Ini sebetulnya opininya Djohan Effendi, Cendekiawan, kan ya? 
Kok saya belum kenal sama cendekiawan ini ya?

Dan opini ini di postingkan oleh M. Guntur Romli yang JIL. Gitu kan 
ya?

Tapi yang menggelitik saya adalah pada alinea terakhir tsb. Saya 
kutipkan sejenak.

">  Kalau Tuhan Al-Khaliq sendiri memberikan kebebasan kepada 
manusia ciptaan-Nya untuk beriman atau tidak kepada-Nya, bagaimana 
mungkin sebuah negara bertindak melebihi Tuhan sendiri? "

Betulkah Tuhan memberikan kebebasan kepada mahluknya yang sebebas-
bebasnya, tanpa tanggung jawab?? Lalu buat apa surga dan neraka?

Saya kira Al-Khaliq tidak dapat dijadikan perumpamaan untuk 
penggambaran suatu kekuasaan negara. Bisa bisa nanti kearah negara 
berbentuk Teokrasi, yang pasti akan banyak lagi mendulang polemik.

Bila sudah bicara soal negara, ini akan banyak menyangkut soal 
komitmen antara manusia. Namun bicara soal komitmen manusia dengan 
Tuhannya, ini menjadi hal yang pribadi. Jadi, kita mau bicara apa??

wassalam,

--- In ppiindia@yahoogroups.com, Mohamad Guntur Romli <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> 
http://korantempo.com/korantempo/2008/01/12/Opini/krn,20080112,46.id.
html
> 
> 
> Sabtu, 12 Januari 2008
>         Opini        Solusi Masalah Ahmadiyah 
Indonesia                Djohan Effendi, CENDEKIAWAN
>  
> Wakil Presiden Jusuf Kalla pekan lalu diberitakan akan mencoba 
merumuskan solusi yang tepat atas masalah jemaah Ahmadiyah Indonesia 
yang difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia. Selain itu, kita 
membaca berita bahwa pakem Kejaksaan Agung RI akan menyelenggarakan 
rapat untuk membahas masalah ini. Tulisan ini dimaksudkan memberi 
masukan kepada pihak berwenang untuk menemukan solusi tersebut. 
>  
> Pertama-tama perlu kita catat bahwa jemaah Ahmadiyah Indonesia 
sudah hadir di bumi Nusantara ini sejak 82 tahun yang lalu. Mubalig 
Ahmadiyah pertama datang ke Indonesia pada 1925. Kedatangan mubalig 
itu didahului oleh kepergian beberapa pemuda Indonesia ke Qadyan, 
India, untuk meneruskan studi agama Islam. Merekalah yang mengundang 
agar dikirim mubalig Ahmadiyah ke Indonesia. Sejak awal 
kedatangannya telah timbul reaksi dari kalangan ulama Islam. Terjadi 
perdebatan dan polemik. Hal ini terjadi di Minangkabau dan Jakarta 
serta dilakukan dengan adu argumentasi. Tidak ada tuntutan 
pelarangan, tidak ada berita perusakan. Kedua belah pihak saling 
menghormati pendirian masing-masing.
>  
> Persoalan Ahmadiyah kembali menjadi hangat setelah Rabithah Alam 
Islami memfatwakan bahwa Ahmadiyah nonmuslim dan meminta negeri-
negeri Islam melakukan tindakan terhadap Ahmadiyah. Karena itu, 
pemerintah Arab Saudi, misalnya, tidak memperkenankan penganut 
Ahmadiyah masuk ke Tanah Haram untuk melaksanakan ibadah haji atau 
umrah. Lembaga legislatif Republik Islam Pakistan menerbitkan 
amendemen konstitusi Pakistan dan menetapkan bahwa penganut paham 
Ahmadiyah minoritas nonmuslim. Pemerintah Pakistan tidak melarang 
organisasi Ahmadiyah bahkan, sesuai dengan konstitusi, menyediakan 
kursi dalam parlemen Pakistan selaku kelompok minoritas. 
>  
> Masalah yang timbul di Indonesia bukan pada fatwa sesat itu 
sendiri, karena fatwa semacam itu bukan hal baru, bahkan muncul 
sejak awal kehadiran jemaah tersebut di negeri kita. Fatwa sesat-
menyesatkan adalah masalah yang terjadi di semua agama sejak mula. 
Semua paham keagamaan mengklaim bahwa paham keagamaannyalah yang 
benar dan yang lain salah, bahkan sesat. Sebab, kehadiran sebuah 
paham baru justru karena menganggap paham-paham keagamaan yang lain 
tidak benar. Tanyalah kepada teman-teman yang sekarang aktif 
menyebarkan apa yang mereka namakan paham salaf, apakah paham-paham 
selain mereka itu benar atau sesat? Pasti jawabannya hanya paham 
salaf yang mereka anutlah yang benar dan yang lain menyimpang dari 
ajaran yang benar. Muhammadiyah tidak akan muncul sekiranya mereka 
menganggap paham dan praktek keagamaan yang dianut dan dilakukan 
oleh kaum nahdliyin itu benar. Justru karena kalangan Muhammadiyah 
dan organisasi sealiran dengannya menganggap banyak praktek di 
kalangan
>  nahdliyin yang merupakan bidah--setiap bidah adalah sesat dan 
setiap kesesatan itu dalam neraka--mereka mengajarkan dan melakukan 
praktek keagamaan berbeda yang mereka anggap benar. 
>  
> Menganggap paham keagamaan orang lain sebagai sesat tidaklah 
menjadi masalah selama tidak memaksakan paham sendiri untuk dianut 
oleh orang lain dan sekaligus berusaha menafikan hak hidup paham 
keagamaan orang lain yang berbeda dengan paham keagamaannya sendiri. 
Problem yang berada di hadapan pemerintah kita sekarang adalah 
bagaimana menanggapi tuntutan beberapa kalangan agar melarang paham 
dan organisasi jemaah Ahmadiyah Indonesia karena telah difatwakan 
sesat oleh MUI. Saya rasa masalah ini harus dipikirkan dan 
dipertimbangkan semasak-masaknya.
>  
> Pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah bagaimana sebenarnya 
hubungan antara manusia dan institusi, yang dalam hal ini hubungan 
antara warga negara dan negara? Jelas sekali bahwa yang primer 
adalah manusia, sedangkan institusi hanya bersifat sekunder. Warga 
negara sebagai manusia tetap ada walau tanpa negara. Adapun negara 
tanpa warganya tidak akan ada. Negara dibentuk oleh manusia sebagai 
warganya untuk kepentingan mereka. Sebab, bagaimana mungkin sebuah 
negara menafikan hak sipil warganya tanpa alasan konstitusional 
sebagai kesepakatan bersama semua warga. 
>  
> Hubungan negara dengan warganya juga harus dilihat dari perspektif 
hubungan manusia dengan Tuhan Al-Khaliq. Bumi ini dianugerahkan 
Tuhan kepada umat manusia sebagai tempat kediaman mereka. Kalau 
Tuhan Al-Khaliq sendiri memberikan kebebasan kepada manusia untuk 
hidup di atas bumi-Nya tanpa pembatasan hanya bagi mereka yang 
beriman kepada-Nya, bagaimana mungkin sebuah negara atau aparat 
negara membatasi hak sipil warganya? Apalagi antara sesama warga 
negara. 
>  
> Menanggapi wacana pelarangan suatu paham keagamaan atau 
kepercayaan, saya mengajukan beberapa pertanyaan yang perlu 
direnungkan, terutama oleh aparatur pemerintah. Pertama, kalau 
tindak pelarangan itu didasarkan atas fatwa sebuah lembaga 
keagamaan, di manakah tempat lembaga keagamaan itu dalam struktur 
kenegaraan Republik Indonesia? Apakah ia berada dalam struktur 
kenegaraan atau bahkan berada di atas struktur kenegaraan, sehingga 
setiap fatwa lembaga tersebut mengikat dan karena itu harus ditaati 
dan dilaksanakan oleh negara dalam ini pemerintah RI?
>  
> Kedua, kalau sebuah paham keagamaan dilarang, apakah hak sipil 
para penganutnya sebagai warga negara RI hilang, terutama dalam 
kaitan kebebasan berkeyakinan? Kalau para penganut paham tersebut 
berkukuh tetap meyakini paham yang dilarang itu, apakah mereka akan 
dianggap sebagai pelaku tindak kriminal dan karena itu harus dikenai 
sanksi hukum pidana?
>  
> Ketiga, kebebasan beragama tegas-tegas dijamin oleh konstitusi. 
Begitu juga Piagam Hak Asasi Manusia dan dokumen-dokumen 
pelengkapnya telah diratifikasi oleh negara kita. Dengan demikian, 
bukankah pelarangan dan kriminalisasi penganutan suatu paham 
keagamaan merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak asasi manusia? 
>  
> Mengingat hal-hal di atas, saya kira tak ada alternatif lain 
kecuali melaksanakan ketentuan yang ditegaskan dalam konstitusi dan 
karena itu tidaklah selayaknya negara ikut campur dalam fenomena 
sesat-menyesatkan kemudian mengambil tindakan melanggar konstitusi 
dengan mengurangi, apalagi menafikan, kebebasan berkeyakinan warga 
negara. Jaminan konstitusi atas kebebasan berkeyakinan adalah 
jaminan bagi warga negara untuk menganut keyakinannya, entah agama, 
entah paham keagamaan atau kepercayaan secara tulus tanpa paksaan 
dari siapa pun dan golongan apa pun. Apabila negara ikut campur atau 
memihak suatu kelompok dalam fenomena kontroversi pemahaman agama, 
rasa aman dan berkeyakinan akan terganggu. Penganutan suatu paham 
keagamaan atau kepercayaan, betapapun anehnya paham tersebut, tidak 
boleh dikriminalisasikan selama tidak melanggar ketertiban 
masyarakat dan kesopanan umum. Berbeda atau menyimpang dari paham 
anutan mayoritas tidak bisa menjadi alasan pelarangan sebuah paham.
>  Kalau Tuhan Al-Khaliq sendiri memberikan kebebasan kepada manusia 
ciptaan-Nya untuk beriman atau tidak kepada-Nya, bagaimana mungkin 
sebuah negara bertindak melebihi Tuhan sendiri? 
> 
> Mohamad Guntur Romli
> Jl Utan Kayu No 68H, Jakarta
> [EMAIL PROTECTED]
> http://guntur.name/
>        
> ---------------------------------
> Never miss a thing.   Make Yahoo your homepage.
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
>


Kirim email ke