http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2010012301591015

      Sabtu, 23 Januari 2010 
     
      BURAS 
     
     
     
Konspirasi ala Kesepakatan Bogor! 

       
      H. Bambang Eka Wijaya



      "PARA pemimpin lembaga tinggi negara sepakat untuk tidak saling 
menjatuhkan! Sesuai tempat pertemuan, komitmen itu disebut Kesepakatan Bogor!" 
ujar Umar. "Para pemimpin memahami sistem presidensial, pemakzulan presiden dan 
wakil presiden diatur jelas pada Pasal 7 UUD 1945. Untuk itu, Presiden meminta 
lembaga-lembaga tinggi negara saling bersinergi, melengkapi, dan mengawasi 
dengan check and balances, bukan saling menjatuhkan atau saling mengintip!"

      "Kesepakatan itu secara eksplisit amat baik untuk menciptakan ketenangan 
kerja para pemimpin!" timpal Amir. "Namun secara implisit, kesepakatan itu bisa 
menjadi konspirasi! Karena, kesepakatan itu membuat proses check and balances 
menutup mata pada kesalahan, yang besar dikecilkan, setelah kecil dianggap tak 
ada! Ungkapan tradisionalnya, jatuh di mata dipicingkan, di perut dikempiskan!"

      "Dengan begitu sebenarnya kesepakatan seperti itu tak perlu, karena jika 
para pemimpin lembaga tinggi negara menjalankan kewenangan dan tanggung jawab 
sesuai konstitusi, sistem ketatanegaraan berjalan seirama, kompak, dan 
terpadu--ideal!" tegas Umar. "Justru dengan adanya kesepakatan berbau 
konspirasi itu, jalan sistem ketatanegaraan bisa kurang sempurna karena 
kesalahan yang mungkin terjadi di antara gir-gir roda sistemnya tidak segera 
diperbaiki, tapi dibiarkan bahkan ditutup-tutupi!"

      "Begitulah!" timpal Amir. "Akibat pembiaran atau permisif itu, kesalahan 
kecil bisa membesar, lalu fatal! Orde Baru jatuh oleh permisifisme sistemik, 
semua kesalahan di semua lembaga tinggi negara dibiarkan dan ditutupi, dengan 
akibat sistemnya mengalami proses pembusukan--systemic decay! Bedanya, 
konspirasi era Orde Baru itu dilakukan diam-diam bahkan secara rahasia, kini 
konspirasi dilakukan secara terbuka dan terang-terangan!"

      "Itu risiko era keterbukaan!" tegas Umar. "Juga momennya jadi mudah 
dibaca, seiring dengan menguatnya pengaitan tanggung jawab Presiden SBY dengan 
skandal Bank Century oleh Pansus DPR! Itu sejalan hierarki kewenangan Sri 
Mulyani selaku pembantu presiden, hingga secara prinsip tanggung jawab setiap 
tindakan sang pembantu secara konstitusional tak terlepas dari presiden!"

      "Pengalaman pemakzulan presiden di negeri kita layak membuat Presdien SBY 
gundah! Apalagi, kaitan tanggung jawab menteri pada presiden bersifat lebih 
formal, ketimbang tanggung jawab tukang pijat dengan presiden yang terjadi 
dalam pemakzulan Gus Dur!" timpal Amir. "Bertolak dari pengalaman itu, 
Kesepakatan Bogor amat tepat, karena kasus pemakzulan Gus Dur yang bermula dari 
kasus tukang pijat mengambil uang dari Bulog Rp1,2 miliar itu berproses di DPR 
dan MPR, lalu dilegitimasi Ketua MA! Dengan Kesepakatan Bogor mengikat para 
pemimpin lembaga tinggi negara untuk tidak saling menjatuhkan, jabatan presiden 
aman dari ancaman pemakzulan!" n
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke