Adam Malik, CIA, Kathy Kadane
Reply to: http://groups.yahoo.com/group/jurnalisme/message/40262 <http://groups.yahoo.com/group/jurnalisme/message/40262> Sayang sekali, artikel Thamrin Ely di bawah ini (CIA dan Adam Malik: Kegagalan Weiner , Sinar Harapan 4 des. 2008) amat menyesatkan. Selain datang terlambat, dia kurang berbobot -- too little, too late. Intinya: Thamrin Ely, mengkritik mereka yang menyangkal hubungan Adam Malik dengan CIA sebagai "pembelaan yang patriotik". Tetapi penulis itu sendiri menunjukkan sentimen yang sama. Dia misalnya menyangkal peran Adam Malik hanya dengan argumen "begitu rendahkah martabat Adam Malik yang hanya berurusan di tingkat paling bawah dari sebuah organisasi intelijen negara asing dan dibayar Rp 50 juta?", tanpa bahan bukti yang jelas. `Fakta' dan logikanya melompat-lompat. Thamrin Ely menulis: "Weiner yang adalah wartawan The New York Times menyebutkan bahwa Mc Avoy adalah operator yang membantu merekrut Perdana Menteri baru bagi masa depan Jepang. Padahal, Mc Avoy yang mahir berbahasa Indonesia dan meninggal pada usia 82 tahun 24 hari di Hawaii, sebelum bertugas di Indonesia, menempati pos di Bangkok." Sulit dimengerti bagaimana `argumentasi' seperti ini bisa dipakai untuk menyimpulkan "Ini pasti akal-akalan agen intelijen untuk menyamarkan segala sesuatu." Buku yang menjadi sandaran utama Thamrin Ely, Who's Who in CIA karya Julius Mader (1968), tidak bercerita tentang peran mereka yang digaji atau membantu CIA. Apalagi buku tsb tidak mungkin mengungkap dua masalah utama yang menyangkut Adam Malik dan CIA yaitu soal BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) 1964 dan soal pembantaian 1965-66. Buku Mader terbit hanya beberapa tahun setelah kedua isu tsb. Artinya, jauh sebelum arsip arsip Amerika ybs dibuka. Adalah wartawati Amerika Kathy Kadane yang mengungkap dan mengutip secara detail arsip arsip tsb pada 1990. Saya sendiri ketika itu melaporkannya untuk Mingguan EDITOR (sayang naskahnya tidak dapat ditemukan lagi). Lebih penting: diskusi paling menarik soal Adam Malik-CIA ada di milis http://groups.yahoo.com/group/temu_eropa <http://groups.yahoo.com/group/temu_eropa> , khususnya sumbangan Legowo, berjudul Adam Malik, lihat http://groups.yahoo.com/group/temu_eropa/message/7106 <http://groups.yahoo.com/group/temu_eropa/message/7106> . Di situ Legowo menunjuk pada laporan K. Kadane: Ex-agents say CIA compiled death lists for Indonesians (http://www.namebase.org/kadane.html <http://www.namebase.org/kadane.html> ). Laporan K. Kadane adalah yang terdini dan terlengkap sejauh ini. Anehnya pemberitaan media, termasuk TEMPO (23 Nov. 2008), sama sekali tidak menyinggung ini. Saya belum membaca buku Tim Weiner yang menjadi kontroversi, tapi terkesan Thamrin Ely mengambil jalan teramat mudah dengan mengesampingkan begitu saja penelitian Weiner yang dilakukan bertahun-tahun ditambah wawancara dengan tokoh-tokoh CIA (R.L. Martens, Mc Avoy) yang tidak diliput K. Kadane. Spionase antar negara adalah dunia yang rumit karena berlapis-lapis. Tidaklah mungkin semua yang terlibat akan tertulis eksplisit seperti diduga orang dari buku Mader (1968) tsb. Bahkan tidak semua yang terlibat secara struktural (on the payroll) bisa tercakup. Apalagi kalau ybs adalah diplomat atau setingkat menteri seperti Adam Malik. Adam besar kemungkinan tidak on the payroll, namun, sadar atau tak sadar, juga via asistennya, Tirta Kentjana ("Kim") Adhyatman, bisa saja dia terlibat mendalam. Sepanjang catatan saya, hanya peneliti LIPI Dewi Fortuna Anwar yang tidak serta merta membantah peran Adam Malik untuk CIA. Wajar jika di puncak Perang Dingin, Adam Malik berguna bagi CIA, ujarnya. Saya setuju dengan Dewi, hanya perlu dicatat bahwa Adam Malik, selain cerdik dan tangkas, juga menjiwai semangat para pendiri republik ini. Dalam soal Timor Timur, menarik, di satu sisi, Adam berperan terhormat. Dia sebagai Menlu menulis surat memberi pengakuan tertulis atas hak hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor Timur (April 1974) dan memberikannya kepada Jose Ramos-Horta, justru di saat Ali Murtopo mulai akal-akalan dengan infiltrasi dan mengguncang TimTim dan Fretilin. Saya kira dukungan Adam Malik kepada Ramos-Horta masuk akal mengingat Adam Malik memahami dan menjiwai sekali arti suatu perjuangan kemerdekaan. Dia satu satunya pejuang Agustus 1945 dalam kabinet sepanjang Orde Baru. Pada sisi lain, Adam Malik juga seorang tokoh Orde Baru tulen. Ketika pembantaian Matebian 1978 mulai terungkap di dunia luar (musibah politik dan kemanusiaan terbesar Orde Baru setelah 1965-66), komentar Adam sebagai Menlu menjadi kepala berita dunia. Ucapannya masyhur: "Ngapain sih ribut ribut (soal pembantaian itu)?" Why the big fuss?" ujar Adam, kepala dingin. Dia mesti menyadari bahwa Amerika sangat berkepentingan Timor Timur jatuh di tangan sekutu Amerika. Di puncak Perang Dingin medio-1970an itu, selat di lepas pantai TimTim selatan merupakan satu satunya celah di kedalaman laut yang dapat dilewati kapal selam Uni Soviet tanpa bisa dilacak dari permukaan. Amerika dan Indonesia (Adam Malik) berkepentingan agar dunia sunyi soal TimTim. Saya heran mengapa TEMPO tidak mewawancarai sekretarisnya Adam Malik ketika itu, yaitu Ali (waktu itu bernama: Alex) Alatas yang kelak jadi Menlu dan makan garam soal TimTim. Juga: mengapa tuduhan terhadap Adam Malik dalam buku T. Weiner diangkat media, sedangkan tuduhan serupa terhadap Ruslan Abdulgani (sebagai "mata mata Belanda") dalam buku "Villa Marheeze" (1990, bahasa Belanda), atau terhadap bekas menteri yang lain, Soemitro Djojohadi-kusumo, dan seorang wartawan terkemuka, (meski tentang yang dua terakhir ini, tidak pernah muncul dalam tulisan), tidak pernah diangkat ke permukaan? Sdr. Thamrin Ely mengambil jalan terlalu mudah - sembarangan - untuk menggempur buku Tim Weiner, dan membela Adam Malik tanpa argumentasi yang mengena. Too little, too late & too bad. Aboeprijadi Santoso (Tossi), wartawan. Sinar Harapan - Kamis, 04 Desember 2008 O P I N I CIA dan Adam Malik: Kegagalan Weiner Oleh: Thamrin Ely Pemenang hadiah jurnalistik Pulitzer, Tim Weiner, hari-hari ini sedang menuai kecaman dari masyarakat Indonesia lantaran isi bukunya, Legacy of Ashes The History of CIA yang pertama kali terbit 2007. Terjemahan bahasa Indonesia diterbitkan oleh Gramedia setahun kemudian, bertajuk Membongkar Kegagalan CIA dengan subjudul "Spionase Amatiran Sebuah Negara Adidaya". Berbeda dengan judul asli, terjemahan Indonesia memilih judul yang provokatif untuk mendongkrak penjualan buku. Yang menjadi bahan perbincangan masyarakat adalah kesimpulan Tim Weiner bahwa Adam Malik adalah Agen Central Intelligence Agency (CIA) yang direkrut dan dibiayai Amerika Serikat lewat organisasi intelijen tersebut (Lihat Edisi Indonesia Halaman 329-334). Reaksi masyarakat bermacam-macam. Mulai dari pembelaan yang patriotik terhadap salah satu pahlawan Indonesia itu sampai dengan serangan balik yang berbau persaingan bisnis agar buku tersebut ditarik dari peredaran. Padahal, kalau kita mau sedikit nuchter akan ditemukan kelemahan yang bisa menjadi amunisi untuk melancarkan kritik kepada karya tersebut. Dengan kepustakaan bidang intelijen, khususnya buku Who's Who in CIA karya Julius Mader (1968), tulisan ini ingin menawarkan dua pendekatan yang bisa digunakan secara objektif untuk membedah kebenaran isi buku Weiner. Pertama, pendekatan teori jurnalistik. Sepandai-pandai Weiner melompat, dia tidak akan bisa berkelit dari sangkaan bahwa karyanya itu tidak memenuhi persyaratan jurnalistik yang elementer sekalipun. Sangat ironis, sebagai penerima penghargaan jurnalistik bergengsi, keterangan dari Clyde Mc Avoy maupun Bob Martens yang dijadikan narasumber utama tidak dicek kembali baik kepada yang bersangkutan atau ke alamat sumber lain yang kompeten. Kalau benar Adam Malik adalah agen, maka kedudukannya berada di bawah Clyde Mc Avoy, dan Bob Martens, yang adalah agen CIA yang disusupkan di Kedubes Amerika di Jakarta. Mc Avoy adalah Sekretaris 2 dan Martens menjabat Sekretaris 1. Mereka berdua dikontrol oleh Hugh Tovar sebagai Atase militer dan Kepala Stasiun CIA di Jakarta. Akurasi Meragukan Secara jurnalistik, tingkat akurasi buku Weiner juga cukup meragukan. Weiner yang adalah wartawan The New York Times menyebutkan bahwa Mc Avoy adalah operator yang membantu merekrut Perdana Menteri baru bagi masa depan Jepang. Padahal, Mc Avoy yang mahir berbahasa Indonesia dan meninggal pada usia 82 tahun 24 hari di Hawaii, sebelum bertugas di Indonesia, menempati pos di Bangkok. Ini pasti akal-akalan agen intelijen untuk menyamarkan segala sesuatu. Bisa jadi apa yang diucapkan Mc Avoy tentang Adam Malik kepada Weiner adalah juga untuk menyembunyikan tokoh yang sesungguhnya. Kedua, pendekatan teori organisasi. Amerika Serikat memiliki struktur organisasi intelijen yang rumit. Di dalamnya, terdapat CIA yang bertanggung jawab kepada Intelligence Advisory Committee yang di atasnya masih ada National Security Council sebelum sampai ke lembaga kepresidenan. Artinya, kegiatan pada tingkat agen yang cukup ditangani di Office for Secret Activity atau Sector Operations Division atau Sector Personnel and Organization, tidak serta merta menjadi urusan negara dan menjadi concern di tingkat kepala negara. Pola rekrutmen organisasi intelijen di seluruh dunia tidak banyak berbeda. Apa yang dilakukan Mc Avoy sebagai agen CIA sesungguhnya hanyalah pada tahap spotting dan vetting sebagai prosedur awal, sebelum rekrutmen yang berada di tangan kantor pusat. Aneh bila agen melakukan rekrutmen terhadap agen. Tapi yang menonjol dari CIA, organisasi ini selalu memilih menempatkan agen mereka yang dengan gampang bisa menggunakan kekebalan diplomatik jika dibutuhkan. Itu berarti bahwa di berbagai negara pada kedutaan besar maupun konsulat Amerika, ada ditempatkan agen CIA. Nama-nama Humphrey (yang pernah menjadi Wapres USA), dan dua bersaudara Bundy dalam buku Weiner ternyata juga pernah bekerja sebagai diplomat sekaligus Agen CIA. Tim Weiner Gagal Kerja para diplomat memang harus berhubungan dengan lingkungan masyarakat di mana dia ditempatkan. Maka wajar kalau Adam Malik adalah salah seorang tokoh yang banyak dihubungi untuk mendapatkan informasi yang jitu. Jika agen CIA bisa merekrut seorang agen baru, disadari atau tidak oleh sang calon seperti pengakuan Tim Weiner, berapa banyak yang sudah direkrut tanpa sadar? Artinya setiap orang yang berhubungan dengan pejabat Kedutaan Besar AS yang merangkap agen CIA, bisa diklaim sebagai agen tanpa sadar. Naif sekali. Ada 3.000 agen CIA yang tersebar di 120 negara di seluruh dunia pada jangka waktu antara tahun lima puluhan sampai enam puluhan. Tujuh puluh delapan agen di antaranya beroperasi di Indonesia pada kurun waktu tersebut. Tapi, dari tiga nama Adams yang tercantum dalam buku Who's Who in CIA tak seorang pun yang bernama Adam Malik. Dengan visi "to be the keystone of a US Intelligence Community that is pre-eminent in the world, known for both the high quality of our work and the excellence for our people", CIA memiliki misi mendukung Presiden Amerika Serikat, The National Security Council, dan semua lembaga yang berperan dalam menentukan kebijakan keamanan nasional Amerika (lihat http://www.cia. <http://www.cia./> gov /cia/information/ mission.html) . Pertanyaan akhir yang muncul, begitu rendahkah martabat Adam Malik yang hanya berurusan di tingkat paling bawah dari sebuah organisasi intelijen negara asing dan dibayar Rp 50 juta? Sementara pada waktu itu Adam Malik adalah pejabat tinggi yang sangat berperanan, sebelum kemudian menjadi Wakil Presiden RI? Tim Weiner telah gagal meyakinkan pembacanya di Indonesia. * Penulis adalah mantan wartawan. Pengamat Intelijen. Direktur Center for Separatism Studies (Cenforses). [Non-text portions of this message have been removed]