Rupanya usaha rasululloh Muhammadsaw guna memanusiakan bangsa Arab dengan 
budaya kehormatan kelompok, suku, golongan, melalui pendidikan ahlaq 
kemanusiaan tidak mempan buat bangsa Arab. Memang transformasi budaya jahiliah 
Arab ke budaya perkotaan modern yang dipimpin rasululloh hanya berlangsung 
sekitar 10 tahunan (selama di Madinah). Sesudahnya para pemimpin yang 
ditinggalkan rasul saling baku hantam sendiri demi kepentingan kelompok, suku, 
golongan masing-masing. 

Jelas kan bahwa memanusiakan manusia itu bukan kerja sejam dua jam bahkan sudah 
hampir 1500 tahun masih menonjol kesadaran biologisnya dengan ahlaq biologis 
yang tidak banyak beda dengan kesadaran dan ahlaq bonobo, gorilla dan 
chimpanzee. 



Salam,
A.M

 
  ----- Original Message ----- 
  From: Nugroho Dewanto 
  To: ppiindia@yahoogroups.com ; [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Tuesday, March 04, 2008 9:44 AM
  Subject: [ppiindia] Caping GM: Fouda



  Fouda

  Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr, 
  Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya 
  luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: "Ya, kami membunuhnya."

  Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari 
  sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa 
  cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang 
  ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah 
  pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.

  Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur 
  46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini 
  diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang 
  Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.

  Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran 
  Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi 
  ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan 
  antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan 
  lembaga khilafah.

  Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah 
  al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa 
  mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum "Islamis": mereka yang ingin 
  menegakkan "negara Islam" berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad 
  ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.

  Bila kaum "Islamis" menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan 
  yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu 
  Rizal Panggabean, periode itu "zaman biasa".

  Bahkan sebenarnya "tidak banyak yang gemilang dari masa itu", demikian 
  kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. "Malah, ada banyak jejak memalukan."

  Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman 
  bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin 
  umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima 
  orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para 
  pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang 
  Islam sendiri yang bersepakat memberontak.

  Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya 
  terpaksa "bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan". Ketika mayat 
  itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja 
  dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan 
  salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di 
  pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah 
  pekuburan Yahudi.

  Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada 
  seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda 
  mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa'ad, yang 
  menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang 
  bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat 
  30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.

  Kaum "Islamis" tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu 
  saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu 
  menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang 
  mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana 
  pergantian kekuasaan dilakukan.

  Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, "Demi Allah, aku 
  tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!"), 
  orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut 
  dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari 
  contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal. 
  "Mereka juga mencari kaidah dalam Islam.tapi mereka tak menemukannya," 
  tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman--lalu 
  membunuhnya, lalu menistanya.

  Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam 
  bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi 
  dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk 
  mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya 
  mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka 
  harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.

  Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661, 
  setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang 
  pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua 
  hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki 
  orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya 
  dibakar.

  Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang 
  pertama kali muncul al-Saffah, "Si Jagal". Di mimbar ia mengaum, "Allah 
  telah mengembalikan hak kami." Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah 
  menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri 
  (juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun 
  mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai 
  ke kuburan.

  Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat 
  itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum 
  mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi..

  Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah "Si Jagal", orang macam Fouda 
  harus dibunuh. Ia mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu 
  kemutlakan. Tapi itu terjadi di Mesir lebih dari 10 tahun yang silam--bukan 
  di Indonesia. Mungkin ini ciri Islam yang mengagumkan di sini: justru 
  Departemen Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang Hilang.

  Goenawan Mohamad
  (Catatan Pinggir Majalah Tempo, 3 Maret 2008)

  [Non-text portions of this message have been removed]



   


------------------------------------------------------------------------------


  No virus found in this incoming message.
  Checked by AVG Free Edition. 
  Version: 7.5.516 / Virus Database: 269.21.4/1310 - Release Date: 4-3-2008 8:35


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke