intisari caping itu adalah balaslah tulisan dengan tulisan.
buku dilawan dengan buku. jangan kedepankan kekerasan.

sejarah bukan keyakinan. dia bisa diperdebatkan siapa saja
dengan kajian yang obyektif. dan tetap saja orang boleh setuju
atau tidak setuju dengan hasilnya.

kutipan dibawah tepat menjelaskan psikografi kaum islamis:

"Di satu pihak, mereka harus yakin, tapi di lain pihak, mereka
tahu mereka buta."



At 02:27 AM 3/4/2008 -0800, you wrote:
>Saya terus terang tidak merasa sreg dengan penggunaan istilah AGAKNYA di 
>bawah ini.
>Marilah kita berpikir secara logis:
>
>1. Jika Nabi Muhammad SAW sendiri menyatakan Utsman bin Affan R.A. 
>termasuk salah satu sahabat yang DIJAMIN MASUK SURGA (dan artikel di bawah 
>tidak menggugat keabsahan ucapan Nabi Muhammad SAW tersebut), maka 
>sepatutnya kita mempertanyakan: mengapa kutipan atas karya Ibnu Sa'ad itu 
>dianggap begitu signifikan? Mana yang lebih kuat, pernyataan Nabi Muhammad 
>SAW atau Ibnu Sa'ad? Logika saya, mustahil Rasulullah SAW menyebut Utsman 
>termasuk sahabat yang dijamin surga jika Utsman seorang koruptor atau 
>orang yang rakus harta! Ini tuduhan yang sangat keji.
>
>2. Saya bukan ahli sejarah. Tapi sejauh saya tahu dari beberapa literatur, 
>Utsman bin Affan itu SUDAH kaya raya sebelum masuk Islam. Kemajuan dakwah 
>Islam di bawah Rasulullah mendapat dukungan penuh dari Utsman, yang 
>menghibahkan begitu banyak hartanya untuk dakwah secara sukarela. Kalau 
>niatnya cuma menumpuk harta, ngapain juga dia repot-repot mengambil risiko 
>bergabung dengan Rasulullah? Jadi, kalau toh (anggap saja data Ibnu Saad 
>bednar), Utsman ketika meninggal punya simpanan uang banyak, tidak ada 
>yang aneh, wong dia memang sejak dulu sudah kaya raya kok!
>
>=====================
>Tulisan Goenawan Mohamad:
>
>"Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada
>seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda
>mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang
>menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang
>bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat
>30.500.000 dirham dan 100.000 dinar."
>
>
>Satrio Arismunandar
>Producer "SISI LAIN" (tayang Senin-Jumat, pukul 13.30-14.00 WIB) -
>News Division, Trans TV, Lantai 3
>Jl. Kapten P. Tendean Kav. 12 - 14 A, Jakarta 12790
>Phone: 7917-7000, 7918-4544 ext. 4023,  Fax: 79184558, 79184627
>
>http://satrioarismunandar6.blogspot.com
>http://satrioarismunandar.multiply.com
>
>"Ungkapkanlah kebenaran itu, meskipun pahit" (Hadist Nabi)
>
>
>
>----- Original Message ----
>From: Nugroho Dewanto <[EMAIL PROTECTED]>
>To: ppiindia@yahoogroups.com; [EMAIL PROTECTED]
>Sent: Tuesday, March 4, 2008 3:44:05 PM
>Subject: [ppiindia] Caping GM: Fouda
>
>
>Fouda
>
>Pada tanggal 8 Juni 1992, mereka bunuh Farag Fouda di Madinat al-Nasr,
>Kairo. Dua orang bertopeng menyerangnya. Fouda tewas tertembak, anaknya
>luka-luka parah. Kelompok Jamaah Islamiyah mengatakan: “Ya, kami membunuhnya.”
>
>Bagi kelompok itu, tak ada dosa bila Fouda dibinasakan. Bukankah lima hari
>sebelum itu sekelompok ulama dari Universitas al-Azhar memaklumkan bahwa
>cendekiawan ini telah menghujat agama, dan sebab itu boleh dibunuh? Seorang
>ulama, Muhammad al-Ghazali, membela para algojo: tindakan mereka adalah
>pelaksanaan hukuman yang tepat bagi seorang yang murtad.
>
>Tapi tak seorang pun tahu sebenarnya, benarkah Fouda, yang tewas pada umur
>46, orang yang murtad. Terutama jika kita baca buku yang baru-baru ini
>diterbitkan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, Kebenaran Yang
>Hilang, yang juga memuat kata pengantar Samsu Rizal Panggabean.
>
>Lima bulan sebelum ia dibunuh, Fouda ikut dalam perdebatan di Pameran
>Buku Kairo. Dalam acara yang konon diikuti 30.000 orang itu ia menghadapi
>ulama macam Muhammad al-Ghazali. Perdebatan berkisar pada masalah hubungan
>antara agama dan politik, negara dan agama, penerapan syariat Islam dan
>lembaga khilafah.
>
>Pendirian Fouda dikemukakan dengan gamblang dalam serangkaian bab al-Haqiah
>al-Ghaybah-nya yang diterjemahkan oleh Novriantoni. Ia memang bisa
>mengguncang sendi-sendi pemikiran kaum “Islamis”: mereka yang ingin
>menegakkan “negara Islam” berdasarkan ingatan tentang dunia Arab di abad
>ke-7 ketika para sahabat Nabi memimpin umat.
>
>Bila kaum “Islamis” menggambarkan periode salaf itu sebagai zaman keemasan
>yang patut dirindukan, Fouda tidak. Baginya, sebagaimana ditulis Samsu
>Rizal Panggabean, periode itu “zaman biasa”.
>
>Bahkan sebenarnya “tidak banyak yang gemilang dari masa itu”, demikian
>kesimpulan Samsu Rizal Panggabean. “Malah, ada banyak jejak memalukan.”
>
>Contoh yang paling tajam yang dikemukakan Fouda ialah saat kejatuhan Usman
>bin Affan, khalifah ke-3. Sahabat Rasul yang diangkat ke kedudukan pemimpin
>umat pada tahun 644 itu--melalui sebuah musyawarah terbatas antara lima
>orang--berakhir kekuasaannya 12 tahun kemudian. Ia dibunuh. Para
>pembunuhnya bukan orang Majusi, bukan pula orang yang murtad, tapi orang
>Islam sendiri yang bersepakat memberontak.
>
>Mereka tak sekadar membunuh Usman. Menurut sejarawan al-Thabari, jenazahnya
>terpaksa “bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan”. Ketika mayat
>itu disemayamkan, tak ada orang yang bersembahyang untuknya. Siapa saja
>dilarang menyalatinya. Jasad orang tua berumur 83 itu bahkan diludahi dan
>salah satu persendiannya dipatahkan. Karena tak dapat dikuburkan di
>pemakaman Islam, khalifah ke-3 itu dimakamkan di Hisy Kaukab, wilayah
>pekuburan Yahudi.
>
>Tak diketahui dengan pasti mengapa semua kekejian itu terjadi kepada
>seseorang yang oleh Nabi sendiri telah dijamin akan masuk surga. Fouda
>mengutip kitab al-Tabaqãt al-Kubrã karya sejarah Ibnu Sa’ad, yang
>menyebutkan satu data yang menarik: khalif itu agaknya bukan seorang yang
>bebas dari keserakahan. Tatkala Usman terbunuh, dalam brankasnya terdapat
>30.500.000 dirham dan 100.000 dinar.
>
>Kaum “Islamis” tak pernah menyebut peristiwa penting itu, tentu. Dan tentu
>saja mereka tak hendak mengakui bahwa tindakan berdarah terhadap Usman itu
>menunjukkan ada yang kurang dalam hukum Islam: tak ada pegangan yang
>mengatur cara mencegah seorang pemimpin agar tak menyeleweng dan bagaimana
>pergantian kekuasaan dilakukan.
>
>Ketika Usman tak hendak turun dari takhta (ia mengatakan, “Demi Allah, aku
>tidak akan melepas baju yang telah disematkan Allah kepadaku!”),
>orang-orang Islam di bawahnya pun menemui jalan buntu. Sebagaimana disebut
>dalam Kebenaran Yang Hilang, para pemuka Islam waktu itu mencari-cari
>contoh dari masa lalu bagaimana memecahkan soal suksesi. Mereka gagal.
>“Mereka juga mencari kaidah dalam Islam…tapi mereka tak menemukannya,”
>tulis Fouda. Maka perkara jadi runcing dan mereka mengepung Usman--lalu
>membunuhnya, lalu menistanya.
>
>Tampak, ada dinamika lain yang mungkin tak pernah diperkirakan ketika Islam
>bertaut dengan kekuasaan. Dinamika itu mencari jalan dalam kegelapan tapi
>dengan rasa cemas yang sangat. Orang memakai dalih agama untuk
>mempertahankan takhta atau untuk menjatuhkan si penguasa, tapi sebenarnya
>mereka tahu: tak ada jalan yang jelas, apalagi suci. Di satu pihak, mereka
>harus yakin, tapi di lain pihak, mereka tahu mereka buta.
>
>Itu sebabnya laku mereka begitu absolut dan begitu bengis. Pada tahun 661,
>setelah lima tahun memimpin, Ali dibunuh dengan pedang beracun oleh seorang
>pengikutnya yang kecewa, Ibnu Muljam. Khalifah ke-4 itu wafat setelah dua
>hari kesakitan. Pembunuhnya ditangkap. Sebagai hukuman, tangan dan kaki
>orang ini dipenggal, matanya dicungkil, dan lidahnya dipotong. Mayatnya
>dibakar.
>
>Ketika pada abad ke-8 khilafah jatuh ke tangan wangsa Abbasiyah, yang
>pertama kali muncul al-Saffah, “Si Jagal”. Di mimbar ia mengaum, “Allah
>telah mengembalikan hak kami.” Tapi tentu saja ia tahu Tuhan tak pernah
>menghampirinya. Maka ia ingin tak ada lubang dalam keyakinannya sendiri
>(juga keyakinan orang lain) tentang kebenaran kekuasaannya. Al-Saffah pun
>mendekritkan: para petugas harus memburu lawan politik sang khalif sampai
>ke kuburan.
>
>Makam pun dibongkar. Ketika ditemukan satu jenazah yang agak utuh, mayat
>itu pun didera, disalib, dibakar. Musuh yang telah mati masih terasa belum
>mutlak mati. Musuh yang hidup, apa lagi….
>
>Itu sebabnya, bahkan sekian abad setelah “Si Jagal”, orang macam Fouda
>harus dibunuh. Ia mempersoalkan keabsahan posisi khilafah. Ia pengganggu
>kemutlakan. Tapi itu terjadi di Mesir lebih dari 10 tahun yang silam--bukan
>di Indonesia. Mungkin ini ciri Islam yang mengagumkan di sini: justru
>Departemen Agama-lah yang menerbitkan Kebenaran Yang Hilang.
>
>Goenawan Mohamad
>(Catatan Pinggir Majalah Tempo, 3 Maret 2008)
>
>[Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>
>
> 
>____________________________________________________________________________________
>Be a better friend, newshound, and
>know-it-all with Yahoo! Mobile.  Try it 
>now.  http://mobile.yahoo.com/;_ylt=Ahu06i62sR8HDtDypao8Wcj9tAcJ
>
>
>[Non-text portions of this message have been removed]
>
>
>
>***************************************************************************
>Berdikusi dg Santun & Elegan, dg Semangat Persahabatan. Menuju Indonesia 
>yg Lebih Baik, in Commonality & Shared Destiny. 
>http://groups.yahoo.com/group/ppiindia
>***************************************************************************
>__________________________________________________________________________
>Mohon Perhatian:
>
>1. Harap tdk. memposting/reply yg menyinggung SARA (kecuali sbg otokritik)
>2. Pesan yg akan direply harap dihapus, kecuali yg akan dikomentari.
>3. Reading only, http://ppi-india.blogspot.com
>4. Satu email perhari: [EMAIL PROTECTED]
>5. No-email/web only: [EMAIL PROTECTED]
>6. kembali menerima email: [EMAIL PROTECTED]
>
>Yahoo! Groups Links
>
>
>

Kirim email ke