http://www.antaranews.com/berita/1260272776/membunuh-nafsu-korupsi-dengan-rp40000

Membunuh Nafsu Korupsi Dengan Rp40.000

Selasa, 8 Desember 2009 18:46 WIB

Jafar M. Sidik

Jakarta (ANTARA News) - Menurut Bank Dunia, pendapatan per kapita tahunan AS 
pada 2008 adalah 46.716 dolar AS (Rp443,8 juta), Singapura 49.288 dolar AS 
(Rp468,2 juta), dan Indonesia 3.975 dolar AS atau Rp37,7 juta. Artinya, 
pendapatan orang Indonesia per hari Rp103 ribu, sedangkan AS dan Singapura 
masing-masing Rp1,215 juta dan Rp1,282 juta.

Jelas kedua negara lebih kaya karena mereka menghasilkan lebih banyak uang dari 
Indonesia, tapi itu tak berarti kerja orang Indonesia kalah keras dari mereka. 
Persoalannya malah mungkin karena Indonesia yang mempunyai pepatah "hemat 
pangkal kaya" itu, kalah efisien dari mereka.

Negara-negara kaya seperti AS dan Singapura pandai menghargai uang, tapi itu 
bukan berarti mereka materialistis, sebaliknya mereka melihat uang adalah 
simbol usaha keras manusia.

Menilai uang adalah juga menghargai kerja keras, prestasi dan kinerja. 
Sebaliknya, menghamburkan uang sama dengan menghina kerja keras dan 
menyepelekan prestasi.

Untuk itu, penghinaan terhadap kerja keras harus disumbat rapat-rapat untuk 
memastikan mereka yang bekerja keras dan berprestasi tinggi mendapat bagian 
lebih besar dari mereka yang bekerja asal-asalan dan sering untung karena 
berkolusi dengan pemangku kebijakan.

Agar negara tidak boleh digerogoti oleh kultur mengambil jalan pintas untuk 
memperkaya diri sendiri, maka kemudian rambu-rambu etik pun dibuat untuk 
memagari kerja sistem pelayanan publik dari kolusi yang pasti koruptif.

Pada beberapa negara rambu etik itu bahkan ditegaskan secara gamblang, misalnya 
Office of Government Ethics (OGE) di AS.

OGE menetapkan bahwa semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya 
melayani publik dan dilarang memanfaatkan jabatan atau posisinya untuk 
keuntungan pribadi.

Salah satu etika itu adalah semua pejabat dan pegawai yang digaji negara, hanya 
boleh menerima hadiah dari pihak lain tak lebih dari 20 dolar AS (sekitar 
Rp200.000) dan dalam setahun tidak boleh melebihi 50 dolar AS (Rp500.000).

OGE juga menetapkan ketentuan, bahwa bawahan hanya boleh memberi hadiah kepada 
atasannya, sebanyak-banyaknya 10 dolar AS (Rp100.000).

Disiplin

Bagi masyarakat korup, batasan pemberian hadiah seperti AS itu terlihat aneh, 
tetapi negara-negara yang memiliki sistem pelayanan publik kredibel, batasan 
ini justru menggali banyak manfaat dan menjadi acuan dasar untuk menciptakan 
masyarakat antikorupsi.

Di samping membunuh budaya nyetor dan pungli, pedoman etik yang terang nan 
tegas membuat pejabat dan pegawai negeri menjadi sulit disogok oleh pihak-pihak 
yang memerlukan "rekomendasi" negara untuk kelancaran urusan-urusannya, 
termasuk soal bisnis.

Lain dari itu, semua orang yang digaji negara, termasuk aparat penegakan hukum, 
tak bisa lagi sembarangan "didekati," apalagi oleh orang yang sudah diputus 
bersalah oleh pengadilan.

Mengutip www.usoge.gov, sistem pelayanan publik AS dibentengi oleh dua etika 
umum, yaitu jabatan publik tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi 
dan tak boleh memberi perlakuan khusus kepada organisasi atau individu mana pun.

OGE, seperti umumnya negara yang hirau dengan penciptaan aparatur negara yang 
akuntabel, mengatur pula batasan benturan kepentingan. Bahwa pejabat dan 
pegawai negeri tak boleh turut pada proyek-proyek pemerintah yang dapat 
memperkaya dirinya atau menguntungkan keluarga, kerabat dan kedudukannya di 
luar kantor.

Pegawai negeri bahkan tak boleh memanfaatkan properti apa pun yang dibeli 
dengan uang negara, untuk kepentingan pribadi, keluarga dan koleganya. Properti 
itu bahkan termasuk ATK (alat tulis kantor), telepon, komputer, dan mesin 
fotokopi.

Sebegitu jauh, disiplin yang dimulai dari hal-hal kecil itu membuat negara 
berhasil menyumbat kebocoran dana publik dan mampu menciptakan sistem pelayanan 
publik yang terjaga integritasnya sehingga anteng mendistribusikan 
kesejahteraan sosial ke segala lapisan masyarakat.

Negara pun kian efisien dan makin mampu memerangi korupsi, terlihat dari 
tingginya kemampuan negara-negara makmur dalam mengatasi kebocoran dana publik 
dan dalam membersihkan sistem aparaturnya.

Indeks persepsi korupsi (CPI) dari Transparency Internasional menjadi buktinya. 
Negara-negara hemat dan disiplin melayani publik seperti Singapura, Swedia dan 
Amerika Serikat, rata-rata memang mempunyai CPI tinggi.

Pada 2009, CPI ketiga negara ini berada pada antara 9,2 - 7,5, sedangkan 
Indonesia jauh di bawah, hanya 2,8.

Rp40.000!

Walaupun angka CPI Indonesia itu masih lebih baik dibandingkan dengan tahun 
sebelumnya yang 2,6, sejumlah kalangan tidak mau cepat berpuas diri.

"Ini bukan indikator bahwa usaha pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi 
lebih baik," kata Manajer Riset dan Kebijakan Transparansi Internasional 
Indonesia Frenky Simanjuntak seperti dikutip ANTARA, pertengahan November lalu.

Namun apa pun itu, belakangan ini Indonesia memang kian aktif mengenalkan 
etika-etika antikorupsi untuk membangun sistem pelayanan publik yang bersih 
dari kongkalikong dan korosif.

UU Gratifikasi dan inisiatif KPK dalam melarang pejabat menerima parsel, adalah 
beberapa contoh dari pengenalan etika antikorupsi itu.

Langkah ini perlu diperluas lagi skalanya, dengan mengenalkan sebanyak mungkin 
pedoman etik bagi kerja sistem pelayanan publik.

Jika itu terlalu sulit ditempuh, setidaknya ada prinsip-prinsip etik eksplisit, 
seperti AS menetapkan batasan sumbangan pihak luar kepada pegawai negeri 
maksimal 50 dolar AS (Rp500.000) setahun, atau 0,11 persen dari pendapatan per 
kapita AS sebesar 46.716 dolar.

Andaikan ketentuan itu berlaku juga di Indonesia, maka dalam setahun, pejabat 
dan pegawai negeri hanya boleh menerima hadiah dari pihak luar senilai 4,04 
dolar AS atau Rp40.000!

4,04 dolar AS adalah 0,11 persen dari pendapatan per kapita Indonesia sebesar 
3.675 per dolar AS.

Memang, ada kekecualian untuk sumbangan bermotif sosial atau yang tak berkaitan 
dengan jabatan seseorang di kantor publik. Tapi itu tidak menutup fakta bahwa 
rambu etik yang terang tetapi memaksa, lebih efektif dalam menutup kebocoran 
dana ketimbang imbauan moral.

Tidak itu saja, hasrat orang Indonesia untuk mengkorupsi dan "memalak" uang 
rakyat pun bisa terkikis. Bagaimana tidak, jangankan memungut miliaran rupiah, 
menerima lebih sedikit dari Rp40.000 saja sudah tidak etis dan melanggar 
ketentuan.

Andaikan ini terjadi, maka tikus-tikus korupsi akan punah dari Indonesia dan 
kosa kata konglomerat hitam, pejabat korup, atau makelar kasus menjadi 
terdengar sangat asing bagi telinga publik. Akhirnya, Singapura pun mungkin 
akan kalah makmur dari Indonesia. Semoga ini bukan lagi mimpi. (*)


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke