http://202.169.46.231/spnews/News/2009/01/22/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Destruktivitas Politik Rakyat Umbu TW Pariangu Di berbagai teras depan negeri ini, iklan-iklan politik menujumkan masa depan bangsa yang lebih baik. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memaparkan keberhasilannya selama lima tahun. Kemiskinan berkurang, harga BBM diturunkan tiga kali dan korupsi diberantas. Sementara Jusuf Kalla (JK) terus mengedepankan Golkar sebagai partai terpopuler (hasil survei mutakhir Indonesia Political Marketing Research) dipilih oleh 68,4 persen dari 16.800 responden di 77 daerah pemilihan. Pada bagian lain, SBY kecewa dan marah dengan kinerja Pertamina yang menyebabkan kelangkaan BBM, khususnya premium. JK terus meyakinkan rakyat, meski bangsa dihantui krisis, Indonesia pasti mampu mengatasinya. Semangat yang terlecut dari seorang pemimpin adalah keniscayaan. Tetapi, semangat mutlak mensyaratkan tindakan. Kekecewaan dan kesedihan merupakan kegelisahan yang menguakkan cermin tubuh. Namun, dalam terminologi kekuasaan, bahasa tubuh selalu menjadi sesuatu yang klise, berdiri sendiri dari ruang batin. Demikian, John Locke (1632-1704). Inilah politik spasial yang sedang dipikul politisi kita. Saat pemilu kian dekat, subjektivikasi politis terus mengental. Kesenjangan kata dan perbuatan kian menganga, yang disantunkan dalam baliho, iklan yang menarik. Ruang-ruang politik terus diarsir bahasa "kepentingan" demi memancing simpati kepalsuan. Kubu incumbent (SBY) menegaskan komitmen memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Padahal, komitmen tak bisa diukur oleh satu fakta. Siapa pun, di tengah tekanan politik, pasti akan bertindak moderat walau dengan konsinyasi politik yang kental. Pada titik ini, terasa tipis maknanya. Apakah bagi kepentingan umum atau populisme pribadi? Apakah demi sebuah citra positif atau negatif? Sedangkan antara yang positif-negatif dalam politik, seakan selaras. Yang pasti, popularitas telah menjadi konveyor baru dalam pengukuhan politik-kekuasaan prapemilu 2009. Arus pemikiran dan konklusi kekuasaan elite politik pada ujungnya selalu berumahkan citra. Kebutuhan Pertanyaannya, apakah segenap persepsi kekuasaan di atas mencerminkan kebutuhan urgen kerakyatan? Sebenarnya, sah-sah saja sebuah artikulasi kekuasaan dibangun. Apalagi, menurut Dennis F Thompson (2000), kepada pemimpin diberi hak dan tanggung jawab untuk berpendapat dan bertindak atas nama negara. Saat krisis seperti ini, bangsa membutuhkan proteksi liabilitas moral. Namun, ini sia-sia jika tidak ditujukan bagi penyerapan dukungan positif rakyat. Dukungan positif dimaksud kurang lebih impresifitas politik-kekuasaan saat mengeksekusi hal yang menyangkut bonum commune. Sebut saja, bagaimana upaya memberikan perlindungan daya beli masyarakat terhadap berbagai kebutuhan pokok, bagaimana menjamin rasa adil rakyat di tengah paradoksalitas hukum. Singkat kata, menurut Fukuyama, negara mestinya mampu menyediakan jaminan futuris yang hakiki bagi aktualisasi kehidupan publik. Dengan demikian, masa depan rakyat bukan menjadi barang angker dan momok dalam kalkulasi keseharian rakyat. Deretan kejadian bunuh diri atau kasus pernikahan nenek-cucu yang ditempuh rakyat di berbagai daerah, karena tak mampu memenuhi kebutuhan, merupakan sebuah miniatur kegagalan sebuah bangsa. Benn Anderson, dalam konsep imagine community-nya selalu membayangkan sebuah bangsa yang di dalamnya himpunan keluarga berinteraksi dan saling mengimajinasi kesamaan cita dan eksistensi. Oleh karena itu, jika masih banyak keluarga di Republik ini yang dirundung kelaparan, gizi buruk, busung lapar, dan terkapar tak berdaya oleh penyakit musiman diare, seperti di NTT, ini merupakan kontinuitas rusaknya jalinan sense of nationalism. Lalu, apa makna dari semua manuskrip keberhasilan yang digelegarkan pemerintah ke gendang telinga rakyat dewasa ini? Ketika rakyat mengerang kelangkaan minyak tanah, pupuk, di-PHK, dan digusur dari lahan mata pencahariannya,pemerintah malah seakan mengatakan, i have been happy dengan terus menggelembungkan kebanggaan-kebanggaan semu. Destruktivisme politik akan dengan mudah membentang jika teleologis-kerakyatan hanya sebuah ilusionis kekuasaan. Rakyat bukan lagi sebuah modal sosial yang memperkuat elan vital negara, namun terus dijadikan medium objektifikasi statistikalitas yang pada gilirannya menelanjangi hak dan kedaulatannya. Rakyat Zbigniew Brzezinski pernah menyelidiki sebab-musabab runtuhnya komunisme di Uni Soviet. Kesimpulannya, salah satu sebab keruntuhan komunisme adalah dipakainya strategi: "kuberi kau roti agar kau simpati" yang dipakai Partai Komunis Uni Soviet (PKUS), yang ternyata rapuh dan gagal meletakkan dasar hubungan yang kuat antara PKUS dan masyarakat Soviet (Brzezinski, 1990). Pada satu sisi, rakyat mengharapkan suatu "kepastian" rancangan masa depan politik yang lebih baik. Namun, pada sisi lain, iktikad mulia ini justru digerusi kepentingan parsial yang mengatasnamakannya. Politik uang, pembagian kartu nama, stiker, sembako, dan aneka katarsis kekuasaan lainnya menjelang pemilu merupakan sebuah taktis sekaligus pemojokan posisi rakyat. Sama seperti fenomena survei yang mengulas popularitas sosok capres ataupun parpol di mana masing-masing lembaga mengklaim kemenangan sosok/parpol tertentu. Hasil Lembaga Survei Indonesia 4 Januari 2009, misalnya, menyimpulkan, jika pemilu dilakukan pada 10-22 Desember 2008), maka 23 persen rakyat pemilih akan menjatuhkan simpatinya pada Partai Demokrat, PDI-P 17 persen dan Golkar 13 persen. Lingkaran Survei Indonesia pada pertengahan Desember 2008 justru menampilkan angka berbeda, PDI-P berada di urutan pertama sebagai partai yang diminati publik, yakni sebanyak 31 persen, Partai Demokrat menempati urutan kedua, 19 persen, dan Golkar di posisi ketiga, 11 persen. Banyak dugaan, ini sebagai implikasi dari spektrum orientasi, sumber pendanaan, dan berbagai jaringan kepentingan yang berada di belakang lembaga survei tersebut. Benar atau tidak, yang jelas pemilu telah menciptakan momentis yang potensial berkelemahan, tidak saja bagi kelangsungan demokrasi, tetapi juga bagi eksistensi rakyat itu sendiri. Penulis adalah Dosen FISIP Universitas Nusa Cendana, Kupang -------------------------------------------------------------------------------- Last modified: 22/1/09 [Non-text portions of this message have been removed]