catatan sebelumnya, dalam acara 
Konferensi Tahunan tentang Studi Islam (ACIS) VII di Riau, 21-24 November 
2007, kepada para peserta dibagikan buku murid Nasr Hamid Abu Zaid, yaitu 
Dr. Nur Kholish Setiawan, yang berjudul Orientalisme, Al-Quran, dan Hadis. 
Buku ini sebenarnya merupakan kumpulan karangan sejumlah akademisi di UIN 
Yogya, antara lain Dr. Sahiron Syamsuddin, yang juga alumnus salah satu 
studi Islam di Jerman. 

Dalam buku ini, dimuat artikel pembuka oleh Dr. Nur Kolish yang berjudul 
"Orientalisme Al-Quran: Dulu, Kini, dan Masa Datang." Dalam tulisan 
inilah, kita bisa menikmati pandangan berbagai orientalis terhadap 
Al-Quran. 

Dengan sangat bagus dan artikulatif, Nur Kholish menguraikan 
pemikiran-pemikiran para orientalis Al-Quran, seperti Abraham Geiger, 
Theodore Nöldeke, Christoph Luxenberg, Reiner Brunner, dan sebagainya. 
Tapi, sayang sekali, hampir tidak ada kritik yang diberikan terhadap 
pemikiran para orientalis tersebut. Bahkan, pada beberapa bagian, dia 
menekankan gagasannya, bahwa Al-Quran yang sekarang dipegang oleh kaum 
Muslimin masih bermasalah dan perlu dikritisi. 

Karena itulah, Nur Kholish mempromosikan gagasan perlunya diterbitkan 
Edisi Kritis Al-Quran yang telah digagas oleh para orientalis Jerman. Ia 
menulis: 
"Apparatus criticus zum Koran, rencana penerbitan edisi kritis Al-Quran 
yang digagas oleh Gotthelf Bergsträsser serta dilanjutkan oleh Otto Pretzl 
merupakan indikator akan perhatian terhadap edisi kritis teks Al-Quran, 
meski upaya tersebut belum bisa terwujud. Munculnya gagasan riset 
Bergsträsser dilandasi oleh terbitnya cetakan mushaf al-imam edisi Cairo 
pada tahun 1923 yang menjadi panduan baku umat Islam di seluruh dunia. 
Sementara, menurut Bergsträsser, penyeragaman baik cara baca, qira'ah, 
maupun ortografi Al-Quran meniadakan keragamannya, tanpa disertai dengan 
alasan-alasan akademis yang jelas. Dengan demikian, riset yang belum 
tuntas tersebut berkeinginan memberikan rekonstruksi terhadap keragaman 
cara baca dan ortografi Al-Quran yang "dihilangkan" dalam mushaf edisi 
Cairo 1923." (hal. 9). 


Sebagaimana dalam tradisi orientalis, dalam tulisannya ini, murid 
kesayangan Nasr Hamid Abu Zaid ini juga rajin mengungkap data-data 
pinggiran yang seolah-olah menunjukkan bahwa masih ada masalah dalam 
Al-Quran. Dia menulis panjang lebar pendapat Brunner yang mengutip 
sebagian penulis Syiah, bahwa Utsman bin Affan telah melakukan perubahan 
(tahrif) terhadap Al-Quran. Nur Kholish menulis dengan nada bersemangat 
untuk menggugat otoritas Al-Quran: 
"Data-data yang ditampilkan Brunner mengenai wacana tahrif dalam Syi'ah 
semenjak abad ke-16 sampai dengan 19 menunjukkan bahwa "perlawanan" kaum 
Syi'ah terhadap dominasi mushaf Utsman seakan tidak pernah henti. 
Karya-karya kesarjanaan yang dilahirkan, baik dalam wilayah tafsir, 
hadits, maupun disiplin keislaman lainnya menjadi pengokoh, bahwa ada 
something wrong dalam penyusunan, unifikasi dan kodifikasi mushaf yang 
dilakukan pada kekhalifahan Utsman ibn 'Affan." 


Karena itulah, pada bagian berikutnya, dosen UIN Yogya ini kemudian 
menekankan, bahwa proyek untuk mewujudkan Edisi Kritis Al-Quran tersebut 
masih tetap berjalan hingga kini. Dia menulis: 
"Meski demikian, tidaklah berarti bahwa proyek riset mengenai sejarah teks 
dan ortografinya telah selesai. Sejak tahun 2006, telah muncul proyek 
penelitian baru yang disponsori oleh Berlin Brandenburgische Akademic der 
Wissinchaft , sebuah lembaga riset milik pemerintah negara bagian 
Berlin-Brandenburg, mengenai edisi kritis teks Al-Quran. Proyek ini 
dilandasi kenyataan bahwa Al-Quran edisi kritis sampai saat ini belum ada. 
Sedangkan tujuan dari proyek ini bukanlah untuk menggantikan teks Al-Quran 
edisi cairo 1923 yang sampai sekarang menjadi satu-satunya mushaf yang 
beredar di seluruh penjuru Muslim. Sebaliknya, proyek dimaksudkan untuk 
menampilkan dokumentasi teks yang dijadikan sebagai pijakan 
dimungkinkannya melakukan kritik teks. Disamping itu, ia juga dimaksudkan 
dijadikan pijakan telaah sejarah teks, khususnya dalam kaitannya dengan 
keragaman tradisi lisan dan tulisan. Sedangkan tujuan yang ketiga adalah 
menjadikan dokumentasi teks tersebut sebagai pijakan melakukan sesuatu 
yang "belum lazim" dalam kesarjanaan Muslim, yakni proses kesejarahan dan 
proses perkembangan teks Al-Quran itu sendiri." (hal. 38-39). 


Lebih jauh dijelaskan oleh Nur Kholish, bahwa pijakan riset yang digunakan 
oleh proyek ini adalah upaya yang telah dilakukan oleh Otto Pretzel, 
Bergsträsser dan Arthur Jeffery yang telah mengumpulkan qira'ah syadz 
dalam pembacaan Al-Quran serta jenis tulisan yang beragam dalam manuskrip 
Al-Quran. 
"Uraian di atas menunjukkan bahwa kajian Al-Quran dalam kesarjanaan 
non-Muslim cukup dinamis dan berkesinambungan. Temuan-temuan sarjana 
pendahulu semisal Geiger, Noldeke, dan beberapa nama lain terus-menerus 
dielaborasi oleh para sarjana berikutnya. Terlepas dari motif yang 
melatarbelakangi, nuansa akademik yang bisa ditangkap adalah penggunaan 
pelbagai metode dan pendekatan dalam melakukan pengkajian terhadap 
Al-Quran. Dalam wilayah ini, Al-Quran tidak ditempatkan pada wilayah yang 
"sakral" dan sarat dengan pelbagai nilai keutamaan religius, seperti yang 
diyakini oleh umat Muslim, melainkan ditempatkan sebagai sesuatu yang bisa 
disentuh dengan pendekatan sosial-humaniora, sejarah pada khususnya. (hal. 
38-40). 


Begitulah uraian Dr. Nur Kholish Setiawan tentang gagasan Al-Quran Edisi 
Kritis, atau Edisi Kritis Al-Quran. Seperti kita ketahui, ide membuat 
Edisi Kritis Al-Quran di Indonesia, pernah dilontarkan oleh Taufik Adnan 
Amal, dosen UIN Makasar yang juga pernah kuliah di Jerman. Di dalam buku 
Wajah Liberal Islam di Indonesia terbitan Jaringan Islam Liberal (2002:78) 
dimuat sebuah tulisan berjudul "Edisi Kritis Alquran", karya Taufik Adnan 
Amal. Tulisan itu memberikan gambaran bahwa masih ada persoalan dengan 
"validitas" teks Alquran yang oleh kaum Muslim telah dianggap tuntas. 

Rencana penulisan Al-Quran Edisi Kritis itulah yang kemudian dikritik oleh 
Dr. Ugi Suharto, melalui dialog langsung dengan saudara Taufik Adnan Amal. 
Dalam soal qiraat, misalnya, Taufik mengajukan pemikiran tentang perlunya 
digunakan qiraat pra-Utsmani. Dalam emailnya kepada Dr. Ugi, Taufik 
menulis: 
"Kenapa qiraat di luar tradisi utsmani digunakan? Alasannya sederhana 
sekali: kiraat pra-utsmani terkadang memberikan makna yang lebih masuk 
akal dibanding Idalam tradisi teks utsmani. Saya ingin mengulang kembali 
contoh yang pernah dikemukakan Luthfi dalam postingnya yang terdahulu: 
Bacaan "ibil" (unta, 88:17) dalam konteks 88:17-20, sangat tidak koheren 
dengan ungkapan "al-sama'" (langit), "al-jibal" (gunung-2), dan "al-ardl" 
(bumi). Dalam bacaan Ibn Mas'ud, Aisyah, Ubay, kerangka grafis yang sama 
dibaca dengan mendobel "lam", yakni "ibill" (awan). Bacaan pra-utsmani 
ini, jelas lebih koheren dan memberikan makna yang lebih logis ketimbang 
bacaan mutawatir ibil. Demikian pula, bacaan Ubay dan Ibn Mas'ud "min 
dzahabin" untuk 17:93, memiliki makna yang lebih tegas dibanding bacaan 
"min zukhrufin" dalam teks utsmani. Masih banyak contoh lainnya yang bisa 
dielaborasi untuk butir ini." 


Lalu, terhadap gagasan ini, Dr. Ugi menjelaskan kepada Taufik Adnan Amal: 
"Contoh-contoh qira'ah yang Anda kemukakan untuk dijadikan Quran Edisi 
Kritis itu sudah diketahui oleh para sarjana. Mereka tidak keliru seperti 
Anda, dengan mencampur-adukkan antara qira'ah dan Al-Quran. Contoh "ibil" 
dengan "ibill" yang Anda pilih juga sudah diketahui lama oleh mereka. 
Lihat saja dalam tafsir al-Qurtubi yang bagi Anda menterjemahkannya itu 
sama dengan status quo alias mandeg. Saya akan buktikan bahwa Anda belum 
melampaui apa-apa dari Imam al-Qurtubi itu dan Anda mungkin belum 
membacanya juga mengenai "ibil" (takhfif) dan "ibill" (tatsqil) disitu. 
Dalam tafsir itu dikatakan oleh imam al-Mawardi bahwa perkataan "ibil" 
(takhfif) mempunyai dua makna: pertama unta, dan yang kedua awan yang 
membawa hujan. Dari sini kita berkesimpulan bahwa rasm "ibil" itu bisa 
memuat makna unta dan awan sekaligus, sedangkan apabila ditulis "ibill" 
(tatsqil) ia hanya memuat makna awan semata-mata. Jadi mana yang lebih 
komprehensif menurut "akal" Anda? Satu lagi, menurut al-Qurtubi perkataan 
"ibil" itu mu'annats (feminin) oleh itu sesuai dengan ayatnya "khuliqot". 
Bagaimana dengan "ibill"?" 


Demikianlah, kita bisa melihat, bahwa gagasan untuk membuat Al-Quran Edisi 
Kritis yang dimunculkan oleh para orientalis Jerman dan murid-muridnya di 
Indonesia ternyata masih terus disebarkan. Jika dulu gagasan seperti ini 
hanya tersimpan di buku-buku orientalis Yahudi-Kristen di pusat-pusat 
studi Al-Quran Barat, kini gagasan itu mulai diusung secara resmi dalam 
ruang kuliah di kampus Islam dan forum Konferensi Tahunan Studi Islam di 
Indonesia. Kita patut kagum terhadap para orientalis yang telah berhasil 
mendidik kader-kadernya dengan baik, sehingga menjadi penyambung lidah 
mereka. 

Sebenarnya, kita yakin, para murid orientalis Yahudi-Kristen ini tidak 
akan mampu mewujudkan Al-Quran Edisi Kritis. Barangkali, mereka juga sadar 
akan hal itu, karena untuk ini mereka sangat tergantung kepada "tuan-tuan" 
mereka di Barat. Hanya saja, sepak terjang mereka sepertinya lebih 
ditujukan untuk menebar virus keraguan (tasykik) terhadap otentisitas 
Al-Quran. 

Kepada penggagas Al-Quran Edisi Kritis, Dr. Ugi Suharto juga mengingatkan 
nasehat Abu 'Ubayd yang pernah berkata: 
"Usaha Utsman (r.a.) mengkodifikasi Al-Quran akan tetap dan sentiasa 
dijunjung tinggi, karena hal itu merupakan sumbangannya yang paling besar. 
Memang di kalangan orang-orang yang menyeleweng ada yang mencelanya, namun 
kecacatan merekalah yang tersingkap, dan kelemahan merekalah yang 
terbongkar." 


Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Quran yang telah disepakati 
seluruh kaum Muslim, sejak awal, hingga kini, dan sampai akhir zaman. Para 
sahabat, termasuk Ali r.a. pun semua menyepakati otoritas Mushaf Utsmani. 
Dalam bukunya, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis 
(2006), Adnin Armas, telah banyak mengklarifikasi pemikiran-pemikiran para 
orientalis yang meragukan otentisitas Al-Quran. Sayyidina Ali sendiri 
menyatakan: "Seandainya Utsman belum melakukannya, maka aku yang 
melakukannya." 

Kita bisa memahami jika para orientalis Yahudi-Kristen berusaha 
meruntuhkan otoritas Al-Quran, karena Al-Quran adalah satu-satunya Kitab 
yang memberikan kritik secara mendasar terhadap Kitab mereka. Karena itu, 
meskipun mereka bertahun-tahun mendalami Al-Quran, tetap saja mereka tidak 
beriman kepada Al-Quran. Tetapi, kita tidak mudah memahami, mengapa ada 
orang dari kalangan Muslim yang berhasil dicuci otaknya sehingga menjadi 
penyambung lidah para orientalis untuk menyerang Al-Quran. Kita patut 
kasihan, jauh-jauh belajar Al-Quran ke luar negeri akhirnya pulang ke 
Indonesia justru menjadi ragu dan menyebarkan keraguan tentang Al-Quran. 
Mudah-mudahan kita semua terhindar dari ilmu yang tidak bermanfaat; yakni 
ilmu yang tidak membawa kepada keyakinan dan ketaqwaan. Amin. [Jakarta, 7 
Desember 2007/www.hidayatullah.com] 

-- 
Salamun 'ala manittaba al Huda




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke