Refleksi: Mafioso atau lazim disebut mafia adalah organisasi krmininal. 
Organisasi-organisasi seperti ini rakus terhadap sumber-sumber yang memberi 
pendapatan.  

Dalam kata-kata mutiara disebutkan bahwa: "pengalaman adalah guru terbaik". 
Selama ini  belum dibuktikan bahwa  organisasi  mafia  bisa direformasikan 
menjadi sesuatu badan berguna bagi masyarakat. Satu-satunya cara ialah  mereka 
dibasmi,  Hal ini dipahami dan  dijalankan oleh polisi (carabiniera) Italia.   

Jadi, tentunya solusi terbaik terhadap masalah Republik Mafia  pun harus tidak 
berbeda jauh, yaitu dieliminasikan sampai ke akar-akarnya. Tanpa solusi ini 
adalah tidak lain membohongi diri sendiri dan masyarakat. 

http://nasional.kompas.com/read/2010/05/12/08550464/Republik.Mafia

Rabu, 12 Mei 2010 | 08:55 WIB


Republik Mafia?
Oleh Todung Mulya Lubis *


KOMPAS.com - Susno Duaji, seorang mantan Kabareskrim yang belakangan getol 
menjadi "peniup peluit" (whistleblower) membongkar mafia di kepolisian, 
akhirnya ditahan oleh kepolisian. Dia diduga menerima suap dalam sebuah kasus.

Sejauh mana itu benar tentu pengadilan yang akan mengujinya, tetapi penahanan 
ini mengindikasikan bahwa nyanyian soal mafia ini bukanlah nyanyian yang 
sumbang. Penyelidikan dan penyidikan harus secara tuntas dilakukan karena soal 
mafia yang selama lebih dari satu dasawarsa dibantah, nyatanya sekarang diakui 
ada oleh Pemerintah.

Persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh penegak hukum memang sangat 
serius dan bisa menghancurkan lembaga penegak hukum kalau tidak diberantas. 
Korupsi adalah persoalan global di mana tak sebuah negara pun yang tak 
terserang korupsi. Di banyak negara lain, gerakan pemberantasan korupsi menjadi 
gerakan nasional yang bergandeng tangan dengan gerakan global. Maka, muncul 
banyak terminologi yang dipakai untuk melawan korupsi, seperti perlunya good 
governance dan good corporate governance.

Sejalan dengan itu, berbagai survei dilakukan oleh beberapa lembaga 
internasional yang nyatanya menyedot perhatian dunia dan dijadikan rujukan di 
banyak negara termasuk Indonesia. 

Survei Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diadakan setiap tahun oleh 
Transparency International selalu dipublikasikan luas dan dirujuk oleh Presiden 
di rapat kabinet. Tahun 2009, misalnya, IPK Indonesia memperoleh skor 2,8, 
lebih baik daripada skor pada tahun 2008 yang 2,6. Indonesia termasuk negara 
yang tingkat korupsinya sangat parah dan di kawasan Asean masih berada di bawah 
Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Semua upaya pemerintah dalam 
memberantas korupsi tak mampu mengubah persepsi yang negatif tentang korupsi.

Kuartal terakhir 2009, pemberantasan korupsi di Indonesia mengalami kemunduran 
ketika Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditengarai terlibat kasus 
pembunuhan yang seperti sebuah cinta segitiga walau dikaitkan pula dengan 
adanya kasus yang ditangani. Kemudian dua komisioner KPK, Chandra M Hamzah dan 
Bibit Samad Rianto ditengarai menerima suap dan berseteru dengan kepolisian. 
Tuduhan ini ternyata tidak berdasar fakta, melainkan sebuah pelemahan terhadap 
institusi KPK sudah dimulai.

Publik mulai melihat bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia hampir seperti 
sesuatu yang muskil. Ketidaktegasan pemerintah yang membiarkan pelemahan KPK 
ini berlangsung disimpulkan sebagai suatu indikasi melemahnya komitmen 
pemberantasan korupsi. Popularitas pemerintah segera merosot drastis, dan ini 
membuat iklim pemberantasan korupsi semakin melemah.

Barangkali Presiden sadar bahwa dia mesti melakukan sesuatu untuk merebut 
kembali kepercayaan rakyat. Sebuah tim, tim Satuan Tugas Pemberantasan Mafia 
Hukum, dibentuk sebagai ujung tombak pelaksanaan komitmen pemerintah 
memberantas korupsi. KPK mesti didukung, apalagi KPK mulai terserang semacam 
demoralisasi. 

Dalam keadaan seperti ini, sebuah survei dilakukan oleh Political & Economic 
Risk Consultancy Ltd (PERC) yang celakanya menempatkan Indonesia sebagai negara 
yang paling korup di antara 16 negara yang disurvei. Skor Indonesia adalah 
9,27. Indonesia lebih buruk ketimbang Kamboja (9,10), Vietnam (8,07), Filipina 
(8,06), Thailand (7,60), Malaysia (6,47) dan Singapura (1,42). 

Survei dengan rentang 0-10, 0 untuk negara paling bersih korupsi dan 10 untuk 
negara paling korup, menunjukkan bahwa Indonesia telah sampai pada situasi 
terburuk di mana korupsi hampir sempurna. Sama sekali saya tak terkejut. Siapa 
pun tak seharusnya terkejut karena survei ini diadakan pascapelemahan KPK yang 
terjadi pada kuartal keempat 2009. Pesimisme memang sesuatu yang tak 
terhindarkan.


Mengapa tak memberantas tuntas mafia hukum di kantor pajak atau kepolisian, dan 
menjadikan kedua institusi itu kelak sebagai island of integrity 

Apakah antisipasi terhadap persepsi yang semakin negatif ini yang membuat 
Presiden membentuk Satgas Pemberantasan Mafia Hukum saya tidak tahu. Namun, 
Satgas telah membuka kotak pandora mafia hukum yang selama ini dibantah secara 
keras.

Terbongkarnya kasus Gayus Tambunan telah berekor panjang: menyebar ke mana-mana 
sehingga sekarang masyarakat melihat bahwa ada tali-temali mafia hukum yang 
menyebar di kantor pajak, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, profesi advokat, 
dan lembaga pemasyarakatan.

Mereka disebut sebagai markus, dan markus ini menjadi semacam "unwilling 
whistle blower" yang mengumbar nama-nama sehingga gurita mafia hukum ini 
terkuak. Proses hukum terhadap mereka ini tengah berjalan dan sejauh mana 
perkembangannya akan segera kita saksikan.

Yang pasti sekarang kata mafia hukum tak bisa terbantahkan lagi. Presiden 
menggunakan terminologi ini, dan ini merupakan pengakuan resmi bahwa negara ini 
dirusak oleh mafia. Mafia hukum tentu tak akan hilang seketika. Dalam negara 
yang korupsinya sistemik, endemik, dan merajalela, dibutuhkan waktu yang 
panjang untuk memerangi korupsi. Yang penting adalah jangan pemberantasan 
korupsi ini hanya untuk politik pencitraan, hangat-hangat tahi ayam.

Pemberantasan mafia hukum ini harus semakin agresif walau saya lebih cenderung 
operasi pemberantasan mafia hukum ini difokuskan pada satu dua institusi saja. 
Menetapkan target sembilan mafia adalah target yang terlalu besar yang bisa 
jadi mengaburkan tujuan pemberantasan mafia hukum itu sendiri. 

Mengapa tak memberantas tuntas mafia hukum di kantor pajak atau kepolisian, dan 
menjadikan kedua institusi itu kelak sebagai "island of integrity'" pulau 
integritas yang akan dijadikan model bagi pengembangan pulau-pulau lainnya.

Mengejar sembilan mafia akan membuat fokus pemberantasan mafia menjadi lemah. 
Di sini, pengalaman Hongkong yang berkonsentrasi pada kepolisian menjadi 
pelajaran menarik. Karena yang kita bangun di sini adalah sistem, reformasi 
sistem birokrasi. Bukan sekadar menjebloskan orang ke penjara. 

Kalau sistem itu tak dibangun dalam bangunan sistem birokrasi yang bersih, 
mafia akan tumbuh kembali, dan pelan atau lambat negeri ini akan jadi apa yang 
secara sinis dikatakan sebagai "republik mafia". Sekaranglah saatnya untuk 
mengatakan bahwa bukan mafia yang memerintah negara, melainkan negaralah yang 
berkuasa dan memerintah.

*Todung Mulya Lubis Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke