http://www.hukumonl ine.com/detail. asp?id=23358&cl=Aktual
 
 
LBH Jakarta: Semakin Banyak Aktivis HAM Dikriminalisasi
[13/10/09] 




Ditetapkannya dua punggawa ICW, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari, 
sebagai tersangka, ternyata menambah panjang daftar aktivis pembela hak asasi 
manusia (HAM) yang dikriminalisasi di negeri ini. Demikian bunyi siaran pers 
LBH Jakarta, Selasa (13/10). Kalangan yang dikategorikan LBH Jakarta sebagai 
aktivis pembela HAM di antaranya pengacara publik, aktivis anti korupsi, 
jurnalis, dan aktivis serikat buruh. 
 
Tindakan kriminalisasi ini, menurut LBH Jakarta, juga dapat dipandang sebagai 
‘pukulan balik’ dari pihak-pihak yang merasa terganggu oleh aktivitas 
pengungkapan penyalahgunaan wewenang, korupsi dan pelanggaran HAM. Berdasarkan 
catatan LBH Jakarta, sekitar 11 orang aktivis pembela HAM telah dikriminalisasi.
 




No

Nama

Lembaga

Tuduhan


1

Usman Hamid

Kontras

Pencemaran nama baik


2

Tommy Albert Tobing

LBH Jakarta

Menghalangi pemeriksaan hukum


3

Muhammad Haris

LBH Jakarta

Berpraktik advokat


4

Emerson Yuntho

ICW

Pencemaran nama baik


5

Illian Deta Arta Sari

ICW

Pencemaran nama baik


6

Gatot 

KSN

Pencemaran nama baik


7

Kiswoyo

KSN/FSBKU-KASBI

Pendudukan pabrik


8

Suryani

Glasnot Ponorogo

Pencemaran nama baik


9

Dadang Iskandar

Gunung Kidul Corruption Watch

Pencemaran nama baik


10

Itce Julinar

SP Angkasa Pura

Pencemaran nama baik


11

Iman Sukmanajaya

FSPM Gran Melia

Penggelapan 
Sumber: Data LBH Jakarta
 
“Angka ini masih mungkin membengkak khususnya dengan mempertimbangkan 
kasus-kasus serupa yang terjadi di pelosok tanah air,” tulis LBH Jakarta dalam 
siaran pers. 
 
Menyikapi kondisi ini, LBH Jakarta mendesak agar dibentuk regulasi yang 
memberikan perlindungan bagi para pembela HAM. Selain itu, LBH Jakarta juga 
meminta Komnas HAM menyediakan mekanisme khusus untuk memberikan perlindungan 
yang maksimal terhadap pembela HAM.
++++
http://www.hukumonl ine.com/detail. asp?id=23291&cl=Wawancara
 




Dari Masa ke Masa, Tokoh Hukum Tersingkirkan 
Adnan Buyung Nasution: 
[6/10/09] 
Soekarno berpendapat “dengan ahli hukum kita tidak bisa bikin revolusi” 




Dalam salah satu rangkaian sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan 
Indonesia (BPUPKI), suasana pembahasan berlangsung panas. Dua kubu tampak 
silang pendapat. Mereka tidak adu otot, tetapi otak. Dua kubu itu yang 
masing-masing digawangi oleh pemikir hukum andal, Soepomo dan Muhammad Yamin 
tengah memperdebatkan perlu tidaknya ketentuan hak asasi manusia dimasukkan 
dalam UUD.
 
Yamin bersikeras memasukkan, sedangkan Soepomo tidak. Laiknya seorang pemikir, 
masing-masing mengusung berbagai argumen. Soepomo menolak karena dirinya 
menganggap HAM adalah produk negara individualistik. “..menurut pikiran saya 
aliran kekeluargaan sesuai dengan sifat ketimuran. Jadi saya anggap tidak perlu 
mengadakan declaration of rights,” ujar Soepomo kala itu. 
 
Menimpali, Yamin menegaskan hak-hak dasar rakyat harus diatur secara jelas dan 
tegas dalam Undang-undang Dasar. Jika tidak, “Itu besar sekali dosanya buat 
rakyat,” tukasnya. Perdebatan Yamin dan Soepomo pada akhirnya ‘memecah’ juga 
dua proklamator bangsa. Soekarno mendukung Soepomo, sedangkan Yamin disokong 
Mohammad Hatta. 
 
Kisah di atas adalah penggalan sejarah bangsa yang menunjukkan betapa 
dominannya pengaruh para pemikir hukum –tanpa mengurangi penghargaan kepada 
tokoh di bidang lain- dalam proses pembentukan Republik ini. Di luar perdebatan 
seru itu, Yamin dan Soepomo selanjutnya dikenang sebagai tokoh hukum dengan 
‘label’ mereka masing-masing. Yamin disebut sebagai tokoh pelopor HAM, 
sedangkan Soepomo sebagai tokoh penggagas kolektivisme adat.
 
Lebih dari setengah abad berlalu, kini perdebatan bermutu seperti yang terjadi 
antara Yamin dan Soepomo menjadi barang langka. Penyebabnya, bisa jadi karena 
figur sekelas Yamin dan Soepomo memang sulit dicari saat ini. Selain itu, 
beberapa posisi ‘kunci’ di bidang yang terkait dengan hukum, baik eksekutif 
maupun legislatif, juga tidak banyak yang dihuni oleh orang hukum. 
 
Perbedaan orientasi dan paradigma hidup, dituding Adnan Buyung Nasution sebagai 
biang keladinya. Advokat senior yang juga Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 
ini mengaku prihatin melihat mahasiswa hukum jaman sekarang, yang begitu lulus 
atau bahkan sebelum resmi menjadi menyandang status mahasiswa pun, sudah 
terpikir untuk mengejar materi.
 
Sulit dipungkiri bahwa seorang Buyung jelas memiliki kapasitas dan pengalaman 
yang tepat untuk memotret sejarah kiprah para tokoh hukum nasional. Pria 
kelahiran Jakarta, 20 Juli 1934 ini bahkan bisa dibilang tokoh lintas generasi. 
Di usianya yang ke-75 tahun, memori Buyung masih segar mengingat 
peristiwa-peristiwa hukum bersejarah. 
 
Untuk mengetahui lebih jauh sepak terjang para tokoh hukum dari masa ke masa, 
hukumonline berkesempatan mewancarai Buyung melalui sambungan telepon, 
pertengahan September 2009. Berikut petikan wawancaranya:
 
Siapa tokoh hukum fenomenal dalam sejarah bangsa?
Di bidang Hukum Tata Negara, yang paling fenomenal adalah Soepomo. Terlepas 
dari pandangannya yang absurd dan mengada-ada, terlalu berorientasi pada hukum 
adat, gagasan Soepomo tentang negara integralistik sangat berpengaruh pada 
mindset para pemimpin bangsa kita, terutama Soekarno. 
 
Ide Soekarno tentang demokrasi terpimpin, dia (Soekarno) sebagai pemimpin besar 
revolusi, presiden, panglima tinggi ABRI, sekaligus mandataris MPR, semua itu 
berangkat dari pemikiran sentralistik Soepomo.
 
Pemikiran Soepomo menggunakan paham Manunggaling Kawulo Lang Gusti yakni 
menyatunya pemimpin dan rakyat. Makanya, Soekarno merasa dirinya 
pengejewantahan dan penyambung lidah rakyat. Ide negara menyatu itu tidak 
benar. Itu pandangan persepsi organik dari negara. 
 
Namun, pemikiran sentralistik sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip 
negara modern yang menganut Trias Politika yang di dalamnya dikenal pemisahan 
kekuasaan dan penegakan nilai-nilai HAM. Di konsep Soepomo, negara 
integralistik menganggap tidak perlu itu HAM. Alasannya, karena pemimpin negara 
telah menyatu dengan rakyatnya seperti manusia. Jadi, tidak mungkin dikau 
(pemimpin) menyayat-nyayat dirimu (rakyat), akan sakit sendiri. Itulah naifnya 
Soepomo.
 
Di BPUPKI, Soepomo juga sangat berpengaruh karena beliau satu-satunya yang 
bergelar profesor. Jaman Belanda aja sudah profesor. Jadi, kalangan jurist juga 
segan sama Soepomo. Yang berani melawan dia cuma satu orang yaitu M Yamin. 
Tetapi Yamin tidak disukai oleh Jepang, makanya tidak masuk dalam Tim Sembilan. 
Waktu di BPUPKI, Yamin minta dimasukkan dalam Tim 9 tetapi ditolak. Begitu 
berpengaruhnya Soepomo, di BPUPKI pun tidak terlalu kelihatan ada discourse 
(debat, red.).
 
Selain Soepomo, siapa lagi tokoh hukum berpengaruh?
Kalau melihat perdebatan di BPUPKI, pemikiran Yamin juga cukup banyak 
mempengaruhi. Misalnya gagasan HAM yang juga didukung oleh Hatta yang keras 
menentang kubu Soekarno-Soepomo. Cuma ada dua kubu itu, Yamin-Hatta dan 
Soekarno-Soepomo. Mereka menuntut dimasukkan HAM dalam UUD, hingga akhirnya 
kompromi yang dibolehkan hanya lima pasal.
 
Yamin adalah Bapak Mahkamah Konstitusi Indonesia. Tidak ada yang lain, makanya 
perlu ada penghormatan terhadap beliau. Beliau orang berani mengambil resiko. 
Ketika menjadi Menteri Kehakiman, Yamin tidak setuju dengan Perdana Menteri 
Soekiman yang bikin perjanjian Mutual Security Act Indonesia-Amerika (MSA). 
Akibatnya, Indonesia dicap masuk blok Amerika. Padahal, politik luar negeri 
kita bebas independen. Yamin tidak setuju.
 
Waktu Soekiman berkuasa, berdasarkan MSA itu, semua orang yang tidak setuju 
ditangkap dan dicap komunis/sosialis. Begitu Soekiman jatuh juga akibat MSA, 
naik kabinet baru, dan Yamin menjadi Menteri Kehakiman. Yang pertama, dia 
lakukan adalah membebaskan semua tahanan politik. Dia anti subversif, karena 
orang-orang ditangkap tanpa ada alasan jelas. Yamin lalu diserang di DPR 
gara-gara kebijakan ini. Dia bilang “saya tanggung jawab”. Tanpa grasi atau 
remisi, semua Yamin bebaskan karena tidak bersalah.
 
Di kalangan advokat ada seorang tokoh yang sepertinya agak terlupakan, yakni Mr 
Besar Mertokusumo. Bagaimana kiprah Mr Besar?
Beliau advokat pertama orang Indonesia asli. Waktu itu, banyak advokat tetapi 
umumnya berasal dari Belanda atau keturunan Cina. Pada awalnya, Belanda 
memandang orang Indonesia tidak pantas menjadi jurist. Makanya, tidak diadakan 
Fakultas Hukum di Indonesia ketika itu. Orang Indonesia dianggap pantasnya 
menjadi panitera, kelas menengah. Makanya, dibentuk sekolah menengah kehakiman. 
 
Dulu namanya Mosvia, Mr Besar lulusan Mosvia. Tetapi, karena cerdas beliau 
diperbolehkan belajar ke Leiden. Di sana beliau dapat masternya. Lalu, diikuti 
oleh Ishak, Mr Soenaryo, Suyudi. Umumnya, jurist sebelum perang berasal dari 
Leiden, karena setelah tamat rechtsschool mesti melanjutkan ke Leiden. Kenapa 
Leiden, karena milik kerajaan. Jadi, semacam sekolah negeri.
 
Mr Besar diangkat sebagai Sekjen Depkeh. Departemen inilah yang menyusun tata 
pemerintahan RI. Berapa departemen yang dibutuhkan, berapa sekjen, dan 
lain-lain. Semua mengacu pada sistem di Belanda. 
 
Semua Menkeh yang dulu seperti Soepomo mendengar dari Mr Besar. Memasuki tahun 
60-an ketika Dekrit 5 Juli 1959, Soekarno menyatakan back to revolution. 
Imbasnya, orang-orang yang pro barat seperti Mr Besar disingkirkan. Jaksa Agung 
dan Kapolri juga kena. Bahkan, buku-buku barat juga dibuang. 
 
Mr Besar juga menyusun konsep sistem peradilan Indonesia. Semua hakim, advokat, 
jaksa ketika itu segan kepada Mr Besar. Beliau memang lebih banyak di 
pemerintah, ketimbang praktek advokat. Dia sempat jadi advokat tetapi tidak 
lama.
 
Sejauh mana apresiasi negara terhadap tokoh hukum?
Kalau bicara apresiasi negara, memang sejak orde lama lalu orde baru, tokoh 
hukum sepertinya disingkirkan atau dipinggirkan. Bahkan, Soekarno anti terhadap 
orang hukum, karena dia kan mau berkuasa penuh. Sentralisasi kekuasaan, semua 
menteri ada di bawahnya selaku Panglima Besar Revolusi. Itu bertentangan dengan 
pemikiran para ahli hukum yang percaya pada negara konstitusional.
 
Sebelum orde lama, kabinet Soekarno, Sjahrir, Wiloto, Natsir, Amir Sjarifudin, 
60-70 persen anggota kabinet semuanya mesteer in de rechten atau ahli hukum. 
Datang Soekarno, dia benci ahli hukum, karena Soekarno berpendapat “dengan ahli 
hukum kita tidak bisa bikin revolusi”, karena mereka dinilai terlalu kaku 
berpegang pada prinsip-prinsip hukum. Maka dibuanglah ahli hukum dari 
pemerintahan.
 
Dilanjutkan oleh Soeharto. Soeharto juga tidak suka ahli hukum, dia lebih suka 
ekonom menjadi tangan kanannya. Masuklah Wijoyo Nitisastro cs mendominasi 
pemerintahan. Ahli hukum terus tersingkirkan sampai sekarang. Presiden SBY juga 
belum mengerti bahwa negara perlu dipegang oleh banyak ahli hukum. Contoh di 
Amerika, presidennya kebanyakan ahli hukum, 70-80 persen orang hukum. 
 
Ahli hukum terbilang minim mendapat tanda jasa Bintang Mahaputera, seperti 
Mochtar Kusuma Atmaja dan Abang sendiri –Buyung menyebut diri sendiri-, lalu 
Yamin sebelum kemerdekaan. Mengabadikan menjadi nama jalan, walaupun tidak 
terlalu, tetapi juga bentuk penghargaan atas pengabdian seseorang kepada negara.
 
Belakangan ini kenapa sulit mencari tokoh hukum seperti Soepomo, Yamin, dan 
lain-lain? 
Jaman sekarang sulit karena sedari mahasiswa, mereka orientasinya harta 
kekayaan. Achievement (keberhasilan, red.) bagi mereka adalah kalau menjadi 
kaya, punya harta, mobil banyak, rumah besar. Itu yang menjadi acuan. Padahal, 
profesi hukum apapun itu, jaksa, hakim, pembela harus memiliki tujuan sama 
yakni menegakkan kebenaran dan keadilan. 
 
Jaman sekarang, orang-orang yang memiliki idealisme semakin tipis. Makanya, 
Abang dirikan LBH dengan tujuan ingin menempa calon-calon ahli hukum yang 
benar-benar idealis. Alumnus LBH terus dipantau, apakah luntur atau tidak 
idealisme. 
(Rzk) 















      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke