JAKARTA -- Peraih Nobel Perdamaian asal Bangladesh Muhammad Yunus menilai, 
krisis keuangan global meledak gara-gara para investor pasar modal telah 
mengubah bursa saham layaknya kasino atau tempat berjudi.

"Saat ini kapitalisme telah merosot pamornya menjadi tak ubahnya kasino (tempat 
judi)," kata Yunus dalam wawancara ekslusifnya dengan media Jerman, Der Sipegel 
(10/10).

Yunus melihat, pasar modal menjadi timpang karena miskinnya aturan dan lebih 
banyak dikendalikan oleh keserakahan yang ditandai dengan spekulasi yang sudah 
mencapai tingkat sangat merusak. "Ini semua harus dihentikan," kata bankir 
prorakyat miskin ini.

Wartawan Der Spiegel, Hasnain Kazim, lalu bertanya mengenai kemungkinan konsep 
keuangan mikro melalui Grameen Bank yang didirikan Yunus bisa menjadi model 
bagi keseluruhan sistem keuangan dunia.

Yunus menjawab secara implisit bahwa konsepnya tidak serta merta bisa diadopsi 
untuk mengoreksi kesalahan yang tercipta pada sistem keuangan dewasa ini karena 
ada perbedaan fundamental antara sistem pembiayaan mikro dengan konsep 
perbankan konvensional.

"Tatkala kami meminjami 200 dolar AS maka uang itu akan dipakai peminjam untuk 
membeli sapi atau bibit ayam. Dalam kata lain, uang bank akan dipakai untuk 
tujuan yang benar-benar konkret," terang pakar keuangan mikro itu.

Dengan demikian, sistem pembiayaan ekonomi atau perbankan benar-benar berkaitan 
dengan sektor riil atau pemanfaatannya. "Di Amerika Serikat, sistem keuangan 
sungguh terpisah dari masalah riil ekonomi. Istana-istana dibangun di langit 
dan tiba-tiba orang sadar bahwa istana-istana itu tidak pernah ada. Itulah 
keadaan yang membuat sistem keuangan sekarang runtuh," kata Yunus.

Kendati begitu, Yunus tidak menyarankan pemerintah terlalu mencampuri pasar 
keuangan, melainkan cukup dengan menegakkan aturan-aturan pasar.

Ia percaya perekonomian bisa mengoreksi kesalahannya karena ada "invisible 
hand" atau "mekanisme tersembunyi" yang senantiasa bisa menyelesaikan 
ketimpangan dalam perekonomian seperti disebut bapak ekonomi modern Adam Smith.

"Masalahnya 'invisible hand' itu lenyap beberapa hari terakhir ini. Apa yang 
sedang kita alami sekarang adalah kegagalan pasar yang dramatis," imbuhnya.

Meski tidak menolak kapitalisme, Yunus mengkritik pengelolaan pasar ala 
kapitalisme yang disebutnya terlalu memusatkan perhatian pada hanya memberi dan 
memberi insentif kepada kalangan bisnis serta maksimalisasi laba sejadi-jadinya.

"Harusnya insentif untuk tujuan-tujuan sosial juga termasuk di dalamnya. 
Diperlukan lebih banyak lagi perusahaan yang tak hanya melulu memburu untung 
setinggi-tingginya, tapi juga memberi kemanfaatan yang besar bagi kemajuan 
sosial," kata Yunus.

Yunus menyebut upaya menumpuk untung sebanyak mungkin hanya membuat kegiatan 
bisnis tidak memiliki tujuan apa-apa atau hampa. "Orang-orang mestinya 
menanamkan uangnya dalam sesuatu yang lebih berarti dan saya bisa menyebut ini 
sebagai sesuatu yang bisa meningkatkan kualitas hidup seluruh orang," kata 
Yunus. (ant/ah)


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to