Membaca kisah ‘bandeng-telur’-nya Deasy
Arien yang ditulis oleh Ingki
Rinaldi, seakan melemparkan kenangan ke masa silam.
 
Kenangan lawas di tumpukan memori yang telah lewat lebih dari satu
dasawarsa yang telah silam, saat Senayan dikepung lautan massa.
 
Saat itu, siapa yang menyangka, kumpulan bocah-bocah ingusan
itu akhirnya mampu menumbangkan kekuasaan yang telah menggurita selama 30
tahunan ?.
 
Namun akhirnya, kenyataan membalikkan prediksi banyak orang. Lembaran
sejarah pun mencatat, Presiden Soeharto harus lengser keprabon.
 
Kembali ke tulisan kisah ‘bandeng-telur’-nya Deasy Arien, seakan
memberikan isyarat, embrio kembalinya kedigdayaan ‘bocah-bocah ingusan’ itu
telah ada lagi, telah menjelma lagi.
 
Adakah embrio itu terpicu muncul lantaran sebab juga telah munculnya
embrio dari reinkarnasinya gurita yang serupa ?.
 
Entahlah, masih banyak yang merasa yakin bahwa cengkeraman dan hujaman
pilar-pilar penyangga kursi tahta kekuasaan masih terlampau kuat jika hanya
dibongkar oleh tangan-tangan lemah si bocah-bocah ingusan.
 
Namun tulisan Sunardi Rinakit yang mengisahkan tentang bocah-bocah
ingusan yang bergerombol menjadi kumpulanfenomena politiknya si ‘bocah-bocah
nakal’, memperingatkan bahwa Presiden SBY akan semakin merana karena diganggu
oleh bocah-bocah bandel tersebut.
 
‘…Nasution ketuk palu, Soekarno
jatuh. Harmoko ketuk palu, Soeharto jatuh. Amien Rais ketuk palu, Gus Dur
jatuh. Taufiq Kiemas ketuk palu, siapa jatuh…’ , begitu lantunan
lagunya kumpulan si ‘bocah-bocah nakal’ yang telah membuat hatinya yang ditulis
oleh Ingki Rinaldi menjadi miris dan kecut.
 
Kecut dan miris jugakah hatinya Presiden SBY ?.
 
Terlepas dari merasa miris dan kecut ataupun tidak, yang jelas, Ingki
Rinaldi dalam tulisannya secara tersirat telah mengisyaratkan bahwa telah ada
diantara anggota masyarakat Indonesia yang menyesalkan bahwa SBY-Boediono itu
tidak satu hati, kata dan tindakan.
 
“Seperti demontrasi ini saja,
katanya boleh dan silahkan, tetapi teman-teman kami dari luar Jakarta,
malah dilarang masuk Jakarta”,
kata mereka.
 
Jadilah Deasy Arien dan seluruh anggota keluarganya bergabung dengan
demontrasi itu, tanpa bayaran. Malahan mereka berswadana dan berswadaya
membikin nasi bungkus lauk bandeng dan telur sebagai bekal makanan si anak-anak
ingusan.
 
“Kami ikut berdemontrasi lebih
karena sudah capek dengan keadaan saat ini. Apalagi, berbagai skandal yang
mulai terungkap, seperti kebijakan penalangan Bank Century dan perseteruan
antara KPK dan Polri, makin bikin capek. Tetapi, Presiden malah rekaman lagu,
terus beli pesawat kepresidenan”.
 
Ya, itulah ungkapan yang mewakili suara hati dari sebagian kalangan
masyarakat yang tak tersuarakan. Mereka sudah capek, mereka ingin ada perubahan,
mereka sudah tak puas dengan keadaan saat ini.
 
“Saya ingin anak-cucu saya bisa
hidup lebih baik, itu saja. Jika itu sudah tercapai, saya mau tinggal di
gunung, atau mati saja. Karena saya tak mau menyusahkan orang di usia tua”,
kata seorang pensiunan pegawai Bank Indonesiayang turut menghantarkan
si bocah-bocah ingusan menggerudug Senayan dan Istana pada hari Kamis kemarin,
28 Januari 2010.
 
Inikah pertanda embrio itu akan membesar menjadi janin, lalu lahir
menjadi si jabang bayi ?.
 
Ataukah, embrio itu akan teraborsi lantaran si Penguasa akan
segera menyumbat aliran gizi dari ibu rahimnya?.
 
Akhirulkalam, kita yang disini hanya bisa turut menggumam ‘Gusti Ora
Nate Sare’.
 
Wallahualambishshawab.
 
*
Catatan Kaki :
        * Artikel ‘Bandeng-Telur versus Penguasa’
yang ditulis oleh Inki Rinaldi dan dimuat di Koran Kompas pada hari Jumat
tanggal 29 Januari 2010, dapat dibaca dengan mengklik di sini.
        * Artikel ‘Bocah-Bocah Nakal’ yang ditulis
oleh Sunardi Rinakit dan dimuat di Koran Kompas pada hari Kamis tanggal 28
Januari 2010, dapat dibaca dengan mengklik di sini.
*
Embrio
98-an itu Telah Ada
http://polhukam.kompasiana.com/2010/01/29/embrio-98-an-itu-telah-ada/
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke