Persaudaraan dan Pluralitas
Jum'at, 18/01/2008
Judul dari artikel ini adalah persaudaraan dan pluralitas kita, yaitu
adanya persaudaraan dalam kemajemukan kita memandang kehidupan.

Habib Saggaf, pemimpin Pondok Pesantren Al-Ashriyyah Nurul Iman di Parung,
Bogor, yang bercerita bahwa ia pertama kali mengetahui tentang perlunya
menghargai pluralitas dari penulis artikel ini.Kemudian itu terbukti pada
waktu dia harus mendirikan usaha roti untuk makan ribuan santrinya yang
kebanyakan yatim piatu.

Ketika mendirikan usaha tersebut, dia diberi bantuan oleh kawan- kawan
nonmuslim. Di sinilah dia baru merasakan pentingnya menyayangi yang
berbeda (pluralitas) dalam kehidupan. Jika memiliki sikap pluralistik
seperti itu memang diperlukan, maka kita lalu bertanya,apakah pandangan
itu bisa menjadi pendorong bagi dialog antara semangat
kebangsaan/nasionalisme dan ajaran agama Islam untuk keutuhan bangsa ini?

Sampailah kita pada sebuah kenyataan sejarah yang tidak dapat dibantah,
yaitu tentu ada kekuatan yang mendorong ketika kita "memulai"kebangkitan
ajaran agama kita.Penulis menandai hal itu dengan kehadiran Muhammadiyah
dan Nahdlatul Ulama (NU). Pada 1912, KH M Hasyim Asy'ari diberi tahu bahwa
perkumpulan baru bernama Muhammadiyah didirikan kalangan kaum muslimin di
Yogyakarta.

Beliau bertanya: "Siapakah pendirinya?"Tiga hari kemudian beliau diberi
tahu bahwa pendirinya adalah H Ahmad Dachlan dari Yogyakarta. Beliau
bertanya lagi, apakah orang itu dahulunya sama-sama jadi santri dengan
beliau di Pondok Pesantren Kyai Shaleh Darat, Semarang?

Ketika memperoleh jawaban bahwa sang pendiri itu benar teman beliau di
Pondok Pesantren Shaleh Darat, beliau mengatakan bahwa tokoh tersebut
adalah orang baik,walaupun ibadahnya "tidak sama"dengan kita.Beliau juga
mengatakan bahwa pada waktu itu mereka berdua sekamar dengan orang ketiga,
yaitu Sosrokartono, kakak kandung orang yang kemudian kita kenal dengan
nama RA Kartini dari Rembang.

Di sinilah sejarah seolah memilih dan membentuk sejarah Indonesia modern.
Persaudaraan itu bertambah lagi bahwa antara HOS Tjokroaminoto dari
Surabaya dan KH Hasyim As'yari memang ada pertalian kekeluargaan, yaitu
sama-sama keturunan Kyai Harun (Ki Ageng Basjariah) dari Sewulan, sepuluh
kilometer sebelah selatan Kota Madiun.

Dialog antara nasionalisme/ kebangsaan dan ajaran agama Islam antara
mereka berdua terus berlanjut, karena HOS Tjokroaminoto memiliki menantu
bernama Soekarno (di belakang hari dikenal dengan nama Bung Karno). Juga
karena ada keluarga lain di kalangan mereka, yaitu Djojosugito, dari
keluarga yang sama, yang mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia.

Dari kebutuhan dialog seperti inilah, lalu dirasakan kepentingan
melembagakan/institusionalisasi kebutuhan tersebut. Karena itu,setelah
Perang Dunia I, menjelang 1920-an mereka membangun kekuatan. Ternyata,
gerakan Syarikat Islam (yang di belakang hari menjadi Partai Syarikat
Islam Indonesia/ PSII) diinfiltrasi komunis.

Lahirlah apa yang kelak dikenal sebagai SI Merah yang cukup lama memegang
dominasi atas kehidupan politik bangsa kita.Lalu akibatnya bagi lingkungan
NU, lahir orang-orang NU yang mementingkan Islam sebagai ideologi
politik,bukannya sebagai gerakan kultural/budaya. Inilah yang kemudian
menjadi "ideologi resmi" gerakan Islam di negeri kita kini.

Mereka antara lain mewujudkannya dalam Partai Arab Indonesia (PAI) dan
Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI) yang kemudian hari menjadi Masyumi
(Majelis Syura Muslimin Indonesia). Pandangan mereka itu sekarang
diteruskan oleh berbagai gerakan, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI),
Front Pembela Islam (FPI) dan seterusnya.Kenyataan sejarah seperti ini
menjadi milik kita bersama.

Penulis artikel ini pernah ditanya seorang pemimpin HTI,Anda masih
menginginkan dijalankannya syariat Islam? Penulis menjawab masih. Dia lalu
menanyakan kepada penulis artikel ini, mengapa menolak kekhalifahan
(konsep negara Islam)? Penulis menjawab,kita sama-sama menerima syariat
Islam tetapi berbeda dalam gagasan negara Islam.

Bagi penulis artikel ini, gagasan itu bukanlah barang wajib.Antara negara
dan syariah harus dibedakan.Tetapi kita berdua sama-sama percaya pada
syariah dan ajaran agama Islam. Kita bahkan dianjurkan untuk tidak saling
bermusuhan bahkan saling bersaudara. Ini juga penulis kemukakan dalam
sebuah seminar tentang gerakan Islam fundamentalis dan radikal yang
diselenggarakan pada musim panas 2006 di Akademi Angkatan Udara (Air Force
Academy), Colorado, Amerika Serikat (AS).

Karena pada waktu itu penulis dilarang pergi ke AS oleh para dokter, tahun
berikutnya Donald Rumsfeld, yang waktu itu masih menjabat sebagai Menteri
Pertahanan AS, meminta penulis membuat rekaman video berisikan
pikiran-pikiran penulis artikel ini tentang hal itu. Dalam rekaman penulis
menyatakan tidak pernah menganggap teman seagama sebagai keluar dari
Islam, bahkan menganggap mereka sebagai saudara.

Karena itu,penulis artikel ini meminta para peserta seminar tersebut
mencari titik-titik temu dengan mereka.Permintaan itu adalah sesuatu yang
berat karena para peserta seminar itu adalah orang-orang yang selalu
diganggu oleh kaum fundamentalis dan radikalis.

Menganggap kaum fundamentalis dan radikal bukan Islam lagi tidak dapat
dilakukan penulisartikelinikarena mereka "berjuang" dengan cara mereka
untuk kepentingan Islam.Kami tidak menentang mereka, me-lainkan menentang
tindakan mereka. Tapi perbedaan cara berjuang itu tentu tidak mengharuskan
sikap saling mengafirkan antara penulis artikel ini dan mereka. Ini juga
sikap pluralistik dalam memandang kehidupan, bukan?(*)

Abdurrahman Wahid
Ketua Umum Dewan Syura PKB


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke