Aktivis dan LSM Menyatakan Sikap: Pembakaran Buku Melanggar Konstitusi
 
Jakarta - Aktivis LSM, tokoh pers, dan eksponen masyarakat lainnya menggelar 
per­nyataan sikap di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), 
Jakarta, Jumat (11/9), memprotes aksi pembakaran buku Revolusi Agustus: 
Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono oleh Front Antikomunis di 
Surabaya, pekan lalu.

Aksi pembakaran itu merupakan reaksi atas kolom serial wartawan senior 
sekaligus CEO Jawa Pos Group, Dahlan Iskan, yang bertajuk ““Soemarsono, Tokoh 
Kunci dalam Pertempuran Surabaya” di Jawa Pos yang dimuat berturut-turut sejak 
9 hingga 11 Agustus 2009. Disebutkan, di artikel itu Soemarsono adalah tokoh 
utama pertempuran Surabaya melawan sekutu di tahun 1945, sekaligus menjadi 
tokoh utama pemberontakan komunis dalam Peristiwa Madiun di tahun 1948.

Tulisan Dahlan memancing reaksi Front Antikomunis menggelar demonstrasi dan 
mendatangi Kantor Redaksi Jawa Pos di Gedung Graha Pena di Jalan Ahmad Yani, 
Surabaya (2/9).
Sejarawan Bonnie Triyana, salah satu pendukung pernyataan sikap, mengatakan 
orang bisa saja tak setuju pada isi buku, namun tak lantas menanggapi dengan 
melakukan pembakaran. “Saya pun belum tentu setuju pada isi buku Soemarsono,” 
ujarnya kepada SH, Jumat (11/9) dalam jumpa pers di YLBHI. Pembakaran buku 
Soemarsono dinilai Bonnie mengulang kembali aksi fasisme Nazi yang melakukan 
pembakaran terhadap buku karya Sigmund Freud, Albert Einstein, Thomas Mann, 
Jack London, HG Wells serta cendekiawan lainnya.

Dalam pernyataan bersama disebutkan, atas dasar akal sehat dan kepercayaan pada 
demokrasi, pembakaran buku adalah tindakan fasistis yang bertentangan dengan 
kemanusiaan dan upaya pencerdasan masyakat. “Kami juga menuntut dihentikannya 
tindakan pelarangan buku atas alasan apa pun. Bila terjadi perbedaan pandangan, 
yang diwakili sebuah buku, hendaknya dijawab dengan menerbitkan buku baru yang 
mencerminkan pandangan berbeda. Bukan dengan larangan,” papar Bonnie di Kantor 
YLBHI.

Menurut wartawan Andreas Harsono, pernyataan sikap menentang pembakaran buku 
datang dari berbagai kalangan, antara lain Direktur Eksekutif Maarif Institute 
Raja Juli Antoni, Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas 
Paramadina Hendri F Isnaeni dan Dosen Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam 
Negeri (IAIN) Surabaya Mukhlisin Sa’ad. “Ada 300 orang ikut menandatangani 
pernyataan ini, yaitu aktivis dari berbagai lembaga, termasuk dari Papua hingga 
Aceh. Ini gejala yang baik, ada kehendak menegakkan kedaulatan sipil,” ujarnya.

Dahlan, menurut sejarawan Wilson, dikenal sebagai wartawan senior, yang juga 
salah seorang keluarga korban Peristiwa Madiun. “Di tulisannya, Dahlan dan 
Soemarsono menapaktilasi lokasi perjuangan di Kota Surabaya ketika 
mempertahankan kemerde­kaan (ketika melawan Sekutu pada 28 hingga 30 Oktober 
1945), juga mengisahkan kejadian di seputar Pemberontakan Madiun pada tahun 
1948. Soemarsono adalah pelaku sekaligus saksi sejarah, sedangkan Dahlan adalah 
keluarga korban. Pertemuan ini menarik karena rekonsiliasi dimulai justru oleh 
keluarga korban,” papar Wilson.

Front Antikomunis mempertanyakan Dahlan tidak kritis terhadap Soemarsono yang 
dinilai melakukan kejahatan ketika menjabat Gubernur Militer PKI tahun 1948. 
“Pernyataan Sumarsono merupakan strategi eks PKI yang tetap dipertahankan sejak 
gagal melakukan kudeta. Pernyataan itu bertentangan dengan fakta sejarah di 
lapangan,” ujar salah satu juru bicara aksi, Harukat, di di halaman Gedung 
Graha Pena (surabaya.detik.com, 2 September 2009). Mereka mendesak pemilik Grup 
Jawa Pos itu meminta maaf kepada umat Islam dan bangsa Indonesia. Dalam 
demonstrasi itu kemudian terjadi pembakaran terhadap buku karya Soemarsono.

Peradaban

Ketua Badan Pengurus YLBHI, Patra M. Zen, mengaitkan pembakaran buku sebagai 
tindakan bertentangan dengan hukum konstitusi yang melindungi prinsip 
kebebasan, persamaan dan keadilan sosial. “Atas nama YLBHI, saya 
merekomendasikan tindakan ini merupakan ancaman konstitusional di Indonesia, 
sekaligus ancaman peradaban di negeri ini,” ujarnya.

Bagaimanapun, buku adalah parameter peradaban bangsa. Patra juga ikut 
menyayangkan pernyataan Guru Besar Ilmu Sejarah Prof Dr Aminuddin Kasdi yang 
mengatakan bahwa “sejarah milik pemenang, kalah kok minta sejarah” (kalah kok 
njaluk sejarah). Bagi Patra, pernyataan tersebut tak pantas dikatakan oleh 
seorang guru besar ilmu sejarah. Penulisan sejarah, semestinya, mengedepankan 
keberimbangan fakta dan keberagaman versi, bukan monopoli satu versi ala rezim 
Orde Baru. 

(SH/sihar ramses simatupang)

Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 12 September 2009 


      New Email names for you! 
Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. 
Hurry before someone else does!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/aa/

Kirim email ke