http://www.lampungpost.com/buras.php?id=2010041206422915

      Senin, 12 April 2010 
     

      BURAS 
     
     
     

KUHP, Karena Uang Habis Perkara! 


       
      "KUHP--dibaca karena uang habis perkara--yang populer 1950-an, ternyata 
tetap berlaku sampai sekarang! Kasus Gayus Tambunan membuktikan itu dengan 
sempurna--tersangka pasal berlapis dengan bukti-bukti kuat berujung vonis 
bebas!" ujar Umar. "Artinya, praktek permainan hukum sepanjang lebih 60 tahun 
lebih kita merdeka belum beringsut sedikit pun!"

      "Bahkan, dengan kesempurnaan hasilnya setelah melewati tahapan proses di 
semua lembaga penegak hukum--kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, tampak 
praktek permainannya juga jadi lebih canggih!" timpal Amir. "Itu tecermin dari 
pemberian nama satuan tugas (satgas) bentukan presiden untuk 
memberantasnya--mafia hukum!

      Maksudnya, praktek permainan hukum itu sudah menjadi kejahatan 
terorganisasi di semua tahapan dan jenjang proses hukum, sekaligus melibatkan 
orang luar dan orang dalam lembaga-lembaga penegak hukum! Dengan demikian bisa 
disebut, kondisinya sudah sangat buruk!"

      "Lebih buruk lagi akibatnya!" tukas Umar.

      "Karena, asal pintar dalam arti bisa mengakses ke dalam 'sistem' yang 
efektif berlaku dalam praktek mafia hukum tersebut, pencolengan uang negara 
baik di sektor penerimaan (pajak dan sejenisnya) maupun pembelanjaan (proyek, 
program dan sejenisnya), proses suap, pemerasan, penipuan, dan sejenisnya pada 
orang yang menjalani proses hukum, proses politik (meloloskan UU, sewa perahu 
calon kepala daerah dan sejenisnya), proses birokrasi pelayanan publik nyaris 
di semua instansi (dari perizinan sampai keterangan pencari kerja), sampai 
segala bentuk pungli, secara keseluruhan menyedot dan mengalihkan sebagian 
besar uang untuk menyejahterakan rakyat menjadi hanya buat kemakmuran kelompok 
terbatas!"

      "Memang, jika dihitung uang yang tersedot oleh kelompok terbatas itu 
jumlahnya signifikan dalam mengencundangi kesejahteraan rakyat!" timpal Amir. 
"Setahun pajak nasional bisa tersedot Rp140 triliun, atau setara 20 persen 
(yang juga terjadi pada penerimaan lain termasuk pajak daerah), dari 
pembelanjaan anggaran nasional dan daerah 30 persen (standar KPK), dan segala 
macam yang lainnya tadi, mungkin mencapai 30 persen dari total pendapatan 
nasional kotor (PDB) yang seharusnya untuk kemakmuran rakyat tersedot hanya 
untuk kelompok terbatas! Semua itu bisa terjadi berkat dalil karena uang habis 
perkara--peluang segala bentuk pencolengan terbuka lebih lebar oleh 'jaminan' 
adanya mafia hukum!"

      "Bayangkan, karena uang habis perkara, cuma kelompok terbatas saja yang 
bisa hidup makmur!" tegas Umar. "Sedang rakyat jadi sekarat melarat!"

      H. Bambang Eka Wijaya
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to