Sumarsono; Mantan pentolan gank becak Depok

Disarikan dari monitor Depok, 7 Juni 2008

"Politik itu kejam!" barangkali itulah istilah yang pas untuk
Sumarsono, Pak tua yang pernah mendapat julukan Pimpinan Gerombolan
Becak di Kota Depok. 

Mantan sekretaris Bank Dagang Negara (BDN) cabang Jakarta Kota ini,
terpaksa narik becak di Depok lantaran diskriminasi politik paska
meletusnya peristiwa G30S 1965. 

Laki-laki kelahiran 75 tahun yang lalu ini merupakan alumnus Fakultas
Hukum UI. Dia mendapatkan gelar Sarjana Hukum di tahun 1964. 

Semasa kuliah dia aktif dalam dunia pergerakan. Jika pernah mendengar
organisasi bernama Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
(CGMI)—organisasi kemahasiswaan, underbouwnya Partai Komunis Indonesia
(PKI), dialah salah satu pendirinya.

Saat kuliah tak ada masalah. Apalagi di era itu CGMI merupakan
organisasi yang terbilang sangat besar dan punya pengaruh. Bahkan dia
pernah menjadi Ketua panitia saat Ganefo dilangsungkan di Jakarta.

Games of the New Emerging Forces (Ganefo), adalah suatu ajang olahraga
tandingan Olimpiade ciptaan mantan Presiden Indonesia, Soekarno pada
akhir tahun 1962. Soekarno menyatakan bahwa olahraga tidak bisa
dipisahkan dari politik. 

Sebelumnya, dalam pelaksanakan Asian Games 1962, Indonesia melarang
Israel dan Taiwan mengikuti Asian Games dengan alasan karena simpati
pada Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan negara-negara Arab. 

Aksi Indonesia ini diprotes oleh Komite Olimpiade Internasional (KOI)
yang mempertanyakan legitumasi Asian Games di Jakarta. Federasi Asian
Games (FAG) yang juga akan memberikan skorsing bagi Indonesia karena
melarang Taiwan dan Israel mengikuti Asian Game. KOI beralasan kedua
negara itu merupakan anggota resmi Perserikatan Bangsa Bangsa. 

Akhirnya, Indonesia diskors untuk mengikuti Olimpiade Tokyo 1964.
Soekarno marah sehingga dia keluar dari KOI dan menuduh KOI merupakan
antek imperialisme dan mengancam akan membuat penyaing olimpiade. Satu
tahun kemudian, pada bulan November tahun 1963, GANEFO dilaksanakan di
Jakarta, Indonesia. GANEFO berikutnya di Kairo, Mesir tahun 1967
dibatalkan karena masalah politik. 

GANEFO memiliki semboyan Maju Terus Jangan Mundur—Onward! No Retreat.
Indonesia mengundang negara Republik Rakyat Tiongkok dan negara-negara
dunia ketiga untuk mengikuti GANEFO. Ajang itu diikuti oleh 2.200
atlet dari 48 negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa dengan
450 wartawan dari berbagai negara datang ke Senayan. 

Meski GANEFO diboikot oleh negara-negara barat, tetapi GANEFO tetap
berlangsung sukses. Beberapa atlet Indonesia yang berprestasi tidak
berani mengikuti GANEFO karena takut akan diskors oleh KOI.

Lulus dari UI, Sumarsono-pun bekerja di Bank Dagang Negara cabang
Jakarta Kota sebagai sekretaris.

Saat bekerja di BDN, mantan pimpinan CGMI Jakarta itu mengorganisir
pegawai-pegawai Bank untuk dipersatukan dalam sebuah organisasi yang
diberinya nama Persatuan Pegawai Bank Dagang Negara (PPBDN) 

"PPBDN ini berafiliasi ke SOBSI, organisasi buruh yang juga merupakan
underbouwnya PKI," katanya. 

Di era itu tak ada yang aneh. Semua berjalan sebagaimana mestinya.
Sumarsono mempersunting seorang gadis yang dicintainya dan dikarunia
anak. "Istri saya sudah nggak ada, anak-anak masih di Depok,
alhamdulillah sudah berumah tangga semua, mereka ikut suami
masing-masing."

Entah karena masih dibaluri trauma masa lalu, Pak Sumar-sapaan
akrabnya meminta Monde untuk tidak menyebutkan nama anak-anak dan
cucu-cucunya. Apalagi alamat rumah keluarganya. 

Diskriminasi politik

Malapetaka baru mendera kehidupan Pak Sumar begitu peristiwa G30S 1965
meletus. Karena aktifitas politiknya bersama partai yang saat itu
menjadi musuh bersama, dia terpinggirkan di negeri yang diperjuangkannya. 

"Saya ditangkap di Bank Dagang Negara, di kantor saya bekerja di Jl.
Pintu Air Besar Selatan, dan dikerangkeng selama 5 bulan lebih,"
tuturnya mengenangkan. "Saya dijemput di kantor pada tanggal 14
Oktober 1965 lalu dibebaskan 21 Maret 1966," imbuhnya.

Dia mengaku setelah peristiwa penangkapan itu tak bisa kerja lagi.
"Dimana-mana saya dicurigai, bahkan oleh kawan sendiri. Akhirnya saya
terpaksa narik becak untuk menghidupi keluarga." 

Sebelum narik becak di Depok, dia mengaku awalnya pernah menjadi buruh
bangunan, pernah juga dagang ayam, sampai akhirnya mangkal di Pasar
Lama, dekat PLN, Jl. Nusantara dan Rumah Sakit Bhakti Yudha, bersama
tukang becak lainnya.

Semangat revolusioner seperti tak pernah padam dalam jiwanya. Saat
asyik menunggu pelanggan, Alumni SMA 6 Yogyakarta ini terus
menyebarluaskan propaganda.

"Meski ngebecak, saya tetap kasak kusuk memprotes penguasa, yang saat
itu dipegang Soeharto. Baik di warung kopi, di pangkalan, maupun di
warung nasi" cetusnya. 

Karena doyan ngomong itulah kemudian dia dikenal orang banyak. 

"Bahkan waktu itu saya pernah dipanggil Koramil Beji. Orang menyebut
saya dengan julukan pimpinan gerombolan becak."

Pak Sumar juga mengaku saat itu, saat itu dirinya seringkali
dibuntutui orang-orang dari Koramil. 

"Mereka koramil itu suka-suka nongkrong di pangkalan. Tapi saya cuek
aja. Toh yang sering saya suarakan adalah kebenaran." 

Kini semua telah berlalu, Sumarsono tidak bisa lagi narik becak,
lantaran kaki kanannya sakit, akibat asam urat yang dideritanya. 

Kepada Monde dia menyatakan sekarang negeri ini sudah terlalu
terpuruk, tapi rakyatnya terlelap tak sadarkan diri. 

"Hidup semakin susah, mau nggak mau kita harus melakukan perlawanan"
katanya lantang walaupaun terbatah-batah, ketika ditemui Monde dirumah
kontrakannya, di sekitar kampus UI Depok.

Semangatnya memang tak pernah pudar. Momentum seabad kebangkitan
nasional 20 Mei lalu, Pak Sumar ikut turun kejalan berjuang bersama
massa rakyat menolak rencana pemerintah yang saat itu akan menaikan
harga BBM.(Wenri Wanhar)


Kirim email ke