"Beranilah beda, beranilah benar, beranilah pulang! Maka, demokrasi akan sehat, 
oligarki akan punah, hubungan batin akan sumringah..."

-----Original Message-----
From: "Indra J Piliang" <pi_li...@yahoo.com>
Date: Tue, 13 Oct 2009 14:15:18 
To: RantauNet<rantau...@googlegroups.com>; 
Kahmi<kahmi_pro_netw...@yahoogroups.com>; Koran 
Digital<koran-digi...@googlegroups.com>; 
FPK<forum-pembaca-kom...@yahoogroups.com>; IASCF<ia...@yahoogroups.com>; 
LISI<l...@yahoogroups.com>; Forahmi<fora...@yahoogroups.com>
Subject: Hari ke-14


"Kondisi di Ulu Banda Malalak bukan hanya rumah yg rusak, tapi juga lahan 
pertanian masyarakat juga rusak, karena lahan pertanian (sawah, Kebun kakau) yg 
mayoritas di kaki2 bukit, kena tanah longsor, oleh karena itu beberapa bulan 
kedepan sebagian warga masih akn kesulitan pangan..." Itu bunyi sms asisten 
khusus sy, Romi Fernando, malam ini, pukul 20.26. 

Sy sudah menduganya, berdasarkan laporan Jupardi JP dan uda Indra Catri yg 
sudah ke sana, beserta alumni SMA I Bukittinggi. 

Malalak terletak di lembah dingin Gunung Tandikat dan Gunung Singgalang. Konon, 
daerah itu "berisi". Harimau dan babi jadi2an masih menjadi cerita harian. 
Dulu, ketika mblku kesana pada mlm hari, kami menemukan iring2an babi melintas 
di jalan. Kami juga temukan org2 yg sedang menaikkan kayu ke truk2. Ketika 
Kapalo Mudo, tim IJP 09 Center, yg asli Malalak menegurnya: "Anda kami 
tangkap!", yg muncul malah wajah seorg polisi yg sedang "mencari makan malam". 
Kapalo Mudo berpenampilan zaman Siti Nurbaya: pakai kain sarung, kopiah yg 
miring, tubuh yg liat dan hitam, serta memiliki byk cerita dan pepatah2 Minang 
kelas tinggi. Di mbl, dia bisa bercerita selama 2 jam, atau berdendang indang. 
Betul2 org lama. Dia akan risau kalau blm makan. Pikirannya hanya bgmn makan 
enak. Kalau sudah makan, "Tujuh gunung akan aku daki, Ketua!" Itu katanya 
padaku. Entah mengapa, sampai kini dia masih memanggilku "Ketua." Dia adalah 
anggota timku yg paling bangga bergabung dgn tim IJP 09 yg memang terdiri dari 
org2 unik dan udik. Aku jg bangga kpdnya. Ketika posko cabangku dibuka di Parit 
Malintang, dia naik mtr usangnya pulang pergi 4 jam lebih bersama istrinya. 
"Mertua Ketua mau ketemu," katanya. Mintuo atau mertua adalah sebutan 
kehormatan atas persaudaraan di lapangan. Jangan heran, kalau aku jumpa dgn 
banyak mertua dan paman di lapangan, sekalipun tdk pernah jumpa pengantin 
wanitanya. 

Dulu, 4 kali aku ke Malalak. Menghadiri pengajian, meletakkan batu pertama 
pendirian koperasi desa (sampai kini masih ada), memberikan hadiah pertandingan 
bola volley dan menghadiri semacam malam hiburan para pemuda. Menurut cerita JP 
dan Uda Indra Catri di milis rantau.net, mrk masih ingat semua perjalananku 
kesana dan titip salam.  

Ada dua hal lagi yg mrk minta utk jadi perhatianku: area wisata alam di sana yg 
belum ada fasilitasn dgn air terjun yg tinggi, jernih dan alami. Kedua, 
lapangan sepakbola yg sudah ada lahannya, tinggal disingkirkan kayu2 hutan yg 
ada di sana dgn alat2 berat. Aku blm sempat perhatikan kedua hal itu. Tapi 
mudah2an bisa dijalankan dlm thn2 mendatang. Malalak adalah ranah indah yg 
membuat siapapun akan lupa pada apapun persoalan2 dunia. Malalak adalah sorga 
kecil yg terletak di ketinggian. Tepian Samudera Hindia bisa dilihat dari 
pucuk2 pohon kelapa di sana, jauh dan menakjubkan. 

Krn urusan keluarga di Jkt, aku tdk sempat ke sana hari ini. Tapi timku kesana: 
Romi anak 50 Kota-Payakumbuh, Taufik anak Pasaman Barat dan Hadi Suwarman, 
kakak iparku yg menyetir mobilku. Pagi mrk ke Bukittinggi, membeli selimut yg 
mahal harganya, seharga Rp. 2 Juta lbih. Biscuit, pempers, pembalut wanita dan 
pakaian baru juga dibawa dari posko IJP 09. Utk mencari jln masuk, mobil tim 
sempat berputar2. Jln tembus dari Tandikek, Patamuan, putus. Jln lain berisi 
sebuah mobil yg kandas. Jln2 ke sana memang rengkah dan kena longsor. Jurang2 
dlm juga siap menelan mbl2 itu kalau slip. Mbl sempat slip, kata Hadi, tp bisa 
dikendalikan. 

Kesanalah perjalanan tim hari ini. Pulang dari sana, belanja beras, cabe, ikan 
kering, wortel, bawang, dan kebutuhan dapur lainnya di Padang Panjang dan 
Padang Luar. Ayah Ketek -- Ayah Kecil-- ku ikut membantu proses belanja itu. 
Adik tiri ayahku itu memang jadi petani tanaman organik di lereng Merapi. Walau 
kebunnya blm panen, dia kenal dgn byk petani lainnya. 

Malalak terletak di Kabupaten Agam yg berbatasan langsung dgn Padang Pariaman. 
Dua kultur menyatu disana: kultur pesisiran Pariaman yg terbuka dan mungkin 
dianggap kasar, dan kultur daratan yg filosofis dan berbudaya tinggi. Krn ayah 
adalah org Aie Angek, Tanah Datar, sejak kecil aku sudah paham kedua kultur 
itu. Konon, org Malalak juga pernah minta bergabung dgn Padang Pariaman. Tapi 
itu terlalu pelik dan politis. 

Tim lain di Lubuk Buaya istirahat. Kmrn gagal mendapatkan 30 tenda. Seharusnya 
mrk bergerak ke Kec 2 x 11 Enam Lingkung, tapi uni Siti Izzati Azis yg akan 
menemani ikut rapat-rapat maraton di DPRD Sumbar. Suaminya yg datang dan 
membawa 80 paket beras, cabe, ikan kering, dllnya, utk 2 x 11 Enam Lingkung. 

Besok, tim ini mungkin akan "istirahat" di posko, dlm arti membongkar karung2 
beras, karung2 cabe, lalu memilihanya ke dalam kantong2 plastik hitam. Mrk tdk 
pernah benar2 istirahat. Mudah2an mrk tetap bersemangat: Romi, Sahrul, Revi, 
Hadi, Taufik, Ismed, Yunas, dan bbrp yg lainnya. Mrk biasa membuka baju ketika 
bekerja di posko. Badan2 yg mengkilat kena keringat. Tangan2 lelaki yg harus 
bergelut dgn pekerjaan yg jarang mereka lakukan: menggantang isi dapur.. 

Sy memantau dari sudut Jkt ini, sambil menulis atau membaca buku. 

Jakarta, 13 Oktober 2009, 21.15. 

NB: Hari ini ada bbrp sumbangan masuk. Dari TW seorg jurnalis, dari HN yg seorh 
surveyor, dan yg aku lupa namanya, kmrn sms. Terima kasih, Saudara.. 
"Beranilah beda, beranilah benar, beranilah pulang! Maka, demokrasi akan sehat, 
oligarki akan punah, hubungan batin akan sumringah..."

Kirim email ke