http://www.republika.co.id/berita/48365/Sejarah_Penanggalan_Islam

Sejarah Penanggalan Islam


Jumlah hari dalam satu bulan dalam kalender hijriah bergantung pada posisi 
bulan, bumi, dan matahari.


Hampir seluruh umat Islam di seluruh dunia mengenal sistem kalender masehi (M). 
Bahkan, ketika diminta untuk menyebutkan nama-nama bulan masehi, mereka dengan 
mudah mengucapkannya.

Sebaliknya, ketika dimintai pendapatnya tentang kalender Islam atau hijriyah, 
kebanyakan mereka akan menggelengkan kepala, tanda tak tahu. Sungguh, itu 
sangat memprihatinkan sebab mereka tidak mengetahui kalendernya sendiri. 
Bahkan, mereka tak tahu bulan apa yang pertama dari kalender hijriyah.

''Ini disebabkan minimnya sosialisasi keberadaan kalender hijriyah pada umat 
Islam,'' jelas dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Semarang, Muhammad 
Izzudin MAg, kepada Republika.

Izzuddin menjelaskan, sistem penanggalan Islam dimulai pada saat Rasulullah SAW 
berhijrah dari Makkah ke Madinah. Perpindahan (hijrahnya)  Rasulullah ini, kata 
dia, menunjukkan adanya tujuan dalam menggapai kedamaian bagi umat Islam. 
''Meninggalkan keburukan menuju kebaikan,'' tegasnya.

Seperti diketahui, peristiwa hijrah Rasulullah itu terjadi pada hari Kamis, 
bertepatan dengan 15 Juli 622 M. Mulai tahun itulah dihitung sebagai tahun 
hijriyah. Berbeda dengan tahun masehi yang dimulai pada 1 Januari, sistem 
penanggalan Islam diawali pada 1 Muharram. Dan, dalam setahun, sama-sama berisi 
12 bulan.

Kendati penerapan kalender hijriyah merujuk pada tahun hijrahnya Rasulullah 
dari Makkah ke Madinah, penanggalan tersebut resmi digunakan setelah 17 tahun 
kemudian saat sistem pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Khattab.

Penetapan awal tahun hijriyah yang dilakukan Khalifah Umar ini merupakan upaya 
dalam merasionalisasikan berbagai sistem penanggalan yang digunakan pada masa 
pemerintahannya. Kadang, sistem penanggalan yang satu tidak sesuai dengan 
sistem penanggalan yang lain sehingga sering menimbulkan persoalan dalam 
kehidupan umat.

Bila menilik sejarahnya, sebelum datangnya Islam, bangsa Arab telah menggunakan 
kalender tersendiri. Mereka belum menetapkan tahun, namun sudah mengenal 
nama-nama bulan dan hari. Kalaupun harus menggunakan tahun, itu hanya berkaitan 
dengan peristiwa yang terjadi, seperti Tahun Gajah yang dinisbatkan pada masa 
penyerbuan Abrahah ketika akan menghancurkan Ka'bah.

Karena kesulitan dalam menetapkan tahun tersebut dan seiring dengan makin 
banyaknya persoalan yang ada terkait dengan sistem kalender yang baku, Khalifah 
Umar pun berinisiatif menetapkan awal hijrah sebagai permulaan tahun masehi 
setelah melakukan musyawarah dengan sejumlah sahabat.

Dari sini, disepakati bahwa tahun hijrahnya Nabi Muhammad SAW beserta para 
pengikutnya dari Makkah ke Madinah adalah tahun pertama dalam kalender Islam. 
Sedangkan, nama-nama bulan tetap digunakan sebagaimana sebelumnya, yakni 
diawali pada bulan Muharram dan diakhiri pada bulan Dzulhijjah.

Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad beserta para pengikutnya dari Makkah ke 
Madinah yang dipilih sebagai titik awal perhitungan tahun tentunya mempunyai 
makna yang amat dalam bagi umat Islam.

Peritiwa hijrah dari Makkah ke Madinah, kata Izzudin, merupakan peristiwa besar 
dalam sejarah awal perkembangan Islam. Peristiwa hijrah adalah pengorbanan 
besar pertama yang dilakukan nabi dan umatnya untuk keyakinan Islam, terutama 
dalam masa awal perkembangannya. Peristiwa hijrah ini juga melatarbelakangi 
pendirian kota Muslim pertama.

Tahun baru dalam Islam mengingatkan umat Islam pada kemenangan atau kejayaan 
Islam serta pengorbanan dan perjuangan tanpa akhir di dunia ini.

Rotasi bulan
Bila tahun masehi terdapat sekitar 365-366 hari dalam setahun, tahun hijriyah 
hanya berjumlah sekitar 354-355 hari. Menurut Izzudin, perbedaan ini disebabkan 
adanya konsistensi penghitungan hari dalam kalender hijriyah.

''Rata-rata, jumlah hari dalam tahun hijriyah antara 29-30 hari. Sedangkan, 
tahun masehi berjumlah 28-31 hari. Inilah yang membedakan jumlah hari antara 
tahun masehi dan tahun hijriyah,'' jelas anggota Badan Hisab dan Rukyah PWNU 
Jawa Tengah ini.

Pada sistem kalender hijriyah, sebuah hari atau tanggal dimulai ketika 
terbenamnya matahari di tempat tersebut. Kalender hijriyah dibangun berdasarkan 
rata-rata silkus sinodik bulan yang memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan 
menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 
x 29,53059 hari = 354,36708 hari). Hal inilah yang menjelaskan hitungan satu 
tahun kalender hijriyah lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 
penghitungan satu tahun dalam kalender masehi.

Faktanya, siklus sinodik bulan bervariasi. Jumlah hari dalam satu bulan dalam 
kalender hijriyah bergantung pada posisi bulan, bumi, dan matahari. Usia bulan 
yang mencapai 30 hari bersesuaian dengan terjadinya bulan baru (new moon) di 
titik apooge, yaitu jarak terjauh antara bulan dan bumi; kemudian pada saat 
yang bersamaan, bumi berada pada jarak terdekatnya dengan matahari (perihelion).

Sementara itu, satu bulan yang berlangsung 29 hari bertepatan dengan saat 
terjadinya bulan baru di perige (jarak terdekat bulan dengan bumi) dan bumi 
berada di titik terjauhnya dari matahari (aphelion). Dari sini, terlihat bahwa 
usia bulan tidak tetap, melainkan berubah-ubah (antara 29 hingga 30 hari) 
sesuai dengan kedudukan ketiga benda langit tersebut (bulan, bumi, dan 
matahari).

Penentuan awal bulan ditandai dengan munculnya penampakan bulan sabit pertama 
kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtimak). Pada fase ini, bulan 
terbenam sesaat setelah terbenamnya matahari sehingga posisi hilal berada di 
ufuk barat.

Jika hilal tidak dapat terlihat pada hari ke-29, jumlah hari pada bulan 
tersebut dibulatkan menjadi 30 hari. Tidak ada aturan khusus bulan-bulan mana 
saja yang memiliki 29 hari dan mana yang memiliki 30 hari. Semuanya tergantung 
pada penampakan hilal. sya/dia/berbagai sumber


Percampuran Islam-Jawa dalam Penanggalan Hijriyah

Kedatangan agama Islam di tanah Jawa membawa bermacam-macam produk budaya dari 
pusat penyebaran Islam. Di antara produk budaya yang dibawa Islam ketika itu 
adalah sistem penanggalan berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi (qomariah), 
yang dikenal dengan penanggalan hijriyah. Sesungguhnya, masyarakat Jawa sendiri 
sudah punya sistem penanggalan yang mapan, yaitu penanggalan saka.

Ada beberapa perbedaan antara kalender saka dengan kalender hijriyah, seperti 
perbedaan nama-nama bulan dan penetapan permulaan hari. Namun kemudian, terjadi 
percampuran kedua kalender--kalender Jawa-Islam--yang masih digunakan hingga 
saat ini. Percampuran ini memunculkan sejumlah pertanyaan. Apakah telah terjadi 
Jawanisasi Islam atau Islamisasi Jawa?

Lalu, jika memang telah terjadi percampuran, bagaimana proses itu berjalan 
sehingga tidak menimbulkan penolakan terhadap ajaran Islam yang ketika itu 
masih relatif baru? Tema perbincangan seputar percampuran Jawa-Islam ini sangat 
menarik. Karena, di satu sisi, itu menunjukkan sikap terbuka masyarakat Jawa. 
Di sisi lain, hal itu membuktikan Islam sebagai agama rahmatan li al-alamin 
(rahmat bagi seluruh alam).

Menurut sejarah, munculnya kalender Jawa-Islam tidak lepas dari peran Sultan 
Agung (1613-1645), sultan Mataram Islam ketiga yang bergelar Senapati Ing Alaga 
Sayiddin Panatagama Kalifatullah. Beliau mengakulturasikan (menggabungkan) 
penanggalan Jawa (saka) yang berdasarkan sistem kalender matahari dan bulan 
(kalender lunisolar) dengan penanggalan hijriyah. Menurut Prof Dr MC Ricklefs, 
dalam artikelnya "Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa Terutama pada Abad ke 
XIX", upaya percampuran itu terjadi pada tahun 1633 M.

Ricklefs mengisahkan, pada tahun 1633 M, Sultan Agung berziarah ke pesarean 
(kuburan) Sunan Bayat di Tembayat. Disebutkan dalam Babad Nitik, Sultan Agung 
diterima oleh arwah Sunan Bayat. Sultan Agung yang masih berada di pesarean 
Tembayat diperintahkan untuk mengganti kalender Jawa. Sebelum itu, kalender 
saka (yang berasal dari kebudayaan Hindu) adalah kalender yang masih dipakai 
dalam lingkungan keraton. Kemudian, kalender itu diganti dengan kalender 
qamariah yang berisi bulan-bulan Islam. Maka, terciptalah kalender baru yang 
unik, yaitu kalender Jawa-Islam.

Bulan-bulan dalam kalender Jawa-Islam adalah Sura, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, 
Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Sela, dan Besar. Ada bulan 
yang masih menggunakan istilah Arab, yaitu Jumadilawal dan Jumadilakir. Warna 
Jawa pada kalender Jawa-Islam lebih kentara pada lima hari pasar atau Pancawara 
(Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi).

Menurut Dr Purwadi, peneliti budaya Jawa asal Yogyakarta, lima hari pasar 
sangat penting bagi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Jawa, terutama bagi 
mereka yang hidup di pedesaan atau yang masih memegang kepercayaan tradisional. 
''Coba, kita lihat bagaimana masyarakat Jawa mendasarkan aktivitasnya pada lima 
hari pasar itu. Kalau mau bepergian, mereka terlebih dahulu menghitung hari 
baik, apakah Pon, Wage, Kliwon, atau hari lainnya,'' ungkapnya kepada Republika.

Menurut Purwadi, dari kalangan umat Islam sendiri, umat nahdliyin adalah umat 
yang masih kuat menggunakan penanggalan Jawa-Islam. ''Pada papan pengumuman di 
masjid-masjid NU, biasanya terdapat jadwal khatib Jumat berdasarkan hari-hari 
pasaran. Misalnya, pada Jumat Pon yang khatib adalah kiai A, Jumat Wage kiai B, 
Jumat Kliwon kiai C dan seterusnya,'' lanjutnya.

Lima hari pasar, jelasnya, juga sangat penting dalam kegiatan perekonomian 
masyarakat Jawa sehingga seseorang akan melakukan aktivitas ekonomi pada hari 
tertentu dan tidak melakukannya pada hari lain. Hal itu tercermin pada 
nama-nama pasar di daerah-daerah Jawa. Ada Pasar Legi, Pasar Kliwon, dan Pasar 
Wage. Ini berbeda dengan masyarakat Melayu yang menamakan pasar dengan 
nama-nama hari biasa, seperti Pasar Jumat, Pasar Rabu, atau Pasar Minggu.

Menurut Purwadi, sistem penanggalan Jawa-Islam akan tetap dipakai oleh umat 
Islam Jawa karena di dalamnya terdapat kepercayaan-kepercayaan mistis. 
Teknologi informasi saat ini malah semakin menguatkan fungsi klasifikasi 
Pancawara itu. Contohnya, iklan yang ditayangkan di televisi lebih banyak iklan 
tentang kepercayaan Jawa, seperti Primbon, Ramal, Manjur, dan lainnya.

Fenomena ini diakui Purwadi sebagai desakralisasi sistem Pancawara. Di sisi 
lain, itu menunjukkan kepercayaan masyarakat pada hal-hal mistis tetap kuat. 
rid/berbagai sumber


Sistem Penanggalan yang Digunakan di Dunia

Masyarakat dunia mengenal beberapa macam sistem penanggalan dan kalender. 
Sedikitnya, ada empat sistem penanggalan, yaitu kalender hijriyah, masehi, 
saka, dan Cina. Masing-masing kalender tersebut dibangun dengan menggunakan 
mekanisme penghitungan yang berbeda satu sama lain.

Kalender hijriyah atau kalender Islam, misalnya, menggunakan sistem kalender 
lunar (qomariyah) yang mengacu kepada siklus perputaran bulan. Kalender masehi 
menggunakan basis penghitungan kalender solar (syamsiyah) yang mengacu kepada 
siklus peredaran matahari.

Sementara itu, kalender saka dan kalender Cina menggunakan sistem penanggalan 
syamsiyah dan qomariyah atau sering disebut dengan istilah kalender luni-solar.

Penanggalan hijriyah
Dalam menentukan tanggal atau bulan yang berkaitan dengan ibadah atau hari-hari 
penting lainnya, umat Islam berpatokan pada sistem penanggalan hijriyah. 
Bahkan, di banyak negara yang berpenduduk mayoritas Islam, kalender hijriyah 
digunakan sebagai sistem penanggalan sehari-hari.

Kalender ini dinamakan kalender hijriyah karena pada tahun pertama kalender ini 
adalah tahun di mana terjadi peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah 
ke Madinah, yakni pada tahun 622 Masehi (M). Namun, penentuan kapan dimulainya 
tahun 1 Hijriyah baru dilakukan enam tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW 
atau 17 tahun setelah hijrah, yakni semasa pemerintahan Khalifah Umar bin 
Khattab.

Namun demikian, sistem yang mendasari penghitungan kalender hijriyah telah ada 
sejak zaman pra-Islam. Sistem ini direvisi pada tahun ke-9 setelah hijrahnya 
Nabi SAW. Revisi sistem ini dilakukan setelah turunnya wahyu Allah, ayat 36-37 
surah Attaubah, yang melarang penambahan hari (interkalasi) pada sistem 
penanggalan.

Kalender masehi
Kata 'masehi' (disingkat M) dan sebelum masehi (disingkat SM) biasanya merujuk 
kepada tarikh atau tahun menurut kalender gregorian. Awal tahun masehi merujuk 
pada tahun yang dianggap sebagai tahun kelahiran Nabi Isa al-Masih. Karena itu, 
kalender ini dinamakan masihiyah. Sebaliknya, istilah sebelum masehi (SM) 
merujuk pada masa sebelum tahun tersebut.

Sebagian besar orang non-Kristen biasanya mempergunakan singkatan M dan SM ini 
tanpa merujuk kepada konotasi Kristen tersebut. Sementara itu, penggunaan 
istilah masehi secara internasional dalam bahasa Inggris menggunakan bahasa 
Latin, yaitu anno domini (AD) yang berarti Tahun Tuhan kita dan sebelum masehi 
disebut sebagai before Christ (BC) yang bermakna Sebelum Kristus.

Selain itu, dalam bahasa Inggris juga dikenal sebutan common era (CE) yang 
berarti 'Era Umum' dan before common era (BCE) yang bermakna 'Sebelum Era 
Umum.' Kedua istilah ini biasanya digunakan ketika ada penulis yang tidak ingin 
menggunakan nama tahun Kristen.

Sistem penanggalan yang merujuk pada awal tahun Masehi ini mulai diadopsi di 
Eropa Barat pada abad ke-8. Sistem ini mulai dirancang tahun 525. Namun, pada 
abad ke-11 hingga ke-14, sistem ini tidak begitu luas digunakan. Tahun 1422, 
Portugis menjadi negara Eropa terakhir yang menerapkan sistem penanggalan ini. 
Setelah itu, seluruh negara di dunia mengakui dan menggunakan konvensi ini 
untuk mempermudah komunikasi.

Meskipun tahun 1 M dianggap sebagai tahun kelahiran Yesus, bukti-bukti historis 
terlalu sedikit untuk mendukung hal tersebut. Para ahli menanggali kelahiran 
Yesus secara bermacam-macam, dari 18 SM hingga 7 SM.

Sejarawan tidak mengenal tahun 0-1 M adalah tahun pertama sistem masehi dan 
tepat setahun sebelumnya adalah tahun 1 SM. Dalam perhitungan sains, khususnya 
dalam penanggalan tahun astronomis, hal ini menimbulkan masalah karena tahun 
sebelum masehi dihitung dengan menggunakan angka 0. Maka dari itu, terdapat 
selisih satu tahun di antara kedua sistem.

Tahun saka
Kalender saka adalah sebuah kalender yang berasal dari India. Kalender ini 
merupakan sebuah penanggalan syamsiyah qomariyah (candra surya) atau kalender 
luni solar. Tidak hanya digunakan oleh masyarakat Hindu di India, kalender saka 
juga masih digunakan oleh masyarakat Hindu di Bali, Indonesia, terutama untuk 
menentukan hari-hari besar keagamaan mereka.

Sistem penanggalan saka sering juga disebut sebagai penanggalan Saliwahana. 
Sebutan ini mengacu kepada nama seorang ternama dari India bagian selatan, 
Saliwahana, yang berhasil mengalahkan kaum Saka. Tetapi, sumber lain 
menyebutkan bahwa justru kaum Saka di bawah pimpinan Raja Kaniskha I yang 
memenangkan pertempuran tersebut. Peristiwa tersebut terjadi pada bulan Maret 
tahun 78 M.

Sejak tahun 78 M itulah ditetapkan adanya tarikh atau perhitungan tahun saka, 
yang satu tahunnya juga sama-sama memiliki 12 bulan dan bulan pertamanya 
disebut caitramasa, bersamaan dengan bulan Maret tahun masehi. Sejak itu pula, 
kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan beragama di India ditata ulang. Oleh 
karena itu, peringatan Tahun Baru Saka bermakna sebagai hari kebangkitan, hari 
pembaharuan, hari kebersamaan (persatuan dan kesatuan), hari toleransi, dan 
hari kedamaian sekaligus hari kerukunan nasional.

Mengenai kaum Saka, ada yang menyebut bahwa mereka termasuk suku bangsa Turki 
atau Tatar. Namun, ada pula yang menyebut bahwa mereka termasuk kaum Arya dari 
suku Scythia. Sumber lain lagi menyebutkan bahwa mereka sebenarnya orang Yunani 
(dalam bahasa Sansekerta disebut Yavana) yang berkuasa di Baktria (sekarang 
Afghanistan).

Kalender Cina
Seperti halnya kalender saka, kalendar Cina juga menggunakan sistem penanggalan 
luni solar. Menurut legenda, kalendar Cina berkembang sejak tahun ketiga 
sebelum masehi. Para ahli menyepakati bahwa kalendar Cina sebagai patokan 
penanggalan yang paling lama digunakan di dunia. Kalendar ini adalah ciptaan 
pemerintah Huang Di atau Maharaja Kuning yang memerintah sekitar 2698-2599 SM.

Bukti arkeologi terawal mengenai kalendar Cina ditemukan pada selembar naskah 
kuno yang diyakini berasal dari tahun kedua sebelum masehi atau pada masa 
Dinasti Shang berkuasa. Pada masanya, dipaparkan tahun luni solar yang lazimnya 
12 bulan, namun kadang-kadang ada pula bulan ke-13, bahkan bulan ke-14. 
Penambahan bilangan bulan dalam tahun kalendar memastikan peristiwa tahun baru 
tetap dilangsungkan dalam satu musim saja, sebagaimana kalender masehi 
meletakkan satu hari tambahan pada bulan Februari setiap empat tahun.

Di negara Cina sekarang, kalendar Cina hanya digunakan untuk menandai perayaan 
orang Cina, seperti Tahun Baru Cina, perayaan Duan Wu, dan Perayaan Kuih Bulan. 
Begitu juga dalam bidang astrologi, seperti memilih tahun yang sesuai untuk 
melangsungkan perkawinan atau meresmikan pembukaan bangunan baru. Sementara 
itu, untuk kegiatan harian, masyarakat Cina mengacu kepada hitungan kalender 
masehi. dia/taq/berbagai sumber


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke