Fouda

Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, 
Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya 
luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.”

Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari 
sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa 
cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang 
ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah 
pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.

Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 
46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini 
diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang 
Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.

  Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran 
Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi 
ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan 
antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan 
lembaga khilafah.

Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah 
al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa 
mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin 
menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad 
ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.

Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan 
yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu 
Rizal Panggabean, periode itu “zaman biasa”.

Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian 
kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.”

Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman 
bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin 
umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima 
orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para 
pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang 
Islam sendiri yang bersepakat memberontak.

Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya 
terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat 
itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja 
dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan 
salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di 
pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah 
pekuburan Yahudi.

Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada 
seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda 
mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang 
menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang 
bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 
30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.

Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu 
saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu 
menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang 
mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana 
pergantian kekuasaan dilakukan.

Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, “Demi Allah, aku 
tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”), 
orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut 
dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari 
contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. 
“Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,” 
tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman--lalu 
membunuhnya, lalu menistanya.

Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam 
bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi 
dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk 
mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya 
mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka 
harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.

Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, 
setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang 
pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua 
hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki 
orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya 
dibakar.

Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang 
pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah 
telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah 
menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri 
(juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun 
mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai 
ke kuburan.

Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat 
itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum 
mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi….

Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah “Si Jagal”, orang macam Fouda 
harus dibunuh. Ia mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu 
kemutlakan. Tapi itu terjadi di Mesir lebih dari 10 tahun yang silam--bukan 
di Indonesia. Mungkin ini ciri Islam yang mengagumkan di sini: justru 
Departemen Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang Hilang.

Goenawan Mohamad
(Catatan Pinggir Majalah Tempo, 3 Maret 2008)


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke