Refleksi : Masalah pemberantasan korupsi di NKRI adalah seperti menyapu lantai 
kotor dengan sapu yang kotor atau di rumah sakit dioperasi pasien dengan pisau 
tanpa disterilkan. Bukankah kalau mau serius dan tegas dalam pemberantasan 
korupsi harus diambil tindakan tegas, bukan mong-monggo, yaitu kekayaan 
koruptor dan keluarganya disita, dengan ketentuan tidak boleh berusaha bisnes 
atau mempunyai simpanan di bank atau dimana saja selama 50 tahun, tetapi karena 
oknom-oknom penguasa negara adalah tukang copet bin catut  dan garong dimana 
NKRI adalah Negara Kleptokratik, maka korupsi  akan sangat sulit dibersihkan 
sepatutnya ,sebab mereka yang menugas dan yang ditugaskan, sekalipun dengan 
disumpah agama untuk memberantas korupsi adalah sama-sama koruptor.


http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=133312

[ Rabu, 12 Mei 2010 ] 


Penjara 203 Tahun untuk Koruptor 
Oleh Toto Suparto


LAIN ladang, lain belalang. Lain Taiwan, beda Indonesia. Di sana, ada koruptor 
yang dihukum 203 tahun karena korupsi Rp 230 juta. Di Indonesia? Ah, korupsi 
miliaran rupiah masih bisa tenang-tenang menghirup udara segar tanpa sengsara 
di balik jeruji penjara. Andai Indonesia itu Taiwan....

Yu Wei-hsiang adalah wali kota Hsikang di Provinsi Tainan, Taiwan. Oleh 
pengadilan distrik setempat, sebagaimana diberitakan Central News Agency, pada 
Kamis (6/5) dia divonis hukuman penjara 203 tahun 10 bulan lantaran terbukti 
menerima suap sekitar TWD 790.000 (sekitar Rp 230 juta). Sungguh, itu bukan 
salah cetak, 203 tahun untuk Rp 230 juta!

Di Taiwan koruptor dijerat hukuman berat. Itu persis di Tiongkok. Di Negeri 
Tirai Bambu itu, misalnya, Xiao Hongbo, deputi manajer cabang Bank Konstruksi 
Tiongkok, salah satu bank milik negara, di Dacheng, Provinsi Sichuan, dihukum 
mati karena korupsi. Xiao telah merugikan bank 4 juta yuan atau sekitar Rp 3,9 
miliar.

Bahkan, petinggi Partai Komunis Tiongkok, Cheng Kejie, juga dihukum mati karena 
menerima suap 5 juta dolar AS. Tak ada pandang bulu dalam memberantas korupsi, 
termasuk sang pemimpin. Pernah petinggi Tiongkok berucap, "Berikan kepada saya 
seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika 
saya melakukan hal yang sama." Artinya, seorang petinggi pun layak disediai 
peti mati jika terbukti korupsi.

Andai saja Yu, Xiao, maupun Cheng berada di Indonesia, tentu ceritanya lain. Yu 
tak perlu mendekam di penjara sampai 203 tahun, Xiao maupun Cheng masih bisa 
menghirup udara sembari menikmati pergaulan sosial mereka. Taiwan dan Tiongkok 
adalah "neraka" bagi koruptor dan Indonesia adalah "surganya". 

Di surga itulah seorang koruptor masih bisa menjadi pengurus organisasi 
olahraga walau digugat untuk mundur. Di surga itulah sang koruptor masih bisa 
mengikuti pemilu kepala daerah, menjadi pengurus partai politik dan dosen, juga 
segala kenikmatan lain, termasuk impunity (tanpa sanksi hukum).

Kode Moral 

Taiwan adalah "neraka" dan Indonesia masih menjadi "surga" lantaran kode moral 
yang berbeda. Filsuf James Rachels menyatakan, kode moral dari suatu masyarakat 
menentukan apa yang benar dalam masyarakat itu. Artinya, jika kode moral dari 
suatu masyarakat mengatakan bahwa sesuatu tindakan adalah benar, tindakan 
tersebut memang benar, setidaknya untuk masyarakat tersebut. Namun dia 
mengingatkan, kode moral dari masyarakat itu tidak mempunyai status istimewa 
karena hanya merupakan salah satu di antara yang banyak. Lantaran hanya salah 
satu, kode moral sangat memungkinkan untuk bergeser-geser. 

Contoh paling gamblang adalah suap. Banyak orang tahu bahwa suap tidak 
dibenarkan berdasar aturan moral. Tetapi, banyak orang yang melakukannya karena 
orang lain juga melakukan tindakan itu. Akhirnya, terlibat dalam suap juga 
tidak apa-apa. Apalagi, berdalih saling menguntungkan. Penyuap memperoleh 
kemudahan dalam suatu proses dan yang disuap mendapatkan keuntungan materi. 
Keduanya saling sepakat dan tindakan tersebut seolah-olah tidak apa-apa secara 
moral. Di sini, kode moralnya juga bergeser. Suap yang tidak mengikuti aturan 
moral menjadi "tidak apa-apa". 

Banyak kode moral yang sudah bergeser karena masyarakat banal dengan 
tindakan-tindakan yang menyimpang dari aturan. Kebiasaan-kebiasaan itulah yang 
akan mengubah kode moral. Di Indonesia, menjadi koruptor seolah biasa saja 
karena orang lain juga menjadi koruptor. Hal tersebut membuat rasa malu hilang 
begitu saja. Bandingkan dengan pencuri ayam. Bagaimanapun, menjadi pencuri ayam 
merupakan tindakan memalukan karena tidak banyak orang yang mencuri ayam. Kode 
moralnya; Mencuri ayam adalah tindakan buruk. Padahal, nilai seekor ayam jauh 
di bawah nilai yang diambil koruptor!

Itulah yang membedakan Taiwan dan Indonesia. Kode moral di Taiwan sulit 
bergeser karena rambu-rambu hukum sangat tegas. Hukum di sana memberikan 
kepastian kepada masyarakat bahwa kode moral korupsi adalah sesuatu yang sangat 
buruk. Barang siapa yang nekat berbuat sangat buruk itu, sanksi hukumnya tak 
main-main. 


Prinsip Kesetimpalan 

Sekarang jika dibalik, yakni para koruptor Indonesia hidup di Taiwan atau 
Tiongkok, bisa jadi orang berpikir panjang untuk melakukan korupsi. Bayangkan, 
Rp 230 juta diganjar 203 tahun! Bayangkan lagi, Rp 3,9 miliar diganjar hukuman 
mati. Apakah itu tak membuat takut? Rasanya, efek jera bakal terbangun.

Artinya, hukum di Taiwan maupun Tiongkok memperhatikan prinsip kesetimpalan 
(proportionately). Kurang lebih maknanya, menghukum si penjahat seharusnya 
sesuai dengan beratnya kejahatan. Sebab, hakikat hukuman, kata ahli etika 
Jeremy Bentham, adalah pembayaran kembali si penjahat karena perbuatan 
jahatnya. Mereka yang terlibat kejahatan sepantasnya diperlakukan buruk 
(sengsara) sebagai balasan. 

Korupsi adalah sebuah kejahatan besar dan tentu saja setimpal jika dihukum 
berat. Korupsi tidak sekadar memperkaya diri, melainkan telah menghancurkan 
moral, membunuh solidaritas, menggerogoti pilar negara, membinasakan banyak 
orang, merusak infrastruktur, memarginalkan warga tertentu, merusak tatanan, 
memperkukuh perbedaan kelas, dan lainnya. 

Jadi, secara sederhana mau dikatakan, jika ingin menimbulkan efek jera bagi 
koruptor, selayaknya perlakuan serupa yang diterapkan kepada Yu, Xiao, maupun 
Cheng ada di Indonesia. Hukum tak boleh pandang bulu! (*) 

*). Toto Suparto , pengkaji etika di Puskab Jogjakarta

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke